Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen[1]
Latar Belakang
Permasalahan keluarga akhir-akhir ini sering menimbulkan menimbulkan gonjang-ganjing, permasalahan baru mulai bermunculan. Diantara permasalahan yang mendapatkan perhatian yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah mas kawin, dan biaya perkawinan, malasah poigami dan hak hak-hak istri dalam poligami, masalah nafkah istri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah perceraian, masalah hak waris, masalah wasiat bagi ahli waris dan masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.[2]
Dengan diundangnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dimuat dalam Lemabaran Negara tahun 1974 No. 1 dan Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Negara No. 3019 maka mulailah suatu masa baru dalam hukum perkawinan di Indonesia.[3] Rancangan Undang-Undang tersebut telah diterima dengan baik oleh Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 22 Desember 1973, bertepatan dengan Hari Ibu , lalu diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan juga diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara pada tanggal yang sama. Walaupun demikian, Undang-undang tersebut belum dapat dijalankan secara efektif sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang hal itu (pasal 67 ayat 1). Ibarat sebuah mobil, walaupun sudah lengkap peralatannya namun belum dapat dijalankan sebelum dilengkapi dengan surat-surat dan syarat-syarat yang diperlukan.[4]
Kelahiran undang-undang no 1 tahun 1974 bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hokum perkawinan yang bersifat dan berlaku “Nasional” dan “menyeluruh”, melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki, atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hokum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik. Dalam kaitan ini, penjelasan umum undang-undang no 1 tahun 1974 antara lain menyatakan : Dalam undang-undang ini ditentukan prinisp-prinsip atau asas-asass mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawianan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman.[5]
ANALISIS
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Setelah mengalami proses selama lebih kurang 15 bulan semenjak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, maka pada tanggal 1 April 1975 telah dapat diungkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Lemabran negara Republik Indonesia tahun 1975 No. 3050). Peraturan Pemerintah ini berisi 49 Pasal yang terdiri dai 10 Bab sebagai berikut :
I. Ketentuan Umum
II. Pencatatan Perkawinan
III. Tatacara Perkawinan
IV. Akta Perkawinan
V. Tatacara Percereaian
VI. Pembatalan Perkawinan
VII. Waktu Tunggu
VIII. Beristeri lebih dari seorang
IX. Ketentuan Pidanan
X. Penutup
Masih ada 2 hal yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini yaitu, Pertama tentang penunjukan terhadap pejabat yang berkewajiban mencegah perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat (Pasal 16 ayat (2)). Kedua, mengenai anak yang lahir di luar perkawinan (Pasal 43 ayat ( 2) UU).[6] Hal ini nampaknya kala penyusunan Undang-Undang tersebut nampaknya masih belum menuai banyak permasalahan secara nyata dan memang belum mendesak peraturannya sehingga masih dapat ditangguhkan. Namun, seiring perkembangan zaman, permasalahan baru merupakan suatu keniscayaan. Salah satu contoh terkini ialah persoalan anak yang lahir di luar perkawinan yang diputuskan oleh MK yang belakangan ini ramai dibicarakan publik.[7]
Asas-Asas Hukum Perkawinan Nasional
Dalam UUP (Undang-Undang Perkawinan), ditemukan prinsip ataupun asas-asas perkawinan nasional dan segala sesuatu yang terkait dengan persoalan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sebagaimana tercantum sebagai berikut:[8]
a. Asas perkawinan kekal
Tujuan dari setiap perkawinan adalah membentuk keluarga yang baik, bahagia dan kekal. Artinya perkawinan idealnya atau hendaknya hanya sekali dalam hidup sehingga dapat terwujud nilai dari perkawinan tersebut. Sehingga perkawinan tidak terbatas oleh jangka waktu tertentu sebagaimana nikah mut’ah.
b. Asas Perkawinan menurut Hukum agama dan kepercayaan
Sahnya sebuah perkawinan adalah apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh aturan agama masing-masing penganut. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan (kafa’ah) kedua mempelai, sehingga tidak terjadi perselisihan lantaran perbedaan yang signifikan. Kedua mempelai yang hendak menikah seharusnya adalah seiman dan juga sekeyakinan kecuali apabila hokum agama dan kepercayaanya menentukan lain. Prinsip ini dapat dijumpai dalam pasal 2 ayat 1 UUP.
