Pemberian fatwa merupakan masalah yang tidak bisa disamakan dengan ijtihad atau tanya jawab seputar agama. Tidak bisa fatwa dianggap sebuah penafsiran baru terhadap doktrin islami. Atau juga sebuah taqlid dari pemikiran-pemikiran islam yang telah ada sebelumnya. Fatwa merupakan pemberian keputusan yang senantiasa terkait pada siapa yang berwenang, kode etik dan metode pembuatan fatwa.
Fatwa pun muncul akibat dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Fatwa sendiri bersifat sosiologis. Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap umat, fatwa merupakan keputusan sosial yang tidak bisa disamakan dengan ceramah-ceramah keagamaan yang biasa.
Karena sifatnya yang sosiologis, maka fatwa memerlukan adanya orang atau kondisi yang meminta satu keputusan atau pandangan hukum. Oleh karena itu, jikalau tidak ada perkembangan sosial dalam masyarakat yang tidak memerlukan adanya pandangan hukum tertentu, fatwa tidak diperlukan. Tidak mungkin setiap hal dalam hidup mesti diberi fatwa mengenai suatu hukum. Banyak aspek-aspek lain dalam Islam yang sama pentingnya sebagai pedoman dalam hidup, seperti akhlak, aqidah ataupun tasawuf. Kesemuanya itu tidak bisa dikesampingkan. Toh, jika hidup seorang muslim musti berpedoman terhadap hukum-hukum yang telah ditentukan, apa tidak terbatas gerak seorang muslim ?
Hanya saja, fatwa mesti lebih sigap menyigapi zaman yang makin cepat berubah. Para pemberi fatwa harus senantiasa aktif dalam menyikapi perkembangan sosial dalam masyarakat, dan bukannya reaktif. Fatwa harus sudah punya prediksi hukum terhadap sesuatu yang meski belum terjadi tetapi bisa diperkirakan.
Integrasi antar pelbagai ilmu pengetahuan haruslah betul-betul dimanfaatkan. Tidak ada batasan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya. Mengapa harus dibatasi oleh disiplin-disiplin ilmu yang ada ? Toh, semua ilmu pada dasarnya saling berkaitan satu sama lainnya. Perlu sebuah langkah di mana ilmu agama mesti dikaitkan dengan ilmu umum.
Selain itu, umat Islam mesti merumuskan suatu metode pemberian fatwa yang dapat dipegang bersama. Sebab, berbagai macam isu dan tumbuhnya kelompok-kelompok dalam umat, tidaklah bisa diatasi dengan bertumpu pada literatur-literatur timur tengah ataupun dari barat. Adanya perbedaan sosial, kultural maupun situasi yang berkembang di masyarakat membuat literatur-literatur tersebut kurang bisa dijadikan panduan. Terkadang semua literatur tersebut hanya menyajikan pandangan global atau teoritis yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di berbagai belahan dunia.
Meski demikian, tidak bisa dikatakan Islam tidak universal. Di manapun Islam berada, ada nilai-nilai yang tidak bisa diubah-ubah atau disesuaikan dengan kultur setempat. Nilai-nilai rukun iman maupun rukun Islam sudah menjadi ketentuan pasti tentang agama ini. Bukan Islam apabila tidak ada rukum iman atau rukun Islam di dalamnya. Barulah dalam ekspresi keislaman ditemukan perbedaan-perbedaan, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat umat tersebut berada.
Kehidupan Islam di Indonesia – bukan Islam di Indonesia – berbeda dengan kehidupan di daerah-daerah Timur Tengah. Islam Indonesia memiliki persoalan-persoalan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan fakta-fakta kehidupan Islam di Timur Tengah.
Ada tiga faktor penentu corak fatwa-fatwa di Indonesia. pertama, corak islam pribumi yang mendapat pengaruh akibat dari penetrasi masuknya Islam di Indonesia yang berada dalam keadaan damai. Karena itulah, Islam seperti menoleransi tradisi lokal.
Kedua, pengaruh dari kolonialisme membuat kehidupan Islam harus menyesuaikan diri dengan tekanan pihak Belanda sebagai kaum kolonis. Kepentingan penjajahan yang membuat Islam dikontrol sedemikian rupa oleh Belanda. Dari mulai pembatasan yuridiksi pengadilan agama, kontrol pendidikan islam di pesantren-pesantren, diterbitkannya teks-teks otoritatif untuk digunakan dalam pengajaran dan administrasi, serta yang paling penting, haji. Haji dicurigai sebagai faktor yang memengaruhi perasaan anti-kolonial.
Dan ketiga, kedudukan agama dan peran negara dalam kehidupan, terutama saat pemerintahan Orde Baru. Model pemisahan agama dari negara yang dianut Indonesia, menjadikan hukum syariat kurang memiliki tempat dalam peraturan negara. Sungguh sulit untuk menempatkan syariat sebagai dasar hukum negara. Tetapi pada 1989 dan 1991, mulai tampak peranan hukum agama, dengan undang-undang baru mengenai peradilan agama dan Kitab Undang-undang Hukum Islam (Kompilasi).
Sebuah tantangan kini dihadapi oleh para otoritas pemberi fatwa di Indonesia, seperti NU, Muhamadiyah, Persis maupun MUI. Bisakah fatwa-fatwa yang akan dikeluarkan pada masa-masa demokrasi ini mandiri dari berbagai kekuatan-kekuatan atau kepentingan tertentu ? Ironis, jika saat terjadi kebebasan yang nyata, fatwa-fatwa mengalami sebuah kemunduran. Di mana fatwa tidak lagi menjaga sentralitas Wahyu suci dan pada saat yang sama harus memastikan kepentingan yang bersifat praktis.
Minggu, 27 Maret 2011
Apa itu Fatwa?
Diposting oleh
Unknown
di
17.19
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label:
Kajian Fiqih
0 komentar:
Posting Komentar