Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen (10421021)[1]
Pendahuluan
Diskursus pernikahan dengan landasan perbedaan agama kini telah menjadi perbincangan umum di tengah masyarakat. Nampaknya, hal tersebut dianggap wajar dan lumrah di tengah masyarakat sekarang. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah apakah agama masing-masing melegalkan terjadi pernikahan tersebut. Tentunya masing-masing agama memiliki peraturan, garis-garis (role) yang menjadi acuan bagi masing-masing penganutnya untuk dijalani.
Pernikahan beda agama ini seperti bukan hal baru, melainkan telah terjadi pada masa sahabat. Di Indonesia sendiri tercatat pada Tahun 1980, sebanyak 24677 pasangan di Indonesia melakukan pernikahan beda agama. Selanjutnya pada tahun 1990, sebanyak 26688 pasangan di Indonesia melakukan hal yang demikian pula. Serta hasil terbaru yang ditemukan oleh penulis, pada tahun 2000, 2673 pasangan didata sebagai pihak yang melakukan pernikahan beda agama.[2]
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya dinamika hukum Islam itu sendiri. Nampaknya memang pernikahan beda agama adalah suatu yang hal yang sulit dihindari dan mungkin sudah menjadi sebuah keniscayaan. Terbukti tahun demi tahun angka pernikahan yang berbeda agama ini terus bertambah. Salah satu yang mungkin menjadi ‘faktor pembenar’ bagi orang yang melakukan pernikahan beda agama adalah Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan istilah HAM. Dengan dalih hak inilah yang digunakan sebagai salah satu alasan melakukan pernikahan beda agama di samping alasan dan faktor lainnya. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah memang benar adanya bahwa Islam melegalkan adanya pernikahan dengan perbedaan agama tersebut. Tentunya perlu adanya penkajian lebih mendalam lagi terkait permasalahan ini.
Pembahasan
Definisi Nikah dan Hukumnya
Menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.[3] Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.[4]
Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan. Hal ini dikarenakan menikah merupakan salah satu jenis perbuatan muamalah, dan setiap perbuatan mualamah pada dasarnya hukumnya adalah diperbolehkan sampai ada dalil yang menjelaskan tentang keharamanya.[5] Semenatra jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara menurut pendapat pengikut maliki dewasa ini, sebagian besar menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah[6]. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya shighat amr (tanda perintah) dalam firman Allah swt, QS an-Nisa:4 yang berbunyi:
“…fankihuu maa thoobalakum mina annisaa…”.[7]
Selain itu juga ada hadist nabi Muhammad SAW yang mengatakan:
Tanda perintah dua dasar hukum dalam islam inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab maliki.
Dasar Hukum Pernikahan
Menikah menurut salah satu dari sunnah nabi kepada umatnya. Terdapat hadis yang “memerintahkan” para muda-mudi untuk menikah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori da Muslim melalui sahabat Nabi ‘Abdullâh bin Mas’ûd. Bunyinya adalah, “Wahai para pemuda, siapa di antara kaliah yang mampu kawin, maka hendaklah dia kawin. Itu lebih baik dapat menjadikan pandangan tunduk ( tidak liar ke kanan dan kiri) dan lebih membentengi kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginnya.[9]
Hadis ini, disamping mengarahkan para pemuda dan pemudi untuk kawin, sekaligus menggarisbawahi syarat yang harus dipenuhi yaitu “kemampuan untuk kawin”. Kemampuan tersebut, mencakup kematangan mental, kemampuan fisik serta khusus bagi pria dana yang cukup untuk membina rumah tangga sakinah.[10]
Kemudaian, terdapat dalil yang menjelaskan pernikahan beda agama diantaranya dalam Al-qur’an, surat al-baqoroh :221, dalam ayat tersebut menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.[11]
Meski dalam ayat diatas, Islam secara tegas melarang pernikahan beda agama sampai orang yang dinikahinya beriman kepada Allah dan Rasulnya[12], akan tetapi terdapat ayat lainnya yang memberikan ‘kesempatan’ adanya pernikah dengan selain Islam yaitu Ahl Kitab. Penjelasan tersebut terdapat dalam surat al-Mâidah [5] : 5 yaitu
