إنَّــمَــا المُؤمِنُــوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُــوْا بَيـْـنَ أَخَوَيْكُمْ ج وَاتَّقـُـو اللهَ لَعَّلَكُمْ تُرْحَمُـــوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara saudara-saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”
(QS. Al-Hujarāt [49] : 10)
Paling tidak, dimulai sejak abad ke-21 ini,
masyarakat dunia termasuk umat Islam dihadapkan dengan tantangan dan perubahan
sosial yang sangat luar biasa. Bahkan, bagi sebagian kita, hal ini menjadi
momok dan ancaman serius yang dapat menimbulkan krisis, segresi, disintegrasi
dan lain sebagainya. Tentunya hal tersebut akan terjadi jika kita tidak
memiliki pegangan dan dasar yang kuat dalam berbagai hal, khususnya dalam hal
agama (iman).
Iman menjadi dasar yang paling ampuh dalam
memproteksi diri dari setiap problem kehidupan yang dihadapi. Karenanya, iman
menjadi inti dari seorang muslim. Namun demikian, tidak cukup sampai disitu
saja. Berulangkali, Allah sebutkan dalam al-Quran bahwa iman belum bermakna
sebelum seseorang tersebut merealisasikan atau mempresentasikan dalam bentuk
amal shaleh. Amal shaleh merupakan pengejawantahan iman. Maka, mungkin tidak
berlebihan jika diibaratkan iman dan amal seperti sepasang suami istri yang
saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Pembaca yang budiman. Perlu diingat bersama,
bahwa dalam rangka merealisasikan amal tersebut, kita terikat dengan realitas
sosial yang ada di sekitar kita. Orang lain dan masyarakat menjadi bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari setiap langkah hidup kita. Allah takdirkan kepada
kita, bangsa Indonesia, dengan realitas keajemukan baik dari segi agama, etnis,
budaya, maupun adat istiadat.
Realitas majemuk dan beragam yang dimiliki Bangsa
Indonesia merupakan anugerah yang harus dirawat dan disyukuri. Menjaga
kemajemukan tersebut menjadi tanggung jawab kita, meskipun potensi konflik menjadi
suatu hal yang sulit dipungkiri. Secara historis, potensi konflik itu telah
terjadi seperti misalnya munculnya aliran-aliran kalam dalam Islam,aliran
pemikiran, dan lain sebagainya. Bahkan, “ramalan” malaikat saat berdialog
dengan Allah –sebagaimana terekam dalam surah al-Baqarah- terkait awal mula
penciptaan manusia di muka bumi menjadi refleksi kita bersama. Maka, keanekaragaman
yang ada mesti dikelola agar tidak menimbulkan konflik, perpecahan atau
disintegrasi umat dan bangsa.
Tuntunan
al-Quran
Sebelum mengurai tuntunan al-Quran dalam
mengelola keberagaman dan menenun ukhuwah, ada baiknya kita telaah ulang faktor
yang memungkinkan ukhuwah kurang terjalin dengan baik. Paling tidak ada empat
faktor penyebabnya (Syahrin Harahap, 2015), yaitu pertama, kecenderung
umat Islam memaknai ukhuwah terbatas hanya pada persoalan silaturahmi fisik an
sich dan kurang menjalin “silaturahmi batin”. Akibatnya, pengertian ukhuwah
menjadi terdistorsi pada pengertian yang sempit.
Kedua, ketidakcermatan atau bahkan bisa dikatakan
ketidakmampuan umat Islam dalam membedakan persoalan-persoalan yang bersifat
prinsipel (pokok, aşl) dengan hal-hal yang elementer
(cabang, teknis, furu’iyyah), sehingga hal yang bersifat elementer,
cabang, furuiyyah tadi menjadi sumbu konflik di antara umat. Hal-hal
yang bersifat elementer tersebut seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan.
Namun, realitasnya kita sering terjebak pada problem demikian. Persoalan yang
bersifat elementer seolah menjadi persoalan yang menyangkut persoalan dasar
umat.
Ketiga, pragmatisme. Kepentingan sesaat yang
menguntungkan pribadi maupun kelompok kerapkali mengalahkan banyak hal termasuk
pada akhirnya mengakibatkan konflik, merusak ukhuwah. Wajar jika ada ungkapan salah
seorang ulama yang menyatakan bahwa seseorang akan berubah dalam tiga keadaan
yaitu pada saat dengan penguasa, kemudian saat mendapatkan kewenangan atau
kekuasaan dan terakhir pada saat berubah kaya/miskin. Namun, tiga hal tersebut
bernilai negatif jika seseorang memiliki kekuatan iman yang bagus. Karenanya,
iman menjadi fondasi utama seorang muslim.
Keempat, politisasi agama. Saat agama dijadikan
komoditas politik maka pada saat itulah kepentingan tertentu dimainkan. Agama
yang seharusnya menjadi panduan dan sumber nilai seseorang dalam berbuat,
bertingkah laku, bermasyarakat dan bernegara malah dijadikan alat yang
ditujukan untuk kepentingan tertentu. Penyalahgunaan kepentingan inilah yang
pada akhirnya bermuara pada lahirnya konflik dan perpecahan di antara umat.
