Oleh: Iqbal Zen
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan
mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.
(QS. Al-Anbiya
[21]:73)
Prolog
L
|
azim diketahui dalam literatur sejarah Islam,
bahwa persoalan yang dipersilihkan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah persoalan
politik, siapa pengganti kekhalifahan (kepemimpinan) selanjutnya. Persoalan itu
terselesaikan dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar Asy Siddiq sebagai sosok
yang menggantikan posisi kekhalifahan saat itu berdasarkan berbagai macam
pertimbangan tentunya. Persoalan kepemimpinan itu ternyata kembali terjadi dalam
diri umat Islam. Setelah perselisihan yang terjadi antara kaum Anshor dan
Muhajirin, kemudian giliran antara sahabat Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyyah
bin Abi Sofyan. Perselisihan itu diakhiri dengan terbunuhnya sahabat Ali bin
Abi Thalib dan berkuasanya Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah, sekaligus
menjadi cikal bakal berdirinya kekuasaan Bani Umayah.
Maka,
difahami bahwa persoalan kepemimpinan merupakan persoalan klasik di kalangan
umat Islam yang cukup mendapatkan perhatian. Menunjuk seorang pemimpin dalam
Islam memang adalah suatu hal yang mesti dilakukan (wajib). Bahkan suatu ketika
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang pada intinya manakala ada dua atau tiga
orang bepergian secara bersama-sama, maka hendaknya memilih salah satunya
sebagai pemimpin. Begitu pentingnya seorang pemimpin sehingga dalam menjadikan
seorang pemimpin hendaknya dipilih berdasar pertimbangan yang benar-benar
matang sehingga pada akhirnya dapat membawa kepada perbaikan yang lebih luas.
Pemimpin Ideal
Sebagai
umat Islam, tentu dalam menentukan seorang pemimpin hendaknya berorientasi pada
nilai-nilai kemaslahatan (kebaikan) universal. Pemimpin yang tidak mementingkan
kebutuhan pribadi, keluarga, kolega atau golongannya semata, tetapi pada
seluruh anggota, masyarakat dan rakyat yang berada di bawah pimpinannya. Pemimpin
yang mengayomi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya pandang bulu.
Dalam membincang sosok
pemimpin yang ideal, setidaknya ada beberapa karakteristik yang mesti dimiliki
oleh calon pemimpin tersebut yaitu ideal secara intelektual, sosial dan
spritual. Ketiganya menjadi rangkaian yang tidak dapat dipisahkan pada diri
seorang pemimpin. Kesemuanya mesti terintegrasikan dalam sosok yang tentunya
pada akhirnya menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Pertama,
ideal secara intelektual.
Dalam istilah agama Islam, lazim kenal dengan sifat (fathonah). Seorang
pemimpin tentunya haruslah seorang yang intelek. Asumsi intelek mungkin untuk
saat ini ialah orang yang telah menempuh dunia akademik (formal) dalam beberapa
jenjang. Namun, dengan mengatakan orang yang tidak menempuh pendidikan secara
formal sebagai kaum non-intelektualis adalah kurang tepat. Bisa jadi, orang
tersebut tidak memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan secara formal baik
disebabkan oleh faktor finansial atau faktor lainnya, akan tetapi ia tetap
menuntut ilmu di ‘alam terbuka’.
Sehingga,
pemaknaan terhadap ‘intelek’ disini ialah kemampuan analisis terhadap suatu
persoalan. Kaum intelektual cenderung memiliki ketajaman dalam menganalisis
terhadap suatu persoalan sehingga mampu mengurai persoalan tersebut dengan baik
dan bijak. Orang yang intelek, cenderung terbuka fikirannya terhadap berbagai
macam pendapat tanpa kemudian menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya secara
sepihak, serta berhasil merangkul perbedaan yang ada.
Selain
itu, seorang pemimpin tentu erat kaitannya dengan pelbagai kebijakan yang mesti
diambil. Kebijakan tersebut akan bernilai kemaslahatan atau kemudlaratan
tergantung atas kematangan analisis seorang pemimpin. Sehingga, sosok pemimpin
yang intelek merupakan salah satu kunci terciptanya kebijakan yang membawa
kemaslahatan (kebaikan) yang lebih luas. Salah-salah pemimpin yang tidak
intelek akan membawa dampak yang tentunya merugikan banyak pihak.
Kedua,
ideal secara sosial. Sudah menjadi naluri manusia untuk saling berinteraksi
sosial dan saling membutuhkan antar satu dan lainnya. Dalam istilah yang
dikemukakan Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politicon. Manusia
tidak akan mampu hidup tanpa adanya bantuan dari sesama. Dalam kaitannya
kepemimpinan, sosok pemimpin yang sosialnya apik akan menyadari bahwa relasi
antara dirinya dengan masyarakat yang dipimpinnya harus selalu dijalin dengan
baik dan harmonis.
Seorang
pemimpin sejatinya menyadari bahwa bukan saatnya untuk dilayani tetapi
esensinya adalah melayani. Ideal secara sosial akan merasa peka dan cepat
tanggap terhadap realitas sosial yang terjadi di lingkup kepemimpinannya. Ada
sebuah hikmah yang datang dari sosok khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz yang
mendedikasikan dirinya untuk rakyat yang dipimpinnya.
Suatu
ketika, khalifah Umar hendak istirahat karena telah merasa lelah. Baginya, dijadikannya
siang untuk berkerja dan mengabdi kepada masyarakat sedangkan malam untuk
ibadah dan istirahat. Namun, malam itu datang salah satu rakyatnya untuk
meminta pertolongan atas permasalahan yang ia hadapi. Lantas khalifah Umar
berkata “tidakkah engkau melihat bahwa aku hendak beristirahat?” rakyatnya pun
berkata kembali “Wahai khalifah, apakah engkau menjamin bahwa sampai esok hari
aku bisa meminta pertolongan kepadamu?” seketika khalifah sadar dan tidak
mengulanginya.
Begitu
pula pada sosok Nabi Muhammmad SAW yang amat luar biasa perhatian terhadap
umatnya. Ketika hendak meninggal dunia, perhatiannya masih tertuju pada
umatnya. Bahkan, konon ketika pada saat dibangkitkan di kehidupan kelak, ia bangkit
dalam keadaan sujud. Dalam sujudnya ia masih meminta satu permintaan kepada
Allah SWT. Permintaan itu bukanlah untuk dirinya melainkan untuk umatnya supaya
diprioritaskan masuk surga daripada umat nabi-nabi lainnya. Sehingga sekali lagi bahwa seorang pemimpin
yang ideal secara sosial akan menyadari bahwa kepemimpinannya adalah untuk
rakyat. Penundaan atas urusan rakyat berarti telah bersikap kurang tepat dan
menyalahi prinsip kepemimpinan. Oleh karenanya, kepentingan umum lebih didahulukan
ketimbang kepentingan pribadi.
Ketiga,
ideal secara spiritual. Terlebih dari dua karakteristik yang telah
disebutkan sebelumnya, kita mengetahui bahwa salah satu problem terbesar yang
melanda bangsa ini adalah korupsi. Media cetak maupun elektronik tidak pernah
sepi dari ‘order’ berita terkait kasus korupsi. Kita tahu, para pelaku korupsi
bukanlah orang yang secara intelek rendah atau sosialnya kurang baik. Mereka
merupakan orang-orang yang terdidik bahkan hingga jenjang tertinggi. Akan
tetapi, mengapa mereka melakukan perbuatan yang sejatinya mereka ketahui adalah
salah? Karena, pada sisi spiritual inilah bisa jadi yang tidak terlalu
diperhatikan.
Maka,
aspek intelektual yang mantap dan relasi sosial yang baik pula haruslah
dibungkus dengan spiritual yang juga baik. Kematangan seorang pemimpin dalam
hal spiritual dan aspek-aspek lainnya akan selalu memperhatikan dan dapat
membedakan antara suatu hal yang bersifat baik (haqq) dan buruk (bathil),
maslahat dan mudlarat, terpuji dan tercela. Terkadang memang kita
alpa dalam melibatkan Tuhan dalam aktifitas sehari-hari yang pada akibatnya kurang
bermakna dan tidak bernilai ibadah. Spiritual yang tangguh akan menjadi benteng
terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai dalam Islam.
Epilog
Sejatinya setiap kita
adalah pemimpin, pemimpin bagi diri kita sendiri. Seorang suami adalah pemimpin
bagi anak dan istrinya. Seorang guru adalah pemimpin bagi murid-muridnya,
begitu seterusnya. Tentunya sebagai seorang pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya pada hari akhir. Semakin luas wilayah
kepemimpinannya maka semakin besar pula tanggung jawab yang melakat padanya. Tugas
seorang pemimpin sebagaimana disebut dalam ayat yang telah dikutip di muka
ialah bagaimana pemimpin mampu membimbing rakyat yang dipimpinnya untuk
mengerjakan kebaikan, bekerja sesuai dengan prosedur yang tidak melanggar
syariat serta berorientasi pada sisi ibadah kepadaNya.
Memang untuk mengembangkan
ketiga aspek di atas bukanlah perkara yang mudah, tetapi tidak mustahil untuk diwujudkan
sejak dini. Contoh pemimpin ideal tidak lain hanyalah Nabi Muhammad SAW. Bagaimana
kiprahnya dalam memimpin masyarakat Madinah menjadi masyarakat yang beradab dan
bermartabat dalam waktu yang relatif singkat. Kepemimpinan ala nabi-lah
(Prophetic Leadership) yang selaiknya dijadikan sebagai rujukan
dalam membina orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya (masyarakat).
Akhirnya, penulis mengajak
kepada pribadi dan pembaca yang budiman untuk memulai kebaikan dari diri kita
sendiri (ibda’ bi nafsi). Al-dakwatu bil qudwati, memberikan contoh
perilaku yang dapat dijadikan teladan. Semoga kita selalu dibimbing untuk terus
memproses diri kita masing-masing menjadi lebih baik dan layak menjadi suri
teladan bagi orang lain. waAllâhu ta’âla ‘alam. []
* Diterbitkan oleh Buletin Al-Lu'Lu Pon-Pes UII Edisi 160/III/2014
M. Iqbal
Zen
Santri
Pon-Pes UII
0 komentar:
Posting Komentar