Oleh: M. Iqbal Zen
Penulis Bina Qalam Indonesia
FENOMENA kekerasan terhadap perempuan
nampaknya masih sulit terhindarkan dari “tradisi” manusia. Fenomena kekerasan
terhadap perempuan nyata malah semakin meningkat. Hal tersebut difahami dari
hasil kajian Komnas Perempuan yang memperoleh data pada tahun 2001 sebanyak
3.160 kasus, kemudian pada tahun 2002 meningkat menjadi 5.163. Hal yang lebih
mengagetkan bahwa Komnas Perempuan pada tahun 2007 mencatat kasus sekitar
26.000. Jumlah tersebut ternyata melonjak signifikan pada tahun berikutnya,
2008 yang mencapai 56.000 kasus.
Deretan kasus di atas memunculkan sebuah
tanda tanya besar, mengapa dan apa sebabnya kekerasan terhadap perempuan masih
saja terjadi? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, memang kita tidak dapat
mengeneralisir faktor dan penyebab kekerasan tersebut tetap menggeliat.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ada bias
dalam memahami kedudukan laki-laki dan perempuan dari dulu hingga kini. Akibat
bias tersebut, perempuan tidak hanya mengalami peremehan tetapi juga pelecehan
bahkan kekerasan baik fisik maupun batin. Legitimasi kekerasan tersebut kerap
kali disandarkan pada dalih keagamaan. Agama bagi mereka merupakan payung untuk
melaksanakan modus pelbagai kekerasan. Dengan dalih keagamaan dan penafsiran
yang mereka anggap benar, maka kemudian perempuan tak jarang dijadikan sebagai
objek.
Dalam kajian keislaman khususnya dalam
kajian hadis kontemporer, dikenal istilah “hadis misoginis”. Secara kebahasaan,
misoginis berarti kebencian terhadap perempuan. Pemahaman hadis misoginis bukan
berarti hadis yang mengandung unsur “kebencian” terhadap perempuan. Hal
tersebut sudah pasti mustahil ada dalam diri seorang Nabi, karena tidak ada
satu hadis pun yang mengandung unsur kebencian terhadap sesama manusia maupun
makhluk lain kecuali hadis tersebut bersifat palsu (maudlu’). Hanya
saja, yang harus diperhatikan adalah penafsiran atas hadis tersebut.
Salah satu contoh yang kerap dijadikan
pemahaman bahwa kaum perempuan berada di bawah laki-laki adalah intervensi
malaikat dalam hubungan seks antara suami dan istri. Malaikat akan melaknat
sampai subuh bagi serorang istri yang menolak ajakan suami. Dalam memahami
hadis tersebut tentu harus dilihat secara holistik sehingga memunculkan
pemahaman yang seimbang. Wahbah az-Zuhaily misalnya memberi catatan bahwa
laknat bagi istri tersebut jika penolakannya tanpa didasari oleh suatu sebab
atau istri dalam keadaan longgar.
Dilihat dari aspek yang berbeda, dapat
pula dilakukan dengan pendekatan kebahasaan (semantik). Kata yang digunakan
sebagai kata untuk mengajak adalah da’ā. Kata tersebut sejatinya
digunakan untuk mengajak dengan ajakan yang halus, sopan dan baik seperti
ajakan kepada jalan kebenaran (al-Nahl [16] : 125). Lalu, kata yang digunakan
sebagai jawaban atas ajakan tersebut adalah abat (menolak).
Kata abat berarti menolak dengan kasar, tak acuh dan keras
(lihat. Al-Baqarah [2] : 34). Maka, laknat akan turun jika ajakan yang baik
dibalas dengan jawaban yang kasar. Ajakan tersebut dapat berasal dari suami
maupun istri.
Islam memuliakan Perempuan
Salah satu bukti pemuliaan Islam
terhadap kaum perempuan adalah dengan adanya penamaan sebagian surat dalam
al-Quran yaitu surat an-Nisā dan Maryam. Kata an-Nisā secara lebih rinci
terulang dalam al-Quran sebanyak 59 kali. Disinilah Islam hadir untuk
mengangkat derajat kaum perempuan menjadi lebih terhormat dan mendapatkan
hak-haknya sebagai manusia. Allah swt berfirman
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ (97(
“Barang siapa yang berbuat kebaikan dari
laki-laki atau perempuan dan dia mukmin, niscaya kami menghidupkannya dengan
kehidupan yang baik, dan kami memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” ( An Nahl [16] : 97).
Dr. Muhammad Rātib an-Nabulsy dalam
karyanya Muasūah an-Nabulsy lil Ulūmi al-Islamiyyah memberikan
penjelasan bahwa penggunan kata dzakardan unsta secara
bersamaan sejatinya merupakan sebuah penekanan terhadap kesamaan kedudukan
antara laki-laki dalam perempuan baik dalam hal tanggung jawab (taklīf)
maupun dalam pemuliaan (tasyrīf). Oleh karena itu, ketika seorang
perempuan melakukan kebajikan, ia akan memperoleh balasan (hayātan
thoyyibah-kehidupan yang baik) sebagaimana seorang laki-laki melakukan hal
yang sama.
Maka, Ketika dipahami secara holistik,
sejatinya Islam sangat menghormati dan memuliakan kedudukan perempuan. Tidak
ada bagian dalam Islam yang melegitimasi siapa pun untuk merendahkan kaum
perempuan. Allah menjadikan laki-laki dan perempuan dengan fungsi yang
berbeda-beda, namun hal ini tidak untuk menjadikan diskriminasi. Jika ada pemahaman
yang merendahkan perempuan, maka sebenarnya bukan berasal dari dalam ajaran
Islam, namun dari ideologi yang lain.
Wāllahu ‘alam bi ash-shawwab.[]
Diterbitkan di Islam Pos https://www.islampos.com/perempuan-di-tengah-kekerasan-179118/ pada Kamis 4 Rajab 1436/23 April 2015.
0 komentar:
Posting Komentar