Judul “Identitas Muslim Indonesia”
Ada beberapa
identitas keIslaman di Indonesia dewasa ini yaitu, pertama, mereka yang
menginginkan Islam dewasa ini seperti Islam pada abad pertengahan. Hal itu
dengan dalih bahwa Islam pada zaman itu merupakan Islam yang sejati dan telah
sempurna sehingga mereka beranggapan bahwa perkembangan zaman, semua budaya dan
kebutuhan manusia harus disesuaikan dengan Islam.
Kedua, mereka
yang menginginkan untuk “mensyariahkan” semua aturan kehidupan. Semua aturan
pemerintah dalam bentuk perundang-undangan tidak wajib untuk ditaati. Ada pula
yang berjualan khilafah. Semua kekacaan akan habis ketika khilafah telah
berdiri.
Ketiga, mereka
yang menyadari memandang tidak perlu “mensyariahkan agama”. Semua hukum Islam
hendak diamandemen dengan rasio ilmiah. Di antara mereka ada yang menghalalkan
apa yang diharamkan Allah, dan juga sebaliknya.
Keempat, mereka
yang hanya memikirkan urusan akhirat, kepuasan beribadah mahdhah. Tetapi abai
terhadap sosial.
Kelima, mereka
yang beranggapan tidak penting segala ritual keagamaan seperti shalat, puasa
maupun haji. Bagi mereka yang terpenting adalah dimensi sosial-kemanusiaa.
Corak Muslim di
Indonesia memiliki berbagai ragam. Keragaman ini menurut Dr. Syamsul Hidayat disebabkan
oleh beragamnya pembawa Islam ke Indonesia. Ada yang dibawa oleh para ulama dan
ada yang dibawa oleh para saudagar. Para ulama umumnya memahami Islam dengan
baik. Hal berbeda dengan para saudagar yang tidak sepenuhnya memahami Islam. Kebanyakan
dari mereka yang penting menyampaikan Islam, bahkan ada yang Islamnya sudah tercampur
dengan budaya yang mereka bawa dari daerah aslinya.
Bagi Kaprodi Ilmu Al-Quran
dan Tafsir Universitas Muhammadiyyah Surakarta bahwa keberagaman Islam di
Indonesia merupakan suatu keniscayaan dan bukan merupakan masalah dan tidak
perlu untuk dipermasalahkan. Dari beberapa literatur sejarah, memang Islam
cenderung lebih banyak dibawa oleh para saudagar sehingga banyak tradisi lokal
yang diakomodasi, bahkan diadopsi menjadi “bagian” dari Islam. Dalam perjalannannya
justru hal ini banyak melahirkan faham yang menyimpang.
Menurut Peneliti
CRCS, Budi Asyahari MA menyebutkan bahwa penyebab/faktor yang sangat penting
dalam warna warni Islam di Indonesia adalah Momen keterbukaan atau Era
Reformasi. Era Reformasi membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi bagi warga
negara dalam mengekspresikan apa saja, termasuk dalam beragama. Hal ini tidak
akan terjadi pada Era Orde Baru karena pasti akan diberangus oleh penguasa
dengan dalih mengganggu stabilitas nasional.
Di Era Reformasi, tidak hanya terjadi di Islam,
ternyata pada agama-agama lain yang lebih kecil juga berani bersuara.
Kaharingan di Kalimantan mulai bersuara bahwa dirinya bukan bagian dari agama
Hindu. Demikian pula pada sekte-sekte di agama lainnya.
Muslim Indonesia sejatinya masih dalam
proses mencari identitas keberislamannya. Ada pihak yang cenderung akomodatif sehingga
mengklaim bahwa faham “salafi” adalah Arabisme Islam. Sementara pihak lain menganggap
bahwa pihak yang cenderung akomodatif telah mencampuradukkan antara islam dan
tradisi lokal. Di mana kedua hal tersebut menyimpan banyak penyimpangan akidah.
Sementara menurut Drs. Ainur Rafiq, Ketua
Pengadilan Agama Mimika, Papua memaparkan bahwa Islam yang terlalu akomodatif
juga memunculkan banyak masalah. Utamanya adalah makin merasuknya ritual dan
tradisi lokal pada akhirnya justru menjerumuskan pada penyimpangan akidah.
Oleh karena itu dalam melihat dinamika
Islam di Indonesia, terdapat tawaran penting (jalan tengah) yaitu tawaran
mengawinkan Islam dan Indonesia. Mengawinkan bukan menjadikan satu, tetapi
menyandingkan keduanya. Masing-masing memiliki jalannya, kedua dapat
disandingkan dan dapat berjalan bersama.
Judul “Mencari Islam yang Cocok di Indonesia”
Menurut ketua LPCR
PP Muhammadiyyah Dr. Ahmad Norma Permata, bahwa Islam yang ideal dengan
Indonesia adalah Islam yang menampilkan otentisitas dan bukan yang
orisinilitas. Otentisitas itu erat kaitannya dengan unsur kebergunaan,
kemanfaatan bagi Bangsa Indonesia. Jadi Islam Indonesia adalah Islam yang
secara konkret memberikan manfaat untuk bangsa Indonesia.
Lanjut menurut
Norma, dalam konteks Indonesia, fenomena pembingkaian (framing) agama di
Indonesia khususnya Islam memang riskan akan terjadinya konflik. Framing
sendiri lahir karena penilaian sementara komunitas Islam berdasarkan moral,
kenyakinan bahkan ada yang melandaskan pada selera.
Adapun sikap yang
mesti dikembangkan dalam persoalan saling membenarkan kelompok masing-masing agar
dapat terkontrol terdiri dari beberapa level/tingkatan. Pertama, level
individual, bahwa masing-masing individu mesti memiliki sikap keterbukaan. Selain
itu pula verifikatif. Artinya, ketiak ada informasi baru harus diverifikasi
dahulu sebelum dicerna.
Kedua, level
komunal. Masing-masing kelompok maupun organisasi harusnya menyadari bahwa
islam memiliki banyak madzhab. Tentu masing-masing kelompok berhak memilih
madzhab yang sesuai dengannya dan menghargai madzhab yang lain.
Ketiga, level
negara. Pemerintah sebenarnya mampu menyelesaikan permasalahan konflik yang
terjadi. Hal ini karena negara memiliki alat untuk mengatasinya. Alat tersebut
adalah konstitusi dan demokrasi. Konstitusi bersifat top down, sedangkan
demokrasi bersifat buttop up. Intinya semua permasalahan dapat diatasi, asalkan
sesuai dengan mekanisme yang ada dan tidak main hakim.
Judul “Dibutuhkan Ilmu Pengetahuan”
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Prof. Dr. Akhmad Minhaji, MA menjelaskan terdapat faktor fundamental yang
berpengaruh terhadap identitas muslim Indonesia saat ini. Yaitu faktor
perbedaan penyebaran agama Islam antara era lalu, era awal, hingga era modern.
Dahulu penyebaran
Islam selalu diawali dengan pendekatan Syariah, dalam bahasa Indonesia hukum
Islam. Bahkan dalam konteks penyebaran Islam dari Mekah ke Madinah, kemudian
dari Arab ke negara-negara lain hingga ke Indonesia menggunakan kata kunci yang
sama yaitu Syariah dalam pengertian ajaran yang bersumber dari Allah.
Adapun pada Era Modern, era yang
dipengaruhi oleh peradaban barat, penyebaran Islam tidak lagi menggunakan kata
kunci syariah. Melainkan menggunakan pendekatan tauhid atau teologi. Inilah yang
kemudian menjadi problem dan berpengaruh terhadap identitas muslim.
Untuk mengembalikan Indonesia sepeti
dahulu yang dikenal santun, maka dibutuhkan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu
pengetahuan maka muslim akan membuka diri dan berusaha selalu untuk belajar. Dengan
pengetahuan maka penyebaran Islam akan dirasa lebih damai karena pengetahuan
mendekatkan pada pemahaman syariah.
Judul “ Karakter dan Peran Umat Islam di Indonesia”
Menurut Haedar Nashir sebagaimana
mengutip pendapat Azyumardi Azra bahwa dunia Islam terbagi dalam kawasan
kebudayaan yang memiliki ciri budaya masing-masing. Islam melayu seperti Indonesia
dan Malaysia, dikategorikan “pariferal” dan “sinkretis” dari segi ajaran,
tetapi tegar sebagai Islam yang damai, ramah, dan toleran. Ciri Islam Melayu di
antaranya
Pertama, dalam
fiqih bercorak Syafi’i, dalam teologi bersifat Asy’ari, meski dalam
perkembangannya banyak keragaman. Kedua, toleransi keagamaan cukup kuat
pada pemeluknya karena pengaruh watak budaya setempat dan Islamisasi yang dami
lalu, sikap “moderat” dengan basis ideologi politik yang toleran,termasuk
menerima Pancasila di Indonesia
Ketiga, lebih
banyak menggunakan pendekatan kultural daripada pendekatan politik.
Disarikan oleh Iqbal Zen dari Majalah “Suara Muhammadiyah” Edisi
23 Desember 2014 dengan tema “Mencari Identitas Islam Indonesia”. Semoga
Bermanfaat...
0 komentar:
Posting Komentar