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.[13]
Dari seluruh teori yang telah dituliskan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya hukum islam melarang adanya pernikahan beda agama . Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama[14]
Biografi Nurcholis Majid dan Pemikirannya
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.[15]
Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.[16]
Pemikirannya yang menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah mimbar jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam Yes, Partai Islam No”. Ketika itu ia menganggap bahwa partai-partai Islam telah menjadi Tuhan baru bagi mereka. Partai atau organisasi dianggap sakral dan orang Islam yang tidak memilih parta Islam ketika Pemilu dituding melakukan dosa besar.[17]
Pendapat Cak Nur Tentang Penikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama tidak henti-hentinya untuk dikaji, baik itu dalam dunia akademik, hukum ataupun kehidupan sosial. Sehingga persoalan ini tergolong persoalan yang me-lulu menuai kontroversial (silang pendapat) antara ulama klasik maupun kontemporer. Pada persoalan ini, Cak Nur mengatakan bahwa untuk memaknai teks secara literal QS. Al-Baqarah : 221, dan al- Mumtahanah : 10 akan menuai kesimpulan yang bersifat serta merta, bahwa menikah dengan non-Muslim hukum adalah haram.[18]
Pemikiran seperti ini menurut Cak Nur kurang tepat. Pemikiran semacam ini dikarenakan sebagian masyarakat muslim Indonesia beranggapan bahwa yang termasuk dalam golongan musyrik adalah Yahudi dan Nasrani. Sehingga muncul dalam benaknya, apakah kaum non-muslim (Yahudi dan Nasrani) adalah tergolongan Musyrik. Kemudian, Cak Nur mengutip pendapat al-Maududi yang mengatakan bahwa dalam al-quran terdapat term yang disematkan kepada kaum non-muslim yang maknanya antar satu dan lainnya memiliki makna yang berbeda. Istilah itu adalah musyrik, ahl-kitab, dan ahl Iman.[19]
Hematnya, tidaklah tepat manakala istilah musyrik tersebut dialamatkan kepada non-muslim, sehingga dijadikan alasan kehalalan untuk melaksanakan pernikahan beda agama. Hal ini menurut Cak Nur tidaklah adil, karena menurutnya jika orang non-muslim melakukan perbuatan syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, namun, sebaliknya seorang itu dikatakan musyrik maka sudah jelas ia pelaku perbuatan syirik.[20]
Selanjutnya, nampak jelas bahwa Cak Nur berpendapat bahwa pernikahan dengan perbedaan agama adalah diperbolehkan. Lebih lanjut lagi ia mengatakan tidak ada nash yang melarag secara sharih. Pada dasarnya dasar hukum yang menjadi sumber adalah sama dengan ulama, akan tetapi yang menjadi perbedaannya ialah Cak Nur lebih menafsirkan dengan gaya pemikiran kontektual, sehingga secara tidak langsung tafsir tersebut mengarah pada tafsir liberal. Cak Nur menafsirkan kata ‘musyrik’ dalam QS al-Baqarah : 221 adalah bukan Yahudi dan Nasrani melainkan orang-orang musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci (penyembah Berhala).
Sebagaimana pendapatnya yang menolak bahwa kaum non-muslim sebagai musyrik ditolak dengan alasan. Pertama, dalam ayat-ayat al-Quran antara term musyrik dan ahl kitab dengan menggunakan kata penghubung “waw” yang dalam bahasa arab disebut athaf. Sehingga ini berarti berbeba dengan sebelumnya. Maka, berbeda menjadi berbeda antara musyrik dan ahl kitab. Kedua, larangan menikahi musyrik, karena dikhawatikan laki-laki/perempuan musyrik tersebut nantinya akan memerangi Islam dan ini yang terjadi dalam situasi ketegangan antara kaum Muslim dengan kaum Musyrik Arab. Ketiga, dasar hukum diperbolehkannya menikah dengan perbedaan agama berlandaskan QS. al-Maidah [5] : 5. Selain itu, Cak Nur pula memberikan argumen tentang adanya sahabat nabi yang menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani yaitu Hudzayfah dan Talhah.[21] Pandangan Cak Nur tidak berhenti disitu, Ia pula meninjau permaslahan ini dari sudut pandang Hak Asasi Manusa (HAM) yang akan di bahas selanjutnya.
Pandangan Para Ulama
Terdapat pembedaan antara menikahi orang nonmuslim/kafir dan ahli kitab. Nonmuslim/kafir adalah seseorang yang tidak mempercayai Allah SWT. Sementara Syeikh Muhammad abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama.[22] Sedangkan ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama samawi yang diberi kitab yaitu Taurat, Injil dan Zabur.[23]
Adapun dengan ahli kitab, Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh Maududi, imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memeliki kitab dan dapat di duga sebagai kitab suci.[24] Maka, mayoritas ulama membolehkan untuk menikahi ahli kitab berdasarkan surat al-Maidah ]5] : 5.[25]
Pernikahan beda agama adalah dilarangan sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama’. Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga didasarkan pada surat al-Baqoroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala.[26] Hal serupa senada dengan ibn Umar r.a. [27]
Sementara menurut Qotadah yang dimaksud dengan musyrik adalah musyrik arab, hal ini pula senada dengan Muhammad rasyid Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam al-Qur’an QS al-Baqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.[28]
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS al-Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS al_Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan. Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Syafi’iyyah yang menolak bahwa QS al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat al-Baqoroh:221, akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria tertentu.[29] Adapun menurut pembaharu hukum Islam bahwa tidak menganal adanya deskriminasi bagi siapa pun maka diperbolehkan bagi siapa pun untuk dapat menciptakan kehidupannya secara bebas.
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kitab dirumuskan oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS al-Maidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS al-baqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.[30]
Melihat hal tersebut, yaitu terdapat pendapat yang membolehkan untuk menikah dengan orang yang tidak beragama Islam dan juga ada pendapat yang melarang untuk menikah dengan orang yang beragama selain Islam. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap hukum pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram. Maka, dalam pengambilan hukumnya maka dapat kembali ke kaidah fiqih yaitu “idza ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al haram”.[31] Kaidah ini sebagai penengah apabila terdapat sesuatu yang menghalalkan dan mengharamkan maka didahulukan yang menyatakan sesuatu itu haram sebagai suatu kehati-hatian sehingga umat Islam tetap terjaga dalam aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Nikah beda Agama Prespektif HAM
Perbincangan terkait Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi perbincangan yang umum di tengah masyarakat. Paham liberalism terhadap manusia yang mendasari lahirnya HAM kemudian menjadi titik tolak bahwa yang menjadi pusat dunia adalah manusia. Dengan landasan tersebut, manusia kemudian ditempatkan dalam posisi yang teratas sehingga apa-apa yang menjadi haknya tidak dapat direbut, bahkan oleh manusia lain.[32]
Dalam pemikiran klasik beberapa doktrin seperti John Locke menyatakan bahwa hak manusia (hak asasi manusia) meliputi, hak hidup, hak kemerdekaan, serta hak milik.[33] Berbeda pendapat dari John Locke, Thomas Hobbes hanya menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada satu, yaitu hak untuk hidup. Satu hal yang patut dicermati dari perbedaan ini, John Locke juga menyampaikan bahwa hak tersebut berasal dari Tuhan yang sifatnya kodrati. Artinya, menurut John Locke, hak asasi manusia ada karena diberikan oleh Tuhan.[34]
Di Indonesia, perihal HAM tidaklah asing di telinga rakyat Indonesia itu sendiri. Sudah menjadi konsekuensi logis setelah penjajahan yang dilakukan selama berabad-abad oleh bangsa Barat menimbulkan sikap nasionalis untuk melindungi hak-hak rakyat. Diantara hak-hak tersebut diantaranya hak hidup, hak atas pribadi termasuk didalamnya bebas dalam memeluk agama, hak memperoleh keadilan dan lainnya. Cak Nur sebagai “lokomotif” pembaharuan Islam Indonesia, begitu rajin menelurkan gagasan yang bernas-walaupun dalam sejarahnya, ia termasuk cendekiawan yang kontroversial dan disalahpahami. Cak Nur menarik garis panjang bila HAM bukanlah hal baru, bahkan HAM ada sepanjang keberadaan manusia.[35]
Bagi Cak Nur, HAM sejatinya mengadopsi nilai Islam yang inklusif. Kemudian, ia membedakan antara konsep HAM islamis yang berbenturan dari konsep HAM barat yang begitu sekuler. Di sini diangkat pandangan Cak Nur pada HAM islamis dan perwujudannya menghadapi beberapa kasus: hukuman mati, aborsi, nikah beda agama, eutanasia, dan lainnya. Dalam kasus aborsi, jelas bila dilakukan semena-mena adalah pelanggaran hak hidup bayi.[36]
Dalam Islam sendiri, HAM dirancang pertama kali sejak munculnya Piagam Madinah ayng meliputi hak hidup, hak memiliki kebebasan termasuk didalamnya bebas memeluk agama pula, hak dalam mencari kebahagian. Sehingga jelas bahwa Islam pun mengakui konsep hak tersebut yang secara penuh diberikan Tuhan kepada manusia. Hal ini menimbulkan konsekuensi logis, bahwa Tuhanlah yang boleh menetapkan mana yang bisa dimiliki haknya oleh manusia dan mana yang tidak. Secara substantive, hak asasi manusia dalam Islam lebih diarahkan pada implementasi kewajiban asasi manusia, yaitu keharusan manusia untuk tidak melakukan sesuatu pada manusia lainnya. Dalam hal ini, pedoman melakukannya terdapat dalam agama Islam itu sendiri, sedangkan kodifikasi khususnya terdapat dalam piagam madinah yang merumuskan hak-hak yang dapat diperoleh oleh umat manusia.[37]
Lalu, yang menjadi fokus pembahasan selanjutnya ialah bagaimana dengan penikahan yang dilandasi dengan agama yang berbeda. Indonesia sebagai agama yang prural dalam artiannya bahwa Indonesia memiliki kompleksitas dalam hal suku, ras, budaya, hingga agama. Peraturan per-UU telah menampilkan peraturan terkait hal ihwal pernikahan yang termaktub dalam UU no. 1 tahun 1974 yang merupakan unifikasi dari hukum pernikahan yang ada di Indonesia. Permasalahan kemudian muncul, ketika pembatasan pernikahan atas dasar uu ini pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Dalam konsep HAM barat yang dewasa ini sangat digencarkan, pernikahan dirumuskan dalam instrument hukum internasional yaitu DUHAM, tepatnya pada pasal 16 dalam 3 ayat, yaitu :[38]
a. laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
b. perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan
c. keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Jelas bahwa Dalam konsep tersebut, HAM diartikan memberi kebebasan untuk melakukan pernikahan tanpa memandang agama. Hal ini bertentangan dengan UU no 1 tahun 1974, yang menyatakan harus dilakukan sesuai dengan agama masing-masing. Penjelasan atas UU ini kemudian diperkuat dengan adanya UU no 39 tahun 1999.[39] Dalam pasal 50 UU ini, tercantum klausa bahwa “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.”
Apabila kembali mencermati konsep HAM yang dipaparkan dalam DUHAM diatas yang disusun berdasarkan faham rasionalisme sehingga melahirkan keputusan yang memisahkan antara agama dan dunia yang pada akhirnya melahirkan keputusan yang melegalkan untuk menikah dengan perbedaaan agama. Berbeda dengan konsep Islam yang bertujuan untuk kemasahatan, hal ini dikarenakan karena memang untuk menikah itu sendiri dilakukan atas dasar hak yang diberikan Tuhan. Maka, tentunya harus memperhatikan rambu-rambu yang diperintahkan Tuhan dalam melaksanakan pernikahan tersebut.
Kesimpulan
Terakhir, berdasarkan paparan diatas dapat ditaris benang merah bahwa :
1. Pada prinsipnya pernikahan dengan perbedaan agama adalah dilarang. Terkecuali seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita ahli kitab dan itu pun para ulama masih silang pendapat terkait kebolehannya. Kita sebagai umat Islam pun harus kembali mengkaji ulang terhadap berbagai pendapat tersebut. Terdapat suatu kaidah yang mungkin bisa menjadi solusi ialah apabila terdapat dua pendapat atau dalil yang menjelaskan keharaman di satu sisi dan di sisi lain menjelaskan tentang kehalalannya. Maka, yang harus didahulukan adalah pendapat atau dalil yang mengharamkannya, tentu hal ini merupakan suatu kehati-hatian dalam menjalankan syariah Islam
2. Nurcholis Majid sebagai tokoh pembaharu dalam dinamika hukum Islam berpendapat bahwa hukum bagi laki-laki/perempuan yang menikah atas landasan agama yang berbeda adalah halal.
3. Ditinjau dari Hak Asasi Manusia yang merupakan hak yang secara kodrati diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Maka, amat tidak etis dan wajar apabila manusia memilih keputusan yang menyimpang dari ketentuan yang berikan oleh Tuhan. Maka, tentu kuputusannya haruslah sesuai dengan peraturan (role) yang digariskan oleh Tuhan dan tidak lazim untuk bertentangan dengan keputusan tersebut.
REFERENSI
Al-Qodhi, Imam. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut :Dar al Fikr,2008.
Al-Qur’an dan terjemahanya. Yogyakarta : UII Press. 2010.
Ash-Shobuni, Ali.M. Tafsir Ayatul Ahkam. Kairo : Dar ashobuni, 2008.
Hasanuddin, Ahmad. dkk. Pernikahan Beda Agama ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM. Dipresentasikan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, 2012.
Munawwir, A. W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya :Pustaka Progressif,2002.
Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta :Kalam Mulia, 2008.
Shihab. Quraish, 1001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui. Tanggerang : Lentera Hati, 2010.
Zakaria, Syamsul. Kontreversi Pelaku Apostasi. Pada Jurnal Khazanah Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid.
http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html.
* Tugas dari mata kuliah Hadis Ahkam Prodi Hukum Islam, Fakultas Ilmua Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII).
[1] Mahasiswa Hukum Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
[2] Ahmad Hasanuddin, dkk. Pernikahan Beda Agama ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM. Dipresentasikan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, 2012.
[3] A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya :Pustaka Progressif,2002), hlm. 1461
[5] Redaksi aslinya adalah al-ashlu fil ibdo li tahrim. Demikianlah menurut madzhab syafi’i. Dirujuk dari Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta :Kalam Mulia, 2008), hlm. 25.
[6] Imam al-Qodhi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut :Dar al Fikr,2008), juz II, hlm. 3
[7] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. an-Nisa : 3
[8] Imam Qodhi, Op. Cit, hlm. 3
[9] M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui. (Tanggerang : Lentera Hati, 2012), hlm.562.
[10] M. Quraish Shihab. Op. Cit, hlm. 562-563.
[11] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. al-Baqoroh: 221.
[12] M. Ali Ash-Shobuni, Tafsir Ayatul Ahkam. (Kairo : Dar ashobuni, 2008) hlm. 202
[13] Ibid, QS. al-Maidah: 5.
[14] Ahmad Hasanuddin, dkk. Op. Cit. Hlm. 10.
[15] Dikutip dari http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html pada 19 Maret 2012, pukul 22.05.
[17] Imam Fauzi, Studi Komperatif Pemikiran Masjfuk Zuhdi dan Nurcholis Majid Tentang Pernikahan Beda Agama, disusun dalam memenuhi syarat memperoleh Sarjana Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim, Kota Malang. Dapat diakses pada http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/07210023-imam-fauzi.ps
[18] Ibid.
[19] Ibid. Hlm, 23
[20] Ibid,
[21] Ibid Hlm 26-29.
[22] M. Quraish Shihab, Op. Cit. Hlm. 772.
[23] Syamsul Zakaria. Kontreversi Pelaku Apostasi. Pada Jurnal Khazanah Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. 2011.
[24] M. Quraish Shihab, Op. Cit. Hlm. 595.
[25] M. Ali Ash-Shobuni, Op. Cit. Hlm. 204.
[26] Ahmad Hasanuddin, dkk. Op. Cit. Hlm. 12.
[27] M. Ali Ash-Shobuni, Op. Cit. Hlm. 204.
[28] Ibid, dan Ahmad Hasanuddin, dkk. Op. Cit. Hlm. 13.
[29] Ibid,
[30] M.Quraish Shihab, M. Quraish …,Op.Cit, hlm. 597.
[31] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta :Kalam Mulia, 2008), hlm. 51.
[32] Ahmad Hasanuddin, dkk. Op. Cit. Hlm. 14
[33] Dimuat dalam artikel berjudul Pendapat Para Ahli Tentang HAM di website http://nalhackerblog.blogspot.com/2010/03/pendapat-para-ahli-tentang-ham.html, di akses pada tanggal 07 Maret 2012
[34] Ahmad Hasanuddin, dkk. Op. Cit. Hlm. 15-16.
[35] http://lakonsae.blogspot.com/2011/07/ham-di-mata-nurcholish-madjid.html dikutip pada 19 Maret 2012, pukul 23.05.
[36] Ibid,
[37] Ibid, hlm, 23.
[38] Ibid, hm, 24
[39] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar