Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(Q.S. An-Nahl [16] : 97)
Rasa-rasanya tidak ada nikmat yang paling agung melainkan
kekuatan iman yang selalu melekat pada diri seorang manusia. Bagaimana tidak,
dalam agama Islam eksistensi diri seorang manusia sangatlah dihargai dan
dijunjung tinggi. Setiap manusia diberikan haknya masing-masing untuk menikmati
hidup dan berkembang tanpa adanya diskriminasi. Perlakuan yang sama tanpa
perbedaan jenis kelamin, ras, suku dan bangsa asal mereka melakukan amal sholih,
yang membedakan di antara mereka adalah ketaqwaannya.
Dalam Islam, manusia disebut-sebut sebagai “ahsanu
taqwim” sebaik-baik penciptaan. Artinya,ini menunjukan bahwa derajat
manusia menempati nomor wahid dalam jajaran makhluk ciptaan Allah di muka bumi.
Akan tetapi, untuk dapat mempertahankan predikat itu, manusia wajib mempunyai
password atau PIN-nya. Apa itu? Iman dan Amal Sholih. Jika Iman sudah melekat
pada diri manusia dan disertai dengan amal yang sholih maka predikat itu akan
selalu melekat pada diri manusia dan bisa jadi ia akan lebih mulia dari malaikat.
Padahal malaikat dalam al-Quran disebut sebagai makhluk yang tidak pernah
berbuat maksiat kepada Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah manakala dua kunci
itu hilang dan kabur dari manusia maka bisa jadi ia akan lebih buruk dari
Syaitan. Na’udzubillah. Maka, untuk terus memupuk dan mempertahakannya
kita harus menyadari bersama bahwa hakikat penciptaan manusia di dunia ini adalah
untuk beribadah, menghamba kepadaNya semata.
Hakikat Ibadah
Para ulama memberikan
definisi agama Islam dengan sederhana yaitu “seperangkat peraturan Tuhan yang
ditujukan untuk memandu makhluk-makhluk Tuhan yang mempunyai akal sempurna
yaitu manusia untuk mendapatkan kebahagian hidup di dunia yang fana’ dan kesejahteraan
di akhirat yang kekal”. Dari definisi itu jelas bahwa segala macam ritual
ibadah itu sejatinya kembali untuk kebaikan dan kemaslahatan kita sendiri,
bukan untuk Allah SWT. Karena Allah SWT akan tetap sebagai Tuhan Semesta Alam
meskipun penduduk seisi bumi ini tidak menyembah kepadaNya.
Ketika Allah memerintah kita untuk menunaikan shalat
bukan berarti Allah SWT menginginkan kita supaya lelah, karena Allah berkuasa
untuk membuat kita menjadi lelah, lesu, lunglai, lemah tak berdaya meski kita
tidak mendirikan shalat. Begitu juga ketika Allah memerintahkan kita untuk
membayar zakat, bukan berarti Ia menghendaki kita untuk jatuh miskin, karena Ia
juga berkuasa untuk menjadikan kita miskin meskipun kita tidak membayar zakat.
Dalam ibadah puasa, bukan berarti supaya kita lantas menjadi sakit perut,
karena Allah SWT berkuasa untuk menjadikan kita sakit perut meskipun kita tidak
berpuasa. Sehingga, segala bentuk ibadah itu hakikatnya kembali ke hamba
tersebut.
Jadi, tidak ada satu ritual ibadah pun yang kemudian
bersifat siksaan untuk seorang hamba, begitu juga tidak ada ibadah yang
bersifat hiburan untuk Allah SWT. Dia tidak butuh hiburan dalam bentuk manusia
melakukan ibadah. Hanya saja Dia sangat senang manakala seorang hamba tersebut
mengabdi dan menghamba hanya kepadaNya. Ketauhidan manusia yang murni untuk
beribadah kepadaNya-lah yang nantinya akan diganjar dengan lipatan-lipatan
pahala yang telah dijanjikan.
Hindari Sifat Menyepelekan
Hakikatnya segala macam
amal baik manusia ketika didasari oleh ketulusan niat yang baik pula akan
bernilai sebagai Ibadah. Ibadah tidak hanya dimaknai dengan sangat rigid dengan
segala macam ritual yang berada di masjid an sich, tetapi ibadah tidak
mengenal batas ruang. Di mana pun seorang hamba berbuat baik dan sholih maka
tercatat sebagai amalan ibadah meskipun amal tersebut termasuk dalam kategori
amal dunia.
Dikisahkan dalam salah satu riwayat, suatu ketika ada
seorang pemuda yang sedang mengembara. Dalam perjalanan itu, pemuda tersebut
merasakan haus yang sangat luar biasa. Ia kemudian menemukan sebuah sumur yang
jernih. Tanpa pikir panjang, ia kemudian turun ke sumur itu untuk menghilangkan
rasa hausnya. Setelah hilang hausnya, ia pun kembali naik ke permukaan. Ketika
sudah sampai di permukaan, ia mendapati
ada seekor anjing yang juga kehausan. Akhirnya, ia kembali turun ke sumur tadi
dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya, setelah sepatunya terisi air, kemudian
menggigit sepatunya hingga ke permukaan dan meminumkannya ke anjing. Dari
kejadian itu, Allah kemudian mengampuni dosa pemuda tersebut.
Dari kisah di atas, perlu kita ambil hikmahnya bahwa
memberi minum kepada seekor hewan yang dalam kajian fiqh digolongkan termasuk
kategori najis mughaladzah (najis berat) dapat bernilai ibadah dan
menjadikan orang yang melakukannya mendapatkan ampunanNya, apalagi kepada
sesama manusia yang membutuhkan. Allah akan selalu bersama orang yang selalu
membantu terhadap sesamanya. Sekecil apapun amal perbuatan manusia dapat
bernilai ibadah di sisi Allah ketika didasari atas niatan yang baik.
Sama halnya dengan kebaikan, keburukan meskipun sekecil
apapun haruslah diperhatikan. Dalam salah satu riwayat disebutkan ada seorang
wanita yang taat beribadah, akan tetapi terdapat kesalahan yang menurutnya
tidak besar dan mengabaikannya sehingga ia menerima siksaan, dalam riwayat ia
memelihara seekor kucing dan akhirnya mati karena tidak diperlakukan
sebagaimana mestinya. Kucing itu hanya hidup dalam kurungan tanpa adanya
pemberian makan atau minum. Na’udzubillah.
Keburukan yang kecil atau
sedikit dapat menjadi besar apabila dibiarkan begitu saja. Pembiaran atas hal
itu justru menimbulkan malapetaka yang akhirnya kembalinya kepada orang yang
membiarkannya. Terdapat analogi sederhana, ketika anda diminta untuk mencari
batu kecil-kecil yang beratnya andaikan 5 kg, dan di saat yang berbeda anda
diminta untuk mencari batu besar yang juga seberat 5 kg. Ketika kemudian anda
diminta untuk mengembalikan batu tersebut sesuai dengan letak di mana anda
awalnya mengambilnya, mana yang lebih mudah anda kembalikan? Apakah batu besar
atau kecil?
Secara logika, lebih mudah mengembalikan batu yang besar
dibanding dengan batu kecil. Kesalahan besar (ibarat batu besar) ketika
dimintai ampunan dengan sungguh-sungguh dan berjanji tidak mengulanginya pada
waktu yang lain, maka ampunanNya-lah yang didapatkan, karena Allah SWT adalah
Maha Pengampun. Ketundukan diri dan pengakuan atas diri yang telah berdosa
itulah yang menjadikan Allah SWT senantiasa membuka pintu ampunan bagi siapa
saja yang datang menghadap kepadaNya.
Oleh karena itu, dalam ajaran agama Islam, kita diajarkan
untuk selalu memperbanyak bacaan istighfar. Terkadang kita tidak sadar
bahwa kita sedang atau telah melakukan perbuatan dosa. Ketidaktahuan itulah
yang terkadang luput untuk kita mintakan ampunan dariNya.
Islam itu Indah
Islam dan seperangkat
ajarannya itu semata-mata untuk kebaikan dan kemaslahatan hambaNya. Misal
shalat, bila dikaji lebih mendalam setidaknya ada tiga dimensi yang terkandung
di dalamnya. Yaitu spritual, medikal, dan sosial. Secara spritual orang yang
menjalankannya dengan baik dan benar akan merasa lebih tenang selain
mendapatkan pahala dan diampuni dosanya, sedangkan secara medikal ia akan
merasakan kebugaran yang lebih dibanding orang yang tidak melaksanakannya,
mengapa? Karena Allah yang menciptakan tubuh kita dan Dia juga yang paling
paham struktur tubuh dan gerakan yang menjadikannya lebih baik.Serta secara
sosial, relasi antar sesama akan terjalin lebih baik, sikap solidaritas-lah
yang muncul bagi orang yang mendirikannya dengan baik dan benar. Kalau demikian
adanya maka perdamaian bukanlah barang mahal yang sulit tercapai. Hidup ini
akan selalu dalam ketentraman dan kebahagian dalam bingkai keberagaman.
Islam memberikan porsi
yang sesuai dengan kondisi zaman dan ruang. Itulah kemudian dikenal dengan
istilah sholih li kulli zaman wal makan. Dengan dinamika hidup yang
terus berkembang, Islam memberikan kemudahan-kemudahan bagi para pemeluknya dalam
menjalankan syariat. Akan tetapi, dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan itu
jangan kemudian dipermudah dan membuat kita lalai atas tujuan awal esensi
syariat tersebut.
Sebagai penutup, penulis
ingin menyampaikan salah satu quote dari seorang teman yang mengatakan “jika
wajah (harta, tahta, wanita) yang membuatmu jatuh cinta, bagaimana caramu
mencintai Tuhan yang tak berupa?”. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
amal baik kita meski kecil dan mengampuni segala macam bentuk kesalahan dan kekhilafan
kita. Amin. Hadânâllah wa iyyâkum ajmaîn.WaAllahu ‘alam []
M. Iqbal Zen
Mahasiswa Hukum Islam 2010
Santri Pon-Pes UII
Diterbitkan oleh Buletin Al-Rasikh Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia
(http://alrasikh.uii.ac.id/2013/12/20/nikmatnya-hidup-sebagai-seorang-muslim/)
0 komentar:
Posting Komentar