I Was a Blues
Because I Had no Shoes
Until off on the Street
I Meet Man Without Feet
(Dale Carnigie)
Malam itu entah kenapa aku ingin sekali keluar pondok dan memakan nasi goreng. Ya, mungkin udah lama juga ndak makan makanan itu. Tiba-tiba aku teringat ada temanku yang pernah bilang, kalau ia punya teman yang menjual nasi goreng yang dekat dengan Kediamaanku saat ini (Pondok Pesantren UII). Berbekal info itu, aku mencari kedai yang diinfokan temanku tersebut, sekedar mencoba dan nambah teman (hubungan Silaturahmi).
Tidak sulit untuk mencari dimana kedai itu berada. Kurang lebih 100 meter dari pondok berada, ada sebuah tenda dengan tambahan ‘umbul-umbul’ yang bertuliskan NASI GORENG dan aneka makanan lainnya. Dalam hati menggumam bahwa mungkin yang dimaksudkan oleh temanku adalah warung tenda diseberang jalan tersebut. Kuayunkan kakiku dengan nyakin ditambah perut yang sudah menyanyikan ‘lagu kebangsaan’.
Setelah sampai di warung tenda itu, nampaknya mungkin benar bahwa sepertinya aku pernah melihat orang yang sedang memainkan sutil dan wajan yang sudah keliatan bak cheif profesional, menggoyang-goyang isi dalam wajan, ,,
Teng...teng... suara ia sedikit memukul wajan kala ia menggoreng nasi.
Mas,mas, sapaku ringan,,
Ow, iya mas, mau makan apa ya,, jawabnya santun ditambah senyum yang melebar 2 cm kenan dan 2 cm kekiri, terlihat ia sedang bahagia, karena ada lagi pembeli yang datang ke warung tenda miliknya,
Ee,,, nasi goreng biasa mawon mas, pintaku
Woke, terus minumnya apa mas? Lanjutnya
Air zam-zam, tangkalku sedikit bercanda yang disahut dengan muka bingung oleh penjual tersbut,..
Wah, ndak ada air zam-zam e mas, aku belum pernah ke mekah, katanya polos,
Hehe, maksudku air putih ae mas, sambil tersenyum ku menjawabnya.
Oooo,, iya mas, tunggu sebentarnya ya mas.,,,
Sembari ia menyiapkan hidangan,menggoyang-goyang nasi sampai tercium aroma sedap, hem, seperti enak ni masakannya, gumamku dalam hati menjadi tak sabar menanti kedatangan nasi goreng pesananku. Sambil menunggu, aku juga memperhatikannya dalam memasak. Meski secara usia ia lebih muda dariku dan postur tubuh yang tidak terlalu besar tapi ia tampak lihai dalam memasak. Ya, tapi juga sebenarnya aku bisa mengimbanginya dalam hal memasak, hehe,
Kuperhatikan secara seksama, memang tampak wajahnya tak asing bagiku. Aku sepertinya sering melihatnya sebagai mahasiswa se-almamater dengan ku (UII) tepatnya di fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Yogyakarta. Tak selang waktu lama, nasi goreng pesananku telah matang.
Suapan pertama mulai ku ayunkan setelah sebelumnya membaca basmalah tentunya. Ternyta lumayan enak juga masakannya. Suap demi suap tak terasa nasi-nasi dalam pering tersebut berpindah tempat ke perut ku, alhamdulillah. Wareeghh!!!
Melihat ia sedang lengah sedikit, ku coba membuka percakapan ringan kembali.
Mas,, ssepertinya saya pernah liat njengan e, wajahnya ndak asing gitu, apa njenganan mahasisawa tarbiyah FIAI 2011 ya,.
Ow, iya mas, kok tau e? Jawabnya berlogat ngapak
Iya, aku juga mahasiswa FIAI UII jurusan Syari’âh (Hukum Islam) angkatan 2010. Timpalku
Ow, gitu mas, la mas tinggal dimana? Tanyanya penasaran
Saya di PP UII, ndak jauh dari sini, la njengan kos-nya dimana e, ?
Saya di belakang warung tenda ini kok mas, jadi gampang kalau nyiapan dagangan, jawabnya,
Ow, la terus kalau ke kampusnya?
Ya, harus pagi-pagi benar mas, ya memang jarak antara kampus dengan kos-nya dan PP UII menempuh perjalanan normal 1 jam lebih 15 menitan kalau naik sepeda, 25 menit kalau naik sepeda motor, dan bisa 1 jam kalau naik Trans-Jogja ya karena berhentinya di halte-halte, jadi malah jadi lama. Dan bahkan sampai 3 sampai 4 jam kalau jalan kaki, lumayan!!
Ya..yaa.. njengan aslinya mana e? Tanya lebih lanjut,
Kulo asli Tegal mas
Hem, pantesan, logatnya kentara ngapak, gumamku dalam hati,
Ya, buat biaya kuliah mas, saya pingin mandiri, ndak me-lulu menrepotkan orang tua mas,. Hem, kalau di pondok enak ya mas, bisa punya waktu untuk belajar, diskusi, shalat berjamaah, dll,. Lanjutnya,
serasa gimna gitu, di satu sisi, aku yang mendapatkan rezki berupa beasiswa-full tidak susah payah mencari tambahan biaya, di sisi lainnya saudara baruku ini harus mencari biaya kuliah sendiri dengan menjual nasi goreng setiap malam. Tak sia-sia tamanku yang pernah meng-infokan bahwa temannya ada yang berjualan di dekat pondok. Ternyata juga lewatnya Allah kembali mengajari tentang arti dari Syukur dan Juang. Ia berjuang dengan hasil keringatnya demi kesuksesannya di masa mendatang. Semoga !!
memang hidup adalah perjalanan yang harus dilewati dengan baik disamping berbagai halang–rintang yang mengadang. Hidup akan nikmat manakala kita menerima apa yang saat ini Allah berikan kepada kita sebgai suatu yang terbaik, seiring berkeyakinan bahwasan-Nya ia telah menyediakan posisi yang lebih baik di masa mendatang oleh karena usaha-keras kita saat ini. yakinlah !,
Ada sebuah ilustrasi bahwa suatu kita ada seorang keluarga yang pekerja keras, dari segi material ia serba berkecukupan. Seperti biasa ia dan keluarg pergi untuk berkerja di pagi hari dan pulang ketika senja menghilang. Tatkala itu keluarga tersebut pulang bekerja mengendari sebuah mobil mewah, anggap saja mercy. Tak disengaja keluarga dalam mobil yang pulang kerja di waktu senja tersebut melihat sebuah keluarga di sebuah rumah sederhana bersama dengan anggota kelurargannya.
Seorang bapak yang mengedari mobil mercy itu bilang kepada istri dan anaknya sembari melihat ke sebuah rumah sederhana tersebut.
Alangkah bahagianya ya,. sore-sore bigini sudah di rumah, berkumpul sembari ditemani teh hangat dan makanan ringan menunggu petang datang.,
Bersamaan dengan itu, keluarga yang berada di dalam rumah sederhana itu melihat ke sebuah mobil mewah yang melintasi depan rumah mereka, sembari berkata, .Alangkah enaknya yaa...!! punya mobil mewah seperti mereka, pergi kemana-mana nyaman, hujan tidak kehujanan, panas pun tidak kepanasan, pokoknya oke bangetlah, sedangkan kita kemana-kemana harus berjalan kaki.
Ia pak, jawab Istri dan anak-anaknya sembari berucap kapannya ya pak kita punya seperti itu.
Terkdang memang, seseorang lupa akan anugerah dan kebahagiaan yang ada dalam dirinya masing-masing dan me-lulu melihat anugerah dan kebahagiaan itu ada pada orang lainnya. Sebenarnya kalau kita menyadari sepenuhnya bahwa memang kebahagiaan itu ada pada kondisi, apa yang ada pada kita saat ini dan itu adalah yang terbaik yang disediakan Allah kepada kita yang harus kita sadari sepenuhnya untuk bersyukur kepadaNya.
Hal ini pula senada terkait bait puisi diatas yang secara lepas diartikan “dahulu aku pernah bersedih, karena aku tidak memiliki sepatu, hingga suatu ketika di tepi jalan, aku bertemu seorang yang tidak mempunyai kaki)” ?? Sungguh, memang kita gampang sekali untuk mengeluh terlebih dahulu atas apa yang sekarang terjadi pada diri kita. Kita meng-claim bahwa Tuhan kurang adil, menganggap bahwa dirinya-lah yang paling kurang beruntung, padahal selain kita masih banyak yang lebih di uji.
Terkahir, mudahan kita menjadi seorang yang bersyukur dan tidak mudah putus asa. tidak ada perjuangan yang sia-sia, yang ada adalah hidup tanpa perjuangan itulah yang sia-sia. Itu!!
(ditulis sesaat setelah pulang dari menyantap sepiring nasi goreng buatan saudara baruku, nice!!)
Kawah Condro dimuko
Yogyakarta, 18 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar