Rabu, 30 Maret 2011
ASMA ALLAH by. Sami Yusuf
Raheem, Kareemun, 'Adheem, 'Aleemun,
Haleem, Hakeemun, Mateen
(Merciful, Generous, Incomparably Great, All-Knowing
Forbearing, Wise, Firm)
Mannaan, Rahmaanun, Fattaah, Ghaffaarun
Tawwaab, Razzaaqun, Shaheed
(Bestower of blessings, Most Compassionate, Opener, Forgiver
Accepter of Repentance, Provider, Witness)
Allahumma salli 'ala Muhammad, wa aali Muhammad
Ya Muslimeen sallou 'alayh
(O my Lord send salutations upon Muhammad
And upon the Family of Muhammad
O Muslims, send salutations upon him)
Allahumma salli 'ala Muhammad, wa sahbi Muhammad
Ya Mu'mineen sallou 'alayh
(O my Lord send salutations upon Muhammad
And upon the Companions of Muhammad
O believers, send salutations upon him)
Diposting oleh
Unknown
di
07.07
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Lyrics
Selasa, 29 Maret 2011
Bagaimana Aqidah merupakan fondasi inti dalam sebuah bagunan iman yang kokoh
Dalam sebuah pesta ulang tahun anak komunis yang kaya raya di rumahnya, ia sengaja mengumpulkan anak-anak di sekitarnya dan ingin merusak pola pikir mereka agar tidak mengenal Tuhan. Salah satu anak seorang kiai terkenal diundang juga. Setelah anak-anak kumpul, sang komunis berkata:
"Anak-anak sekalian, Om mau tanya, 'Apakah Tuhan itu ada?' Ayo jawab siapa yang bisa menjawab Om kasih uang 500 ribu."
"Tuhan itu ada Om," teriak salah seorang anak yang mengharapkan hadiah uang.
"Kalau ada, coba kamu minta uang sama Tuhan," ujar sang komunis menguji jawaban anak itu.Namun sang anak malah bingung dan diam.
"Kenapa diam? pasti Tuhan tidak memberi kamu uang kan? Nah, coba kalau kamu minta uang sama Om."
"Om, minta uangnya dong," ujar anak tadi.
Lalu sang komunis itu segera memberikan selembar uang 100-an ribu.
"Nah, jadi Tuhan itu tidak ada, karena tidak dapat memberi kalian uang. Setuju enggak."
"Setuju...!!" Teriak anak-anak itu lalu mereka minta uang. Sang komunis segera memberikan uang-uangnya.
Tiba-tiba terdengar jeritan, semua yang hadir menuju tempat tersebut. Ternyata anjing kesayangan sang komunis itu sedang sekarat akibat keracunan makanan. Sang komunis sangat sedih dan menangis.
Diposting oleh
Unknown
di
23.53
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Muhasabah
Doa
Aku meminta kepada Allah untuk menyingkirkan penderitaanku.
Allah menjawab, Tidak.
Itu bukan untuk Kusingkirkan, tetapi agar kau mengalahkannya.
Aku meminta kepada Allah untuk menyempurnakan kecacatanku.
Allah menjawab, Tidak.
Jiwa adalah sempurna, badan hanyalah sementara.
Aku meminta kepada Allah untuk menghadiahkanku kesabaran.
Allah menjawab, Tidak.
Kesabaran adalah hasil dari kesulitan; itu tidak dihadiahkan, itu
harus
dipelajari.
Diposting oleh
Unknown
di
05.51
1 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Doa
Senin, 28 Maret 2011
AIR DIAM YANG TERKENA NAJIS
Najis jatuh ke dalam air yang diam dan ia tidak berubah, apakah ia najis?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat, yang paling terkenal adalah dua pendapat:
Pendapat pertama: Air tersebut tetap suci baik ia sedikit maupun banyak. Air hanya menjadi najis jika ia berubah karena najis yang jatuh ke dalamnya. Pendapat ini adalah pendapat Malik dan sebagian Syafi’iyah seperti Ibnul Mundzir dan al-Ghozali.
Pendapat kedua: Jika air tersebut banyak maka ia suci, jika sedikit maka ia najis. Pendapat ini milik asy-Syafi'i, Ahmad dan Abu Hanifah. Hanya saja pemilik pendapat ini berbeda pendapat tentang sedikit dan banyaknya air.
Menurut asy-Syafi'i dan Ahmad batasannya adalah dua qulla, kurang dari itu berarti sedikit, dua qulla atau lebih berarti banyak. Sementara menurut Abu Hanifah air sedikit adalah air yang jika salah satu sisinya digerakkan maka sisi yang lain bergerak, jika tidak maka ia banyak.
Dalil masing-masing pendapat:
Dalil pendapat pertama:
A. Sabda Nabi saw,
إن الماء طهور لاينجسه شيء .
“Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” (HR. Imam yang tiga dan Ahmad dari Abu Said). Hadits ini shahih, di antara yang menshahihkannya adalah Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah dan lain-lain.
Titik pengambilan dalil dari hadits ini:
Hadits ini tidak membedakan antara air banyak dan sedikit, asalkan ia tidak berubah maka ia tetap suci meskipun ada najis yang jatuh kepadanya. Hal ini selaras dengan sebab wurud hadits ini yakni Nabi saw ditanya, “Ya Rasulullah, apakah Anda berwudhu dari sumur Budha’ah padahal kain bekas haid, bangkai anjing dan kotoran terjatuh ke dalamnya?” Maka Nabi saw menjawab seperti dalam hadits.
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat, yang paling terkenal adalah dua pendapat:
Pendapat pertama: Air tersebut tetap suci baik ia sedikit maupun banyak. Air hanya menjadi najis jika ia berubah karena najis yang jatuh ke dalamnya. Pendapat ini adalah pendapat Malik dan sebagian Syafi’iyah seperti Ibnul Mundzir dan al-Ghozali.
Pendapat kedua: Jika air tersebut banyak maka ia suci, jika sedikit maka ia najis. Pendapat ini milik asy-Syafi'i, Ahmad dan Abu Hanifah. Hanya saja pemilik pendapat ini berbeda pendapat tentang sedikit dan banyaknya air.
Menurut asy-Syafi'i dan Ahmad batasannya adalah dua qulla, kurang dari itu berarti sedikit, dua qulla atau lebih berarti banyak. Sementara menurut Abu Hanifah air sedikit adalah air yang jika salah satu sisinya digerakkan maka sisi yang lain bergerak, jika tidak maka ia banyak.
Dalil masing-masing pendapat:
Dalil pendapat pertama:
A. Sabda Nabi saw,
إن الماء طهور لاينجسه شيء .
“Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” (HR. Imam yang tiga dan Ahmad dari Abu Said). Hadits ini shahih, di antara yang menshahihkannya adalah Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah dan lain-lain.
Titik pengambilan dalil dari hadits ini:
Hadits ini tidak membedakan antara air banyak dan sedikit, asalkan ia tidak berubah maka ia tetap suci meskipun ada najis yang jatuh kepadanya. Hal ini selaras dengan sebab wurud hadits ini yakni Nabi saw ditanya, “Ya Rasulullah, apakah Anda berwudhu dari sumur Budha’ah padahal kain bekas haid, bangkai anjing dan kotoran terjatuh ke dalamnya?” Maka Nabi saw menjawab seperti dalam hadits.
Diposting oleh
Unknown
di
04.33
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Kajian Fiqih
AIR ALAT BERSUCI
Dalam Islam ada beberapa ibadah yang disyaratkan padanya bersuci untuk menunaikannya, hal itu karena kehormatan ibadah tersebut sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan bersuci. Sama dengan pekerjaan yang lain di mana untuk bisa melaksanakannya memerlukan sarana dan alat maka bersuci juga demikian, ia memerlukan sarana di mana salah satunya adalah air. Air sebagai alat bersuci telah dicantumkan oleh Allah dalam firmanNya,
وينزل عليكم من السماء ماء ليطهركم به .
"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (Al-Anfal: 11).
وأنزلنا من السماء ماء طهورا .
“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Al-Furqan: 48).
Dan didukung oleh sabda Nabi saw dalam doa iftitah, “Ya Allah sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.” (HR. Jamaah kecuali at-Tirmidzi).
Ayat dan hadits di atas di samping menetapkan bahwa air adalah untuk bersuci, ia sekaligus menunjukkan bahwa tidak semua air bisa dipakai untuk bersuci. Dari sini maka mengetahui air bagi seorang muslim adalah perkara penting karena sebagian ibadahnya kembali kepada perkara air.
Air terbagi menjadi dua: air murni dan air tercampur.
Yang pertama lazim disebut air mutlak yaitu air yang masih dalam wujud ciptaannya, ia disebut mutlak karena bebas dari embel-embel. Jadi kalau kata air diucapkan maka pemahaman langsung tertuju kepadanya bukan kepada yang lain. Yang termasuk ke dalam air ini misalnya air hujan, air tanah, mata air, sungai, laut dan lain-lain. Hukum air ini adalah suci dan mensucikan. Fungsinya multi, untuk ibadah, menghilangkan najis, kebutuhan sehari-hari dan lain-lain.
