Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujarat [49] :
13)
Dalam sebuah diskusi internal di kalangan
mahasiswa, penulis pernah meminta kepada teman-teman penulis untuk menulis
sebuah artikel yang bertemakan “Islam Bicara Soal Toleransi”. Dari hasil
tulisan tersebut, rencananya selain sebagai bahan diskusi selanjutnya juga
diperuntukkan untuk dipublikasikan baik melalui website maupun majalah dinding
(mading). Setelah waktu pengumpulan artikel tersebut tiba, beberapa rekan mahasiswa
pun akhirnya mengirim artikelnya melalui email penulis.
Dari
beberapa artikel tersebut, ternyata masih ada dari sementara mahasiswa yang
mencampur-adukkan antara beberapa istilah yang sejatinya memiliki pemaknaan
yang berbeda. Pelafalan terhadap suatu istilah tentunya haruslah dipahami
terlebih dahulu secara matang-matang, karena seringkali seseorang dalam
menggunakan suatu kata atau kalimat hanya bersumber pada apa yang ia sering
dengar saja, tanpa adanya upaya untuk lebih mengkaji terhadap substansi suatu kata
tersebut.
Pluralitas dan Pluralisme
Secara sepintas memang
kedua kata tersebut memiliki arti yang sama, karena berasal dari satu akar kata
yang sama yaitu “Plural” yang berarti jamak, atau lebih dari satu (KBBI). Dalam
kajian linguistik, adanya imbuhan pada suatu kata dasar tentu berimplikasi pada
perbedaan makna substansinya. Seperti dalam bahasa Arab, meskipun berasal dari
satu kata “al-muslim” ketika berubah menjadi “al-muslimầtu” atau “al-muslimứna”
tentu maksud kata pun akan berbeda. Bahkan tidak hanya sturktur kata, perbedaan
saktah pun dapat menjadikan substansi makna berubah. Hal itu hanya
menunjukan bahwa perubahan sekecil apapun terhadap suatu kata besar kemungkinannya
berdampak pada arti yang pada akhirnya berbeda.
Begitu
halnya dengan Pluralitas dan Pluralisme (agama), sama tapi tidak kembar. Sama-sama
menunjukan adanya objek pemahaman yang lebih dari satu, tetapi terdapat
perbedaan substansial dari objek tersebut. Pemahaman terhadap suatu istilah
adalah penting, karena tidak jarang ada pihak-pihak yang mencoba mengelabuhi
umat dengan menggunakan berbagai macam istilah. Bisa jadi, karena salah tangkap
terhadap istilah itu menjadikan malapetaka baginya sendiri.
Menurut
Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan dengan pluralitas agama lebih mengupas pada masalah
kondisi dalam kehidupan yang berjalan secara damai (koeksistensi) dan interaksi
sosial antar manusia yang berafiliasi kepada agama, tradisi, dan kultur yang
berbeda. Jadi permasalahannya adalah lebih merupakan masalah interaksi sosial,
bagaimana mengatur individu antar individu, atau individu antar kelompok yang
hidup dalam tatanan masyarakat tertentu. Sehingga sekali lagi bahwa pemahaman
terhadap pluralitas agama lebih pada sisi sosial-praktis, daripada sisi
teologis atau keimanan. Pengertian tersebut sesuai dengan definisi yang
diberikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikomandoi oleh KH. Ma’ruf Amin.
Sedangkan
makna dari pluralisme agama sebagaimana telah difatwakan oleh MUI yaitu faham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama atau benar. Kalaulah demikian
pengertiannya, tentunya Islam secara tegas menolak akan adanya faham tersebut. Dalam
Al-Quran secara langsung menyebutkan bahwa satu-satunya agama yang diridhoi
oleh Allah adalah Islam (baca : Ali-Imran [3] : 19).
Truth Claim (Klaim
Kebenaran)
Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk memantapkan dirinya bahwasanya hanya agama
Islamlah yang benar. Inilah yang kemudian disebut sebagai klaim kebenaran. Klaim
kebenaran ini sejatinya tidaklah hanya dimiliki oleh agama Islam. Hakikatnya
memang setiap agama memiliki klaim bahwa agamanya-lah yang paling benar,
sehingga sifat dari klaim tersebut adalah inhern di tiap-tiap agama.
Dalam agama lainnya
misalnya kristen juga terdapat klaim seperti “tidak ada keselamatan di luar Gereja (extra
ecclesiam nulla salus)”. Begitu
juga dalam agama Yahudi, ada istilah ‘gentiles’ yang berarti orang yang tidak se-iman dengan mereka. Selain itu, dalam
agama Hindu ada istilah “moksha”,
sedangkan dalam agama Budha ada istilah “Nirvana” yang menunjukan
kedudukan tertinggi manusia yang hanya didapatkan dengan ritual-ritual yang ada
dalam ajaran agama Budha itu sendiri (Farkhani : 2013).
Tentunya,
dalam menyikapi adanya klaim kebenaran masing-masing agama seorang pemeluk
agama wajib bersikap toleran, bersahabat dan berdamai dalam bingkai kemajemukan
yang ada. Kalaulah dimaksud untuk meredam perpecahan dan menciptakan stabilitas
dari berbagai konflik menuju perdamaian maka Islam tentu mendukung. Tetapi,
manakala dimaksudkan melalui agenda-agenda tertentu (misal, politik) sehingga
mengharuskan untuk menyamakan agama-agama, tentu Islam dalam hal ini menolak.
Sunnatullah
Perbedaan dalam suatu hal
tentunya ada, dalam bahasa al-Quran disebut dengan sunnatullah, atau dalam
bahasa ilmiah disebut ketentuan alam (order of nature). Bahkan,
dalam suatu riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah berdoa kepada Allah SWT di suatu
masjid yang kemudian tenar dengan sebutan masjid Ijầbah. Disebut masjid Ijầbah,
karena doa Nabi Muhammad SAW langsung dijawab oleh Allah SWT. Tetapi, dari
tiga doa yang dipanjatkan, hanya dua yang kemudian dikabulkan.
Doa
yang dikabulkan adalah supaya umatnya tidak dibinasakan dalam bencana
kekeringan dan kelaparan. Selanjutnya, Nabi meminta supaya umatnya tidak
dibinasakan dengan cara ditenggelamkan sebagaimana yang terjadi pada kaum
nabiyullah Nuh a.s. Sedangkan doa yang terakhir tetapi ‘belum’ direstui oleh
Allah SWT adalah supaya umatnya tidak ada fitnah dan perbedaan.
Dengan
demikian, perbedaan adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Kalaulah
munculnya faham pluralisme itu untuk melerai segala macam perbedaan yang
berpotensi menyebabkan gejolak konflik atas nama agama dengan menyamakan
berbagai macam agama adalah kurang tepat. Tentu banyak jalan untuk mengatasi
konflik tanpa harus mengorbankan akidah (teologi). Permasalahannya adalah
sementara kaum lebih melihat terhadap sesuatu persoalan pada titik
perbedaannya. Sebenarnya, ketika kita mencoba melihat dari sudut persamaan, maka
potensi terjadinya konflik yang semakin rendah.
Ikhtitầm
Dalam
perkembangan suatu wacana dengan pembawaan istilahnya, penulis mengajak kepada
diri penulis khususnya dan kepada pembaca yang budiman untuk menelaah kembali
maksud atas istilah yang digunakan. Jangan sampai kemudian kita terjebak
terhadap suatu peristilahan yang bisa jadi merupakan propaganda politik
terhadap Islam. Maka, tugas kita adalah memahami terlebih dahulu substansinya
sebelum melakukan suatu sikap.
Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk menguatkan akidahnya sehingga tidak mudah
terpengaruh terhadap isu-isu yang bersifat negatif terhadap Islam itu sendiri. Islam
sangat menghargai perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat (agama,
budaya, tradisi, suku dan lain sebagainya) serta mengajarkan sikap toleransi (tasầmuh)
serta moderat (tawầsuth). Nabi Muhammad SAW sebagai teladan umat Muslim
telah memberikan teladan yang amat apik tentang bagaimana menyikapi segala
macam perbedaan. Kota Madinah dengan aneka ragam perbedaan agama, suku dan
adatnya dapat hidup harmonis berkatnya kepemimpinan Nabi. Bahkan, Ia pernah
bersabda “barang siapa menyakiti orang kafir dzimmi (yang tidak memerangi
Islam), Maka akulah (Rasul) musuh bagi siapa yang memeranginya”.
Itulah sejatinya sikap
yang hadir dalam diri seorang muslim dalam menyikapi perbedaan sehingga tidak
menyebabkan munculnya “islamphobia” yang pada akhirnya merusak citra Islam. Mudah-mudahan
kita selalu diberikan keteguhan keimanan dan keistiqamahan dalam menjalankan
syariat Islam. WaAllầhu ta’ầla ‘alam []
* Diterbitkan oleh Buletin Jumat Al-Lu'Lu 10/1/2014 Pondok Pesantren UII Yogyakarta
M. Iqbal
Zen
Mahasiswa
Hukum Islam 2010
Santri
Pon-Pes UII
0 komentar:
Posting Komentar