Oleh : M. Iqbal
Juliansyahzen
A.
Pengantar
Sosiolog yang
mengembangkan teori kepemimpinan atau otoritas adalah Max Weber (1864 –
1920). Ia dilahirkan di Jerman dari sebuah keluarga kelas menegah. Ia pernah
menempuh pendidikan di Universitas Heidelberg. Karir akademik Weber semakin
meningkat ketika ia diangkat sebagai Professor Ekonomi di Univiersiras Freiburg
tahun 1984. Karya monumentalnya yang dijadikan sebagai referensi kajian ilmu
pengetahuan sosial modern ialah “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”.[1]
Weber mengembangkan
tiga tipe otoritas dalam masyarakat. Pertama, otoritas legal (Legal-Rational
Authority) yaitu otoritas yang bersumber dari legalitas atau suatu peraturan
tertentu. Kedua, otoritas tradisional (Traditional Authority), yang
otoritas yang keabsahannya bertumpu pada adat istiadat. Ketiga, otoritas
kharismatis (Charismatic Authority) yaitu otoritas yang keabsahannya
bersumber dari kharisma atau kualitas istimewa yang dimiliki oleh seseorang
yang diakui oleh orang lain. selebihnya akan dipaparkan berikutnya.[2]
B.
Macam-macam
Otoritas
Sebelum mengurai
macam-macam otoritas, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari otoritas
itu sendiri. Otoritas adalah kemungkinan yang di dalamnya terdapat suatu
perintah untuk dipatuhi oleh seseorang atau kelompok tertentu. Karenanya,
otoritas merupakan bagian dari suatu relasi kekuasaan sekaligus mengandung
unsur perintah dan unsur kontrol.[3]
1.
Otoritas
Legal (Legal-Rational Authority)
Otoritas legal merupakan pemberian wewenang atau
otoritas yang bersumber dari hukum atau peraturan perundang-undangan. Model
otoritas ini cenderung mengutamakan birokrasi (politik dan ekonomi).[4]
Model kepemimpinan semacam ini biasanya diterapkan di negara-negara modern atau
di kota-kota, badan hukum baik miliki pribadi atau serikat. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan dalam struktur birokrasi tersebut dipimpinan oleh
seseorang yang memiliki kharismatik sehingga hasil atau capaian cukup berbeda
dan fleksibel.
2.
Otoritas
Traditional
Otoritas tradisional merupakan otoritas yang memiliki
keabsahan berdasarkan kesucian/kekudusan suatu tradisi tertentu yang hidup di
tengah masyarakat. Sehingga ketika seseorang taat dan patuh terhadap suatu
peraturan atau pada suatu struktur otoritas disebabkan karena kepercayaan
mereka terhadap sesuatu yang bersifat kontuinyu.[5]
Hubungan yang terjalin antara tokoh yang memiliki
otoritas dan bawahan sejatinya merupakan hubungan pribadi yang cenderung
mengarah sebagai bentuk perpanjangan hubungan kekeluargaan. Adanya kesadaran
yang penuh antara pemimpin untuk melaksanakan kewajibannya dan bawahan sebagai
bentuk kesetiaan dan kecintaan kepada pemimpinan.
3.
Otoritas
Kharismatik
Istilah kharisma digambarkan secara
sosiologis oleh Weber yaitu sebagai suatu pengakuan oleh para pengikut seorang
pemimpin (leader) akan keistimewaannya.[6]
Weber kemudian memahami bahwa yang dimaksud dengan otoritas kharismatik sebagai
tipe kepemimpinan yang keabsahannya diakui oleh kualitas, keistimewaan,
keunggulan. Selain itu, otoritas kharismatik ditemukan pada pemimpin yang
mempunyai visi dan misi yang dapat mengispirasi orang.
C.
Relevansi
dengan Jenis Hukum
Masing-masing pola kepemimpinan/otoritas
di atas memiliki konsekunsi yang beragam terhadap hukum. Jika dicermati, model
kepemimpinan yang menggunakan otoritas legal maka hukum yang akan lahir dari
proses dinamika tersebut bersifat baku karena kewenangan yang melekat pada pemimpinan
tersebut. Jika dikontekskan dengan empat ideal hukum maka, model kepemimpinan
dengan otoritas legal-formal akan melahirkan produk hukum yang bercorak hukum
rasional dan materiil. Artinya, dimana keputusan-keputusan para pembentuk
undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci atau legalitas yang
menjadikannya sebagai pemimpin.[7]
Adapun jenis hukum yang
dihasilkan oleh pemimpin yang menggunakan otoritas tradisional lebih cenderung
pada hukum irrasional dan formil. Artinya, pemimpinan yang memproduk suatu
hukum berpedoman kepada kaidah-kaidah di luar akal, oleh karena didasarkan pada
wahyu dan ramalan.[8]
Sedangkan jenis hukum yang
dihasilkan oleh pemimpin yang menggunakan otoritas kharismatik adalah produk
hukum yang dihasilkan cenderung pada hukum irrasional dan materil. Maksudnya,
hukum yang dibentuk didasarkan semata-mata pada nilai emosionalnya tanpa
menunjuk suatu kaidah apapun.[9]
Daftar Pustaka
Epley, Jennifer L.
2015. “Weber’s Theory of Charismatic Leadership : The Case of Muslim Leader
in Contemporary Indonesian Politic” dalam International Journal of
Humanities and Social Science, Vol. 5. No. 7. July 2015.
Hansen, George P.
2001. Max Weber, Charisma, and The Disenchanment of The World (Chapter 8). PA
: Xlibris.
Turner, Bryan S. 1998.
Weber and Islam, Vol. II. London : Routledge.
Weber, Max. 2006. Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme, Terj. TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Williams, Dana.
2003. Max Weber: Traditional, Legal-Rational and Charismatic Authority. Ohio
: The University of Akron.
[1] Max Weber, Etika Protestan dan
Spirit Kapitalisme, Terj. TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2006).
[2] George P. Hansen, Max Weber,
Charisma, and The Disenchanment of The World (Chapter 8), (PA : Xlibris,
2001), hlm. 102. Weber merupakan tokoh besar dalam bidang Sosiologi yang juga
mempopulerkan kajian berkaitan tentang sosiologi agama dengan karya
monumentalnya yang berjudul “The Protestan Etic and the Spirit of
Capitalism”. Ia menjelaskan bahwa agama menjadi pendorong atau spirit dari
kapitalisme dalam melalukan segala kegiatan ekonomi sekaligus menjadi etika dan
doktrin yang berkembang di Erapo ketika itu dan bahkan hingga saat ini. Baca
pula. Dana Williams, Max Weber: Traditional, Legal-Rational and Charismatic
Authority, (Ohio : The University of Akron, 2003), hlm. 1
[3] George P. Hansen, Max Weber,
Charisma, and The Disenchanment, hlm. 102.
[4] Ibid, hlm. 4
[5] Ibid, hlm. 2-3.
[6] Ibid. Lihat juga. Jennifer L.
Epley, “Weber’s Theory of Charismatic Leadership : The Case of Muslim Leader
in Contemporary Indonesian Politic” dalam International Journal of
Humanities and Social Science, Vol. 5. No. 7. July 2015, hlm. 7-8.
[7] Bryan S. Turner Weber and Islam,
Vol. II, (London : Routledge, 1998), hlm. 109.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar