skip to main | skip to sidebar

Media Iqbal Zen

Teruslah Berpuasa hingga Tuhanmu Menyuruhmu Berbuka

Pages

  • Beranda
  • Google Scholar
  • Arsip

Senin, 28 Maret 2016

(FALSAFAH) GINCU DAN GARAM

Oleh : M. Iqbal Juliansyahzen

Beberapa hari yang lalu, penulis ditanya oleh salah seorang teman terkait munculnya gerakan-gerakan “Islam” yang berorientasi pada gerakan transnasional. Hal ini wajar dipertanyakan, karena memang akhir-akhir ini gerakan seperti itu mulai gandrung di kalangan muslim Indonesia. Gerakan untuk kembali pada romantisme sejarah Islam di masa lalu,[1] akan tetapi lupa membangun peradaban masa depan yang berorientasi nilai-nilai universal dan juga memperhatikan nilai-nilai sosiologis dan antropologis yang hidup di tengah masyarakat.

Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk mengetengahkan kembali nilai-nilai luhur yang disampaikan oleh Bapak Bangsa, Bung hatta. Bung Hatta memperkenalkan falsafah gincu dan garam, dalam konteks keagamaan Islam Gincu dan Islam Garam. Ketika itu, pemikiran Bung Hatta mengalami penolakkan keras khususnya datang dari kalangan muda muslim. Mereka menganggap Hatta semakin sekuler, karena ia melakukan “pembiaran” terhadap Islam dengan tidak memformalisasikan Islam dalam bentuk kenegaraan. Berbeda dengan Muhammad Natsir yang begitu semangat untuk memformalkan Islam dalam bentuk negara.

Menarik komentar Hatta mengenai persoalan ini, menurutnya, “perbedaan saya dengan Natsir ibarat segelas air yang ada di depan saya, yang tampak begitu bening dan transparan. Nah, masukan ke dalam gelas itu gincu dan aduk, warnanya jelas berubah tetapi rasanya tetap saja. Tetapi coba masukan setengah sendok garam, warnanya tidak akan berubah namun rasanya berubah. Natsir menganggap Islam seperti gincu, sedangkan saya mengganggap Islam seperti garam”.

Pertanyaannya kemudian, mana yang lebih baik antara kedua simbol di atas? Pembaca budiman nan arif bijaksana pastilah dapat menjawabnya secara arif dan bijaksana (pula). Terkadang kita terlalu sibuk memfikirkan simbol-simbol tetapi lupa untuk mengurus substansi. Padahal mencari substansi lebih penting daripada mengurus bungkus yang terkadang menipu.

Saat ini kita disuguhkan dengan fenomena maraknya Islam gincu (transnasionalis) di tengah masyarakat. Mereka ingin mengganti atau "mencuci gudang" segala yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan yang mulia. Demokrasi yang dengan tumpah darah dibela dan ditegakkan, nyata malah ingin dihancurkan karena dianggap sistem kufur. Padahal, jika mau jujur, mereka dapat hidup dan menghirup angin segar di Indonesia di era reformasi ini karena demokrasi. Coba kita lihat pada zaman orde baru, dimanakan mereka? marilah kita belajar untuk bersyukur, berterima kasih kepada para founding father bangsa ini yang telah memperjuangkan raga, tenaga, jiwa dan segalanya untuk berdiri kokohnya negara ini.

Islam hakikatnya mengajarkan umatnya untuk tidak hanya shalih secara ritual (itu penting), tetapi juga harus shalih secara sosial. Dalam istilah lainya, tidak hanya shalih indidual tetapi juga shalih bernegara, berbangsa dan bertanah air (shalih sosial).

Akhiran, marilah kita merenungkan kembali falsafah luhur yang diajarkan Bung Hatta di atas. Dalam konteks yang lain, kita diajarkan untuk tidak berhenti pada tataran luarnya, bungkus, penampilan, tetapi juga bagaimana kita terus menggali dan mempelajari nilai-nilai yang terkadang di balik suatu hal (apa pun). Tidak mudah menghakimi orang lain hanya karena penampilan luarnya, menyalahkan orang lain dan lain sebagainya. Mudah-mudahan dengan begitu kita bertambah arif dalam menyikapi setiap persoalan. Semoga ada manfaatnya.[]

Waallahuta’ala ‘Alam.

Pertapaan Kawah Condro Dimuko
Yogyakarta, 29 Maret 2016.





[1] Dalam bahasa Dr. Zuly Qodir (Sosiolog), fenomena itu seperti memutar jarum jam ke arah yang berlawanan.  
Diposting oleh Unknown di 16.28 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Label: Sosial Humaniora

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Mengenai Saya

Foto saya
Iqbal Zen
Muhammad Iqbal Juliansyahzen. Mengabdi sebagai seorang dosen tetap (PNS) di IAIN Purwokerto. Senang sekali bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Menulis sebagai ikhtiar merawat akal (hifz al-'aql). Selamat membaca
Lihat profil lengkapku

Menu kami

  • Akhlak (6)
  • Anekdot (10)
  • Doa (3)
  • Ekonomi (1)
  • Falak (3)
  • Hadis (1)
  • Kajian Fiqih (17)
  • Kajian Keislaman (8)
  • Kisah (3)
  • Lyrics (3)
  • Makalah (10)
  • Motivasi (9)
  • Muhasabah (38)
  • Mukjizat al-Qur'an (1)
  • Peradilan (1)
  • Psikologi Keagamaan (16)
  • Sosial Humaniora (5)
  • Student Exchange (16)
  • Studi Islam (2)
  • Ulasan (2)
Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Tulisan

  • ►  2020 (8)
    • ►  September (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2017 (9)
    • ►  Agustus (7)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ▼  2016 (7)
    • ►  September (2)
    • ►  April (1)
    • ▼  Maret (4)
      • (FALSAFAH) GINCU DAN GARAM
      • Anak di Tengah Kekerasan
      • TEORI OTORITAS MAX WEBER : (Legal, Traditional dan...
      • رأي أبي حنيفة في وجود ولي الزواج
  • ►  2015 (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2014 (6)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2013 (42)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (16)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2012 (44)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (2)
    • ►  Juni (16)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2011 (28)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (10)
    • ►  Januari (6)

Pengikut

 
Copyright (c) 2010 Media Iqbal Zen. Designed for Video Games
Download Christmas photos, Public Liability Insurance, Premium Themes