Oleh : M. Iqbal Zen*
Masalah korupsi di Indonesia merupakan masalah serius yang tak kunjung
terselesaikan. Pelbagai upaya dan daya dikerahkan para penegak hukum untuk
memberantas para koruptor. Satu pelaku terungkap, maka dapat dilihat
selanjutnya ditemui banyak pula oknum yang melaksanakan hal demikian. Tidak
hanya dalam beribadah mereka berjamaah, tetapi dalam kemaksiaatan pun
berjamaah. Begitulah memang ironi yang terjadi di negeri kita saat ini.
Akibat korupsi, negara harus menanggung kerugian yang tidak sedikit. Selain
itu, tingkat kemiskinan semakin meningkat, pengangguran merajalela hingga pada
akhirnya tindak kriminalitas pun semakin meningkat. Korupsi, dalam
dimensi yang lebih besar berakibat pada ketidakstabilan politik, pendidikan,
kesehatan serta merambah pada sektor pelayanan umum. Andai saja Bung karno, Bung Hatta, KH. Hasyim Asyari dan para pahlawan negeri
ini masih hidup pasti mereka pasti akan tersenyum kecut bahkan berang dengan
oknum tersebut.
Menurut Transparency
International (TI)
sebuah oraganisasi
Internasional non-government yang bergerak dalam
upaya memerangi korupsi menyebutkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2013 adalah 114 dari 177 negara yang disurvei. Meskipun hasil
survei ini lebih baik dari tahun sebelumnya yaitu 118 dari
176 negara, akan tetapi skor Indonesia masih tetap berada di posisi 32 dari skala 0-100. Semakin tinggi
skornya, maka semakin bersih
negara tersebut dari korupsi.
Indonesia mesti belajar dari negara
Tiongkok yang cukup berhasil mengganjar koruptor di negaranya. Terbukti dari 10
tahun terakhir, sedikitnya 440 kasus terdakwa korupsi yang 100 di antaranya
dihukum mati dan sisanya dijebloskan ke dalam penjara (M. Iqbal Zen, Lampung
Post, 21 April 2014). Keberhasilan Tiongkok tentunya tidaklah dicapai
dengan effort yang sedikit. Prinsip fiat justicia ruat coelum (hukum tetap
ditegakkan meskipun langit runtuh) memang betul-betul diperhatikan
dan diimplementasikan di negara tersebut. Berbeda dengan Indonesia yang
terkadang belum sepenuhnya dalam mengimplementasiannya dan terkadang pun bias
terhadap pihak tertentu.
Pendekatan Berbasis Agama
Berdasarkan paparan
di atas, pertanyaan yang kemudian muncul ialah pertama, bagaimana konsep
Islam dalam upaya penanggulangan kasus korupsi. Kedua, seberapa
pentingkah agama (baca: fikih) sebagai basis pendekatan dalam upaya
penanggulangan tindak korupsi.
Dalam
Islam, sejatinya perbuatan korupsi dapat dipersamakan dengan mencuri. Junaidi
Abdillah sebagaimana mengutip pendapat Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menyebutkan
bahwa pencurian adalah perbuatan mengambil harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi, tanpa adanya kepercayaan yang diberikan kepada pihak
pengambil.
Berbekal
pengertian tersebut, maka tampak jelas bahwa korupsi sama dengan pencurian.
Kalau demikian halnya maka Islam secara tegas melarang perbuatan tersebut.
Artinya setiap pelakunya mesti mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang
telah dilakukannya. Semakin banyak yang dikorupsi maka berkonsekuensi dengan
beratnya hukuman yang mesti ia terima bahkan dapat berupa hukuman mati.
As-Syatibi
dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat Juz II menjelaskan bahwa
salah satu tujuan dari syariat Islam ialah melindungi harta (hifdz māl). Maka,
seluruh tindakan umat Islam haruslah berorientasi pada terciptanya
kesejahteraan, kentetraman dan kesetabilan ekonomi. Upaya memelihara harta
tidak hanya tertuju pada individu yang mempunyai harta, tetapi juga mesti
menjadi jaminan terhadap keselamatan harta orang lain. Harta kemudian dapat
diinterpretasikan sebagai kondisi ekonomi seseorang. Artinya, umat muslim
dilarang melakukan sebuah tindakan yang dapat mengancam kondisi perekonomian
orang lain.
Islam
dalam memberikan perlindungan terhadap harta tidak main-main, misal al-Quran
berbicara mengenai hukuman bagi orang yang mencuri (saraqah) dengan ancaman
hukuman potong tangan. Dalam praktik terhadap perlindungan harta lainnya adalah
larangan menyuap (riswah) dengan ancaman akan dimasukkan ke dalam
neraka.
Demikianlah
Islam memberikan jaminan keamaan terhadap harta seseorang. Dalam kasus korupsi
dan penegakkan hukum terhadapnya, Islam
telah memberikan penegasan daiam salah satu ayat dalam al-Quran yaitu QS.
An-Nisa [4] : 135. Ayat tersebut menjelaskan perintah untuk mengalakkan
keadilan meski kepada karib kerabat bahkan orang tua. Sebab turunnya ayat (asbab
an-nuzul) tersebut berawal dari pengaduan dua orang yang mempunyai perkara
kepada Rasulullah SAW. Salah satu dari keduanya adalah orang kaya. Dalam
menyelesaikan perkara ini, Rasul memenagkan orang miskin atas orang kaya. Hal
tersebut dilandasi dengan alasan ketidakmungkinan orang miskin berbuat dzalim
kepada orang kaya. Maka, turun ayat tersebut yang berisi perintah menhukum
dengan seadil-adilnya. Hukuman tanpa pandang bulu, meskipun terhadap karib
kerabat bahkan orang tua.
Dengan
demikian, tampaknya dalam upaya penanggulangan kasus korupsi diperlukan sebuah
pendekatan yang berbasis pada sisi keagamaan. Pendekatan keagamaan dalam hal
ini perlu dimaknai dengan pembacaan keagamaan secara universal dan
mengedepankan nilai kemaslahatan yang lebih umum serta terlepas dari pembacaan
keagamaan yang bersifat simbolik-literalistik. Pendekatan ini dirasa
mendesak untuk diterapkan untuk menghentikan kasus bernama korupsi. WaAllahu
‘alam.[n]
*) Kadiv. Keilmuan
Himpunan Mahasiswa Hukum Islam FIAI UII
(Diterbitkan oleh Sharia Post, Buletin Himpunan Mahasiswa Hukum Islam FIAI UII)
0 komentar:
Posting Komentar