c. Poligami sebagai pengecualian
Poligami atau memiliki lebih dari seorang istri. dalam hal poligami hanya sebagai pengecualian perkawinan, sepanjang hokum agama dari yang bersangkutan mengizinkan, persoalan poligami terkait persyaratan untuk menikahi lebih dari seorang istri telah diatur dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 dan 5 UUP. Secara ringkas perkawinan poligami sesungguhnya tidak dianjurkan hanya diperbolehkan apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu. Namun apabila hokum perkawinan poligami tidak terppenuhi, maka poligami adalah haram.
d. Asas tidak mengenal perkawinan poliandri
Pasal 3 ayat (1) UUP adalah pasal yang mempersoalkan poliandri. Poliandri merupakan perbuatan hokum yang tidak dibenarkan , dimana seorang istri memiliki suami lebih dari satu. Hal ini sejalan dengan ketentuan Al Qur’an surat An nisa ayat 24. Hikmah utama perkawiwnan poliandri dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan dan nasab, jangan sampai bercampur aduk. Karena seorang anak sejak dilahirkan bahkan masih dalam kandungan sudah memiliki hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian hokum.
e. Asas perkawinan terdaftar
Tiap-tiap perkawinan yang di lakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu di anggap mempunyai kekuatan hokum bilamana di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Asas perkawinan monogamy
UUP menganut asas monogamy, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai suami dalam waktu bersamaan. Artinya dalam waktu yang bersamaan, seorang suami atau istri dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip ini di tegaskan dalam pasal 3 ayat 1 UUP yang menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
g. Asas keseimbangan hak dan kedudukan suami istri
Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat seimbang. Suami istri dapat melakukan perbuatan hokum dalam kerangka hubungan hokum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami istri. Prinsip ini terdapat pada pasal 31 UUP.
h. Asas mempersukar perceraian
Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera maka UUP menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan siding pengadilan setelah hakim atau juru pendamai tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
i. Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak
Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, setiap perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak. Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu perkawinan harus didasarkan pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami istri, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun. Perkawian yang tidak dasari oleh persetujuan kedua belah pihak maka akan dibatalkan. Prinsip ini di tegasakan dalam pasal 6 ayat 1 UUP.
Kesimpulan
Kondisi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia bermula semenjak diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Namun, setelah perundang-undangan itu diberlakukan dan hingga pada saat ini, permasalahan demi permasalahan baru mulai bermunculan sebagaimana permasalahan-permasalahan yang telah kai sebutkan di atas. Permasalahan-permasalahan baru tersebut, seharusnya disikapi dengan ‘kepala dingin’. Permasalahan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dihindari, dikarenakan zaman yang berjalan dan dalam situasi yang berbeda pula sehingga mengharuskan adanya dialog keagamaan khususnya permasalahan hukum kekeluargaan secara humanis ddan relevan dengan kondisi yang ada. WaAllahu’alam bis-ashawwab. [].
DAFTAR PUSTAKA
Sosroatmodjo. Arso dan Wasit Aulawi. 1981. Hukum perkawinan di Indonesia.. Jakarta : Bulan Bintang.
Thalib, Sayuti. 2007. Hukum kekeluargaan Indonesia. Jakarta : UI Press.
Yusdani. 2011. Menuju Fiqih Keluarga Progresif. Yogyakarta : Kaukaba.
Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-aspek hukum perorangan dan kekeluargaan di Indonesia.. Jakarta : Sinar Grafika.
[1] Penulis adalah Mahasiswa aktif program studi Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI). Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
[2] Yusdani, Menuju Fiqih Keluarga Progresif. (Yogyakarta : Kaukaba, 2011). Hal 45.
[3] Sayutu Thalib, Hukum kekeluargaan Indonesia. (Jakarta : UI Press, 2007). Hal 45.
[4] Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi. Hukum perkawinan di Indonesia. (Jakarta : Bulan Bintang, 1981). Hal 52.
[5] Rachmadi Usman, Aspek-aspek hukum perorangan dan kekeluargaan di Indonesia.(Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Cet.1. hal 231.
[6] Asro Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi. .Op Cit. Hal 53.
[7] MK membuat keputusan revolusioner pada Jumat 12 Februari 2012. MK menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya" lihat pada http://news.detik.com/read/2012/03/13/164310/1866192/10/?992204topnews diakses pada 04 April 2012, pukul 12.17 WIB.
[8] Rachmadi, Usman. .Op cit. Hal 264-267.
0 komentar:
Posting Komentar