Oleh
: M. Iqbal Juliansyahzen
Beberapa hari yang
lalu, penulis ditanya oleh salah seorang teman terkait munculnya
gerakan-gerakan “Islam” yang berorientasi pada gerakan transnasional. Hal ini
wajar dipertanyakan, karena memang akhir-akhir ini gerakan seperti itu mulai
gandrung di kalangan muslim Indonesia. Gerakan untuk kembali pada romantisme
sejarah Islam di masa lalu,[1] akan tetapi lupa membangun
peradaban masa depan yang berorientasi nilai-nilai universal dan juga
memperhatikan nilai-nilai sosiologis dan antropologis yang hidup di tengah
masyarakat.
Pada tulisan ini,
penulis mencoba untuk mengetengahkan kembali nilai-nilai luhur yang disampaikan
oleh Bapak Bangsa, Bung hatta. Bung Hatta memperkenalkan falsafah gincu dan
garam, dalam konteks keagamaan Islam Gincu dan Islam Garam. Ketika itu, pemikiran
Bung Hatta mengalami penolakkan keras khususnya datang dari kalangan muda
muslim. Mereka menganggap Hatta semakin sekuler, karena ia melakukan “pembiaran”
terhadap Islam dengan tidak memformalisasikan Islam dalam bentuk kenegaraan. Berbeda
dengan Muhammad Natsir yang begitu semangat untuk memformalkan Islam dalam
bentuk negara.