Diposting oleh
Unknown
di
03.14
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Kajian Fiqih
Tentang Qiyas
Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam.
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
Diposting oleh
Unknown
di
03.06
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Kajian Fiqih
Minggu, 27 Maret 2011
Apa itu Fatwa?
Pemberian fatwa merupakan masalah yang tidak bisa disamakan dengan ijtihad atau tanya jawab seputar agama. Tidak bisa fatwa dianggap sebuah penafsiran baru terhadap doktrin islami. Atau juga sebuah taqlid dari pemikiran-pemikiran islam yang telah ada sebelumnya. Fatwa merupakan pemberian keputusan yang senantiasa terkait pada siapa yang berwenang, kode etik dan metode pembuatan fatwa.
Fatwa pun muncul akibat dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Fatwa sendiri bersifat sosiologis. Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap umat, fatwa merupakan keputusan sosial yang tidak bisa disamakan dengan ceramah-ceramah keagamaan yang biasa.
Karena sifatnya yang sosiologis, maka fatwa memerlukan adanya orang atau kondisi yang meminta satu keputusan atau pandangan hukum. Oleh karena itu, jikalau tidak ada perkembangan sosial dalam masyarakat yang tidak memerlukan adanya pandangan hukum tertentu, fatwa tidak diperlukan. Tidak mungkin setiap hal dalam hidup mesti diberi fatwa mengenai suatu hukum. Banyak aspek-aspek lain dalam Islam yang sama pentingnya sebagai pedoman dalam hidup, seperti akhlak, aqidah ataupun tasawuf. Kesemuanya itu tidak bisa dikesampingkan. Toh, jika hidup seorang muslim musti berpedoman terhadap hukum-hukum yang telah ditentukan, apa tidak terbatas gerak seorang muslim ?
Hanya saja, fatwa mesti lebih sigap menyigapi zaman yang makin cepat berubah. Para pemberi fatwa harus senantiasa aktif dalam menyikapi perkembangan sosial dalam masyarakat, dan bukannya reaktif. Fatwa harus sudah punya prediksi hukum terhadap sesuatu yang meski belum terjadi tetapi bisa diperkirakan.
Integrasi antar pelbagai ilmu pengetahuan haruslah betul-betul dimanfaatkan. Tidak ada batasan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya. Mengapa harus dibatasi oleh disiplin-disiplin ilmu yang ada ? Toh, semua ilmu pada dasarnya saling berkaitan satu sama lainnya. Perlu sebuah langkah di mana ilmu agama mesti dikaitkan dengan ilmu umum.
Selain itu, umat Islam mesti merumuskan suatu metode pemberian fatwa yang dapat dipegang bersama. Sebab, berbagai macam isu dan tumbuhnya kelompok-kelompok dalam umat, tidaklah bisa diatasi dengan bertumpu pada literatur-literatur timur tengah ataupun dari barat. Adanya perbedaan sosial, kultural maupun situasi yang berkembang di masyarakat membuat literatur-literatur tersebut kurang bisa dijadikan panduan. Terkadang semua literatur tersebut hanya menyajikan pandangan global atau teoritis yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di berbagai belahan dunia.
Meski demikian, tidak bisa dikatakan Islam tidak universal. Di manapun Islam berada, ada nilai-nilai yang tidak bisa diubah-ubah atau disesuaikan dengan kultur setempat. Nilai-nilai rukun iman maupun rukun Islam sudah menjadi ketentuan pasti tentang agama ini. Bukan Islam apabila tidak ada rukum iman atau rukun Islam di dalamnya. Barulah dalam ekspresi keislaman ditemukan perbedaan-perbedaan, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat umat tersebut berada.
Fatwa pun muncul akibat dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Fatwa sendiri bersifat sosiologis. Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap umat, fatwa merupakan keputusan sosial yang tidak bisa disamakan dengan ceramah-ceramah keagamaan yang biasa.
Karena sifatnya yang sosiologis, maka fatwa memerlukan adanya orang atau kondisi yang meminta satu keputusan atau pandangan hukum. Oleh karena itu, jikalau tidak ada perkembangan sosial dalam masyarakat yang tidak memerlukan adanya pandangan hukum tertentu, fatwa tidak diperlukan. Tidak mungkin setiap hal dalam hidup mesti diberi fatwa mengenai suatu hukum. Banyak aspek-aspek lain dalam Islam yang sama pentingnya sebagai pedoman dalam hidup, seperti akhlak, aqidah ataupun tasawuf. Kesemuanya itu tidak bisa dikesampingkan. Toh, jika hidup seorang muslim musti berpedoman terhadap hukum-hukum yang telah ditentukan, apa tidak terbatas gerak seorang muslim ?
Hanya saja, fatwa mesti lebih sigap menyigapi zaman yang makin cepat berubah. Para pemberi fatwa harus senantiasa aktif dalam menyikapi perkembangan sosial dalam masyarakat, dan bukannya reaktif. Fatwa harus sudah punya prediksi hukum terhadap sesuatu yang meski belum terjadi tetapi bisa diperkirakan.
Integrasi antar pelbagai ilmu pengetahuan haruslah betul-betul dimanfaatkan. Tidak ada batasan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya. Mengapa harus dibatasi oleh disiplin-disiplin ilmu yang ada ? Toh, semua ilmu pada dasarnya saling berkaitan satu sama lainnya. Perlu sebuah langkah di mana ilmu agama mesti dikaitkan dengan ilmu umum.
Selain itu, umat Islam mesti merumuskan suatu metode pemberian fatwa yang dapat dipegang bersama. Sebab, berbagai macam isu dan tumbuhnya kelompok-kelompok dalam umat, tidaklah bisa diatasi dengan bertumpu pada literatur-literatur timur tengah ataupun dari barat. Adanya perbedaan sosial, kultural maupun situasi yang berkembang di masyarakat membuat literatur-literatur tersebut kurang bisa dijadikan panduan. Terkadang semua literatur tersebut hanya menyajikan pandangan global atau teoritis yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di berbagai belahan dunia.
Meski demikian, tidak bisa dikatakan Islam tidak universal. Di manapun Islam berada, ada nilai-nilai yang tidak bisa diubah-ubah atau disesuaikan dengan kultur setempat. Nilai-nilai rukun iman maupun rukun Islam sudah menjadi ketentuan pasti tentang agama ini. Bukan Islam apabila tidak ada rukum iman atau rukun Islam di dalamnya. Barulah dalam ekspresi keislaman ditemukan perbedaan-perbedaan, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat umat tersebut berada.
Diposting oleh
Unknown
di
17.19
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Kajian Fiqih
Airmata Mutiara
Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh
pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah
dan lembek. "Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air
mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan
pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu."
Si ibu terdia, sejenak, "Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi
terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu
lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang
menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang
bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.
Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa
sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia
meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun
lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk
dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin
berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit
menjadi terasa lebih wajar.
pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah
dan lembek. "Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air
mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan
pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu."
Si ibu terdia, sejenak, "Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi
terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu
lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang
menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang
bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.
Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa
sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia
meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun
lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk
dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin
berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit
menjadi terasa lebih wajar.
Diposting oleh
Unknown
di
16.22
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Muhasabah
Sabar Itu Indah
Manusia seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan rindu sesuatu, ia berdoa habis-habisan dan berupaya sungguh-sungguh demi tercapainya segala yang dirindukan. Tatkala berhasil, serta-merta ia pun melupakan Allah. Bahkan ia menganggap bahwa keberhasilan itu adalah hasil jerih payah dirinya sendiri.
Sebaliknya, bila kegagalan menimpa, ia sering kecewa karenanya. Terkadang ia berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada siapa saja yang dianggap biang penyebab kegagalan tersebut. Padahal, rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.
Jelas dari kedua sikap tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu sikap sabar, tawakal, dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang yang memiliki sikap sabar ketika musibah datang menimpa dan memiliki syukur ketika keberuntungan datang menerpa.
Sabar, menurut Dzunnun Al-Mishry, adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah, serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan. Atau, seperti kata Al-Junaid, "Engkau menelan suatu kepahitan tanpa mengerutkan muka".
Adapun syukur, adalah tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, lalu membicarakannya dengan lisan, serta menjadikan karunia nikmat itu sebagai ladang ketaatan kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur itu merupakan perwujudan sikap sabar ketika manusia mendapat nikmat.
Sebaliknya, bila kegagalan menimpa, ia sering kecewa karenanya. Terkadang ia berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada siapa saja yang dianggap biang penyebab kegagalan tersebut. Padahal, rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.
Jelas dari kedua sikap tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu sikap sabar, tawakal, dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang yang memiliki sikap sabar ketika musibah datang menimpa dan memiliki syukur ketika keberuntungan datang menerpa.
Sabar, menurut Dzunnun Al-Mishry, adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah, serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan. Atau, seperti kata Al-Junaid, "Engkau menelan suatu kepahitan tanpa mengerutkan muka".
Adapun syukur, adalah tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, lalu membicarakannya dengan lisan, serta menjadikan karunia nikmat itu sebagai ladang ketaatan kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur itu merupakan perwujudan sikap sabar ketika manusia mendapat nikmat.
Diposting oleh
Unknown
di
00.16
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Muhasabah
Kamis, 03 Maret 2011
Apakah Semua Bid’ah itu DHALALAH ?
BID’AH???
Mungkin kata ini sudah tidak lagi asing terdengar ditelinga kita. Entah dari teman, guru, ‘ulama-ulama’ yang ‘sibuk’ memopulerkannya. Berangkat dari lima huruf tersebut yang kemudian menimbulkan beranekaragam varian penafsiran didalamnya. Berbicara masalah “bid’ah” itu berarti kembali berbicara masalah yang banyak mengandung persoalan rumit, Polemis, pelik dan kontradiktif yang tentunya perlu adanya pemahaman yang mendalam. persoalan ini bisa di bilang sebagai persoalan ‘klasik’ yang memang para ulama semenjak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu sudah diperdebatkan. Namun, hal ini akan selalu menjadi topik yang sering muncul diantara kita disebabkan zaman yang semakin berkembang dan perbedaan situasi yang terjadi dengan zaman Rasul.
Kegiatan membahas persoalan bid’ah merupakan kegiatan yang akan menguras banyak energi kita dan umumnya umat sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan karena betapa banyak persoalan semenjak Nabi wafat hingga sekarang yang belum pernah ada pada zaman Nabi namun para umat sesudahnya banyak yang mengamalkannya. kita ambil contoh di Indonesia seperti khubah jumat yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan di daerah-daerah tertentu menggunakan bahasa daerahnya, shalat tasbih yang Rasul pun belum pernah mengerjakannya akan tetapi memerintahkan kepada pamannya Ibn Abbas, Tradisi bersalaman sehabis shalat, tahlilan, yasinan, atau di masjidil haram misalnya bahwa prosesi salat terawih yang dikerjakan dengan menghatamkan 30 juz dalam satu bulan yang ini pun pada zaman nabi belum dikerjakan dan masih banyak banyak lagi amalan-amalan yang kiranya belum terjadi namun diamalkan pada saat ini.
Mungkin kata ini sudah tidak lagi asing terdengar ditelinga kita. Entah dari teman, guru, ‘ulama-ulama’ yang ‘sibuk’ memopulerkannya. Berangkat dari lima huruf tersebut yang kemudian menimbulkan beranekaragam varian penafsiran didalamnya. Berbicara masalah “bid’ah” itu berarti kembali berbicara masalah yang banyak mengandung persoalan rumit, Polemis, pelik dan kontradiktif yang tentunya perlu adanya pemahaman yang mendalam. persoalan ini bisa di bilang sebagai persoalan ‘klasik’ yang memang para ulama semenjak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu sudah diperdebatkan. Namun, hal ini akan selalu menjadi topik yang sering muncul diantara kita disebabkan zaman yang semakin berkembang dan perbedaan situasi yang terjadi dengan zaman Rasul.
Kegiatan membahas persoalan bid’ah merupakan kegiatan yang akan menguras banyak energi kita dan umumnya umat sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan karena betapa banyak persoalan semenjak Nabi wafat hingga sekarang yang belum pernah ada pada zaman Nabi namun para umat sesudahnya banyak yang mengamalkannya. kita ambil contoh di Indonesia seperti khubah jumat yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan di daerah-daerah tertentu menggunakan bahasa daerahnya, shalat tasbih yang Rasul pun belum pernah mengerjakannya akan tetapi memerintahkan kepada pamannya Ibn Abbas, Tradisi bersalaman sehabis shalat, tahlilan, yasinan, atau di masjidil haram misalnya bahwa prosesi salat terawih yang dikerjakan dengan menghatamkan 30 juz dalam satu bulan yang ini pun pada zaman nabi belum dikerjakan dan masih banyak banyak lagi amalan-amalan yang kiranya belum terjadi namun diamalkan pada saat ini.
Diposting oleh
Unknown
di
20.00
2
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Kajian Fiqih