Oleh
: M. Iqbal Juliansyahzen
A.
Pengantar
Fenomena
kekerasan terhadap anak nampaknya sulit untuk dihilangkan dalam “tradisi”
manusia. Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) mengumpulkan data kekersan terhadap anak
antara 1994-1996 dengan memantau 13 media massa di Indonesia. Pada tahun 1994
tercatat 172 kasus, setahun berikutnya kasus meningkat menjadi 421. Jumlah
tersebut terus bertambah pada tahun 1996 bertambah menjadi 476 kasus. Sedangkan
pemantauan masyarakat melalui hotline service dan Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) terhadap 10 media cetak, selama tahun 2005
dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak.[1]
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan rasio yang terus meningkat setiap
tahunnya bahkan hingga saat ini.
Kasus kekerasan terhadap anak nyata
terbaru ini terjadi terhadap Anggeline, korban meninggal akibat kekerasan orang
tua angkat di Bali. Anggeline awalnya merupakan anak angkat yang yang diadopsi
oleh keluarga yang serba berkecukupan secara materi dari keluarga yang
berlatarbelakang ekonomi rendah. Banyak spekulasi yang melatarbelakangi
pembunuhan korban di antaranya warisan dari ayah angkatnya hingga 60 persen.
Terlepas dari motif pembunuhan tersebut, yang jelas pembunuhan tersebut
menandakan bahwa anak merupakan sasaran empuk
kekerasan.
Dampak kekerasan sebagaimana ditulis di
atas, ternyata tidak hanya berdampak negatif pada fisik saja, tetapi juga
berakibat pada perkembangan psikis atau mental sang anak. Perkembangan mental
yang terganggu akan berdampak secara lebih luas pada generasi masa depan yang
buruk pula.
B.
Siapa
yang Paling Berhak terhadap Penjagaan Anak (Hadhanah)?
Dalam
menentukan pihak yang berhak untuk menjaga anak khususnya bagi yang belum
mumayyiz, maka yang paling berhak yaitu ibu. Hal ini berdasarkan pada pasal 105
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah ibunya. Selanjutnya, jika
anak sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. Adapun terkait biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya. Maka, secara eksplisit sejatinya dapat difahami bahwa
tanggungjawab pengasuhan anak adalah ibu dan bapak. Akan tetapi karena anak
terkadang lebih dekat hubungannya dengan ibu, maka ibu lebih berhak mengasuh
anaknya.
Namun,
sekali lagi bahwa pemberian hak kepada ibu untuk mengasuh dan memelihara anak
bukan hal yang mutlak. Maksud tujuan pemeliharaan adalah kehidupan yang tenang,
tentram, aman serta terjamin dari gangguan bagi anak. Ketika pengasuhan yang
dilakukan oleh ibu ternyata membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi anak,
maka hak tersebut tentu akan berpindah kepada orang terdekat dari sanak
keluarga ibu tersebut.
Pemindahan
kewenangan atau hak tersebut nyata pula telah diatur dalam KHI Pasal 156 huruf
c disebutkan bahwa “apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga”.[2]
Penjelasan
secara rinci terhadap pengaturan anak sebagaimana yang telah diatur dalam KHI
dengan segala kekurangannya, paling tidak menunjukan bahwa pengasuhan dan
pemeliharaan anak merupakan hal vital dalam sebuah keluarga. Pengasuhan anak
mesti diberikan kepada orang yang tepat, yang mampu memberikan rasa aman
terhadap anak, bukan sebaliknya. Kasus yang terjadi pada anggeline di atas
perlu dijadikan bahan releksi bahwa pengasuhan mesti diberikan kepada orang
yang benar. Hak anak untuk dapat hidup dengan tenang dan aman haruslah
digaransi oleh orang tua dan kerabatnya.
Maraknya
kasus kekerasan yang terjadi dewasa ini terhadap anak terjadi akibat perbedaan
paradigma yang salah dalam memahami kedudukan dan hak-hak yang melekat padanya.
Lebih lanjut, penyebab penyalahgunaan hak-hak anak pula disebabkan oleh cara
pandang atau pemahaman terhadap “mumayyiz” (batasan usia anak). Perbedaan
tersebut terkadang bahkan sering merugikan anak, karena anak yang dianggap
telah mumayyiz sehingga seolah pihak pengasuh “lepas tangan” terhadap
pengasuhan anak yang sejatinya masih menjadi tanggungjawab pengasuh.
C.
Catatan
Penutup
Anak
merupakan titipan Tuhan yang juga sama memiliki hak-hak sebagai manusia pada
umumnya. Maraknya kasus terhadap anak ternyata didominasi oleh kekerasan pada
sektor domestik dibanding oleh negara (meskipun juga banyak). Kasus kekerasan
terhadap semakin menandaskan bahwa urgensi pemeliharaan anak (hadhanah)
merupakan hal yang mendesak dan vital, baik awalnya disebabkan oleh perceraian
maupun karena meninggal dunia. KHI sebagai instrumen pengawal hak dan kewajiban
sejatinya pula telah memberikan aturan-aturan yang mendekati rinci yang
ditujukan untuk mengawal hak-hak anak. Dalam banyak kasus, kasus kekerasan
terhadap anak disebabkan perbedaan paradigma dalam memandang kedudukan dan
hak-hak anak. Maka, penulis perlu tekankan sebagai akhir tulisan reflektif ini
bahwa hadhanah merupakan menjadi tanggung jawab orang tua dan kerabat
sebagai bentuk penghormatan terhadap hak anak sebagai manusia. Penyalahgunaan
hak tersebut sama berarti pelanggaran Hak Asasi Manusia. []
[1]
M. Iqbal Juliansyahzen, Perlindungan Hak Anak dan Perempuan dalam Keluarga
(Studi Perbandingan Hukum Keluarga Islam Indonesia dan Malaysiai).
Mini Riset Student Exchange USIM Malaysia. Tidak diterbitkan : PSHI FIAI UII.
[2] Orang-orang yang mempunyai hak
hadhanah setelah ibu sesuai pasal 156 huruf a yaitu ; (1) wanita-wanita dalam
garis lurus ke atas dari ibu (2) ayah (3) wanita-wanita dalam garis lurus ke
atas dari ayah (4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan (5)
wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu (6) wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
0 komentar:
Posting Komentar