Maka, sudah semestinya umat muslim merujuk
tuntunan al-Quran sebagai basis nilai dan pedoman hidup. Al-Quran mengajarkan
bahwa manusia diciptakan untuk saling mengasihi dan mencintai antar sesama. Perbedaan
yang ada merupakan suatu keniscayaan, hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Perbedaan
bukan untuk dihindari, melainkan kita berusaha mencari titik temu dalam rangka
mewujudkan cita agama yang menebar rahmah.
Karenanya, sebagai khalifah di muka bumi,
manusia mengemban amanah yang besar yaitu mewujudkan kemashlatan dan kedamaian.
Tidak hanya bagi kaum muslim saja, tetapi juga kepada manusia secara umum dan
bahkan kepada alam lingkungan. Kekhalifahan itu pada dasarnya menuntut manusia
untuk membimbing, memelihara dan mengarahkan menuju tujuan awal peciptaan
makhluk di dunia ini.
Dalam memantapkan ukhuwah sesama muslim,
al-Quran menuntun umatnya untuk mengedepankan kearifan, kebijaksaan dan
mengedepankan islah ketika terjadi kesalahpahaman. Menarik untuk dikaji
lebih lanjut, sebagaimana penulis kutipkan salah satu ayat dalam al-Quran di
awal tulisan, al-Quran menggunakan kata ikhwah yang berarti persaudaraan
yang didasarkan pada hubungan keturunan, padahal kontek ayat tersebut adalah persaudaraan
antar sesama mukmin. Al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan yang
sebenarnya menunjukan persaudaraan yang tidak berkaitan dengan hubungan
keturunan.
Prof. Quraish menafsirkan bahwa penggunaan kata
tersebut bertujuan untuk mempertegas seakan-akan hubungan tersebut tidak hanya
hubungan keimanan saja, tetapi juga “seakan-akan” dijalin karena persaudaraan
keturunan. Sehingga umat Islam memiliki tanggungjawab yang ganda kepada sesama
uamt beriman agar selalu menjalin hubungan kekeluargaan yang harmonis. Bahkan
dalam suatu riwayat, hubungan antar umat Islam ibarat bangunan yang saling
menguatkan antar satu dan lainnya.
Dalam konteks hubungan kita kepada antar
pemeluk agama, Islam memperkenalkan sikap kebebasan dalam menjalankan agamanya
masing-masing sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Kāfirūn [106] : 6). Al-Quran juga menganjurkan agar umat Islam
mencari titik singgung, titik temu (kalimat sawa’) antar pemeluk agama.
Sehingga, dalam rutinitas sosial-kemasyarakat dapat terjalin dengan baik,
membangun pedamaian dan kebersamaan. Tentunya hal itu tidak menyangkut dalam
persoalan prinsipil (aqidah). Karenanya, dalam interaksi sosial, jika tidak ditemukan
persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan orang lain, dan yang
terpenting tidak perlu saling menyalahkan.
Mamantapkan
(kembali) Ukhwuwah
Ukhuwah biasa diartikan persaudaraan.
Masyarakat muslim kemudian familiar dengan istilah ukhuwah islamiyyah. Namun,
pemahaman terhadap ukhwuwah islamiyyah ini perlu diperjelaskan dan didudukan
kembali sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang kurang tepat yang berakibat
pada aktivitas bersosial keseharian. Selama ini, timbul kesan atau pemahaman
bahwa istilah tersebut berarti “persaudaraan yang terhubung antar umat muslim”
atau “persaudaraan sesama Muslim.” Sehingga, kata “Islamiah” dalam hal ini
merujuk sebagai orang yang berukhuwah atau pelaku ukhuwah. Padahal, akan lebih
tepat jika kata Islamiah dimaknai sebagai kata sifat (adjektif).
Sebagai kata sifat, maka ukhuwah Islamiyah
berarti “persaudaraan yang bersifat Islami, atau persaudaraan yang berlandaskan
pada nilai-nilai keislaman”. Paling tidak ada dua argumen terhadap pemaknaan
tersebut, pertama, karena memang di dalam al-Quran dan hadis dikenalkan
berbagai macam persaudaraan seperti persaudaraan seketurunan atau sekandung, persaudaraan
seagama maupun antar pemeluk agama, persaudaraan karena sebangsa maupun
persaudaraan sesama manusia secara umum. Kedua, karena alasan
kebahasaan. Dalam tata bahasa Arab, kata sifat akan selalu mengikuti pola kata
yang disifatinya.
Dengan demikian, ukhuwah tidak hanya kepada
mereka yang seagama saja, tetapi juga kepada antar pemeluk agama. Persaudaraan
pada akhirnya akan menimbulkan cinta dan kasih kepada sesama. Dalam internal
umat Islam khususnya, kita sering berdebat pada persoalan-persoalan yang bukan
prinsipil hingga pada akhirnya merusