Oleh:
M. Iqbal Zen *
Saat ini Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Propinsi Lampung
ke-42 sedang dilaksanakan di Kabupaten Tulang Bawang. Kegiatan tersebut merupakan
agenda rutin yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka syiar dan dakwah
kepada masyarakat untuk lebih mencintai al-Quran sebagai pedoman hidup. Agenda ini
mencerminkan adanya perhatian pemerintah terhadap umat Islam khususnya
penghargaan bagi mereka yang memang mempunyai kemampuan lebih terhadap al-Quran
yang tentu mesti didukung.
Sebagai agenda yang mengusung misi ‘suci’ illahiah, maka
pelaksanaan MTQ harus diorientasikan untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Quran secara praksis di masyarakat. Jauh dari panggung ‘unjuk
gengsi’ suatu daerah apalagi agenda bernuasa politis. Semuanya pyur untuk
dakwah Islamiyyah.
Problem Kebangsaan
Secara rasio, Indonesia menempati rangking wahid berpenduduk
muslim di dunia. Sehingga, secara kultural seharusnya nilai-nilai Islam lebih
dominan. Namun, ternyata banyak realitas sosial-kemasyarakatan yang melenceng
dari norma keislaman. Kekerasan atas nama agama –misalnya Islam- terus
merajalela, menjamurnya korupsi, sampai perseteruan antar kelompok etnis, agama
serta suku kerap terjadi di negeri yang berpenduduk muslim terbesar ini. Hal ini yang menjadikan citra Islam terus tereduksi.
Aneka problem terus terjadi silih berganti di negeri
tercinta. Tak tentu kapan akan berakhir. Belum lama pun terjadi bentrokan di
Lampung Utara yang mengakibatkan korban jiwa. Di Sampang Madura pun masih
melekat erat dalam benak, bagaimana terjadi peperangan antara kelompok agama
yang mengakibatkan ketimpangan dan ketidaktentraman. Hal yang sama terjadi di
daerah Lampung Selatan beberapa waktu silam antar suku dan agama yang tentu
menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.
Dalam konteks keindonesiaan lebih umum, masalah kronis yang
belum tuntas ialah menjamur korupsi dan politik transaksional. Menurut Transparency
International (TI) sebuah organisasi Internasional non-government yang
bergerak dalam upaya memerangi korupsi menyebutkan bahwa Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2013 adalah 114 dari 177 negara yang disurvei. Meskipun
hasil survei ini lebih baik dari tahun sebelumnya yaitu 118 dari 176 negara,
akan tetapi skor Indonesia masih tetap berada di posisi 32 dari skala 0-100. Semakin
tinggi skornya, maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi.
Deretan problem di atas diperparah dengan proses penegakkan
hukum (law enforcement) yang terkadang tidak sesuai dengan prinsip
keadilan substansial. Hukum seolah hanya berlaku bagi mereka yang tidak
memiliki materi berlebih, kekuasaan dan jabatan. Sedangkan bagi mereka kaum tingkat
atas, bebas melakukan apa saja.
Indonesia wajib iri dengan negara Tiongkok misalnya yang cukup
sukses mengganjar para koruptor di negaranya. Terbukti dalam 10 tahun terakhir,
sedikitnya 440 kasus terdakwa korupsi yang 100 di antaranya dihukum mati dan
sisanya dijebloskan ke dalam penjara (Indriyani, 2014). Memang dalam konteks
keindonesian, perlu adanya pendekatan keagaamaan sebagai basis dalam melawan
kasus korupsi. Hal ini senada dengan opini yang pernah ditulis oleh Junaidi
Abdillah (Fikih Antikorupsi, Lampung Post, 30 Maret 2012).
Pesan Agama
Dalam menyikapi problematika bangsa yang semakin kompleks,
sebagai negara yang menjadikan agama komponen tak terpisahkan dalam berbangsa
dan bernegara maka wajib bagi negara tersebut untuk mengkaji kembali pesan
agama, dan mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan.
Dalam pandangan penulis, maraknya kasus yang dilakukan oleh sementara
oknum yang ternyata terlihat “agamis” disebabkan karena pemahaman agama yang
keliru (miss understanding). Mereka hanya terbatas pada simbol-simbol agama
tertentu serta pemahaman secara tekstualis. Pemahaman semacam itu berefek
signifikan terhadap lahirnya Islam radikal dan desakralisasi moral-etik.
Ruh syariat yang mestinya dijalankan, tertutupi oleh
arogansi sesaat beberapa pihak. Akibatnya, ketidakstabilan sosial maupun
ekonomi menjadi sebuah kenyataan yang sulit terelakkan. Hal ini mesti
ditanggulangi sedini mungkin dengan upaya gerakan sosial yang merujuk pada
konsep dasar dalam al-Quran.
Maka, MTQ merupakan salah satu media dakwah yang efektif untuk
mentransformasikan nilai-nilai illahiyah tersebut kepada masyarakat yang
mayoritas muslim. Selain itu, melalui MTQ diharapkan lahir generasi Qurani yang
membawa misi kemaslahatan universal, serta menjadi momen yang tepat untuk membentuk
keshalihan sosial.
Lebih lanjut, bagaimana MTQ dapat menyadarkan para penguasa
akan pentingnya nilai moral dalam suatu kepimpinan sehingga dapat membangun
sinergisitas yang hormonis antar pemimpin dan rakyat serta jauh dari budaya
koruptif dan diskriminatif.
Semua masyarakat pasti ingin mendambakan negeri yang berkah
yaitu aman, nyaman dan rizkinya melimpah, yang dalam al-Quran disebut dengan “baldatun
thayyibatun wa rabbun ghofur”, salah satu caranya ialah bagaimana negeri
itu dekat dengan al-Quran. Melalui MTQ inilah merupakan momen yang tepat untuk kembali
mendekatkan diri dengan al-Quran, mengaji dan mengkaji untuk sebuah
kebahagian.(n).
*) Direktur
Lembaga Pengabdian Masyarakat Bidang Syiar dan Dakwah, Pon-Pes UII
**) Opini dimuat di koran harian Lampung Post edisi 21 April 2014 (http://lampost.co/page/index)
0 komentar:
Posting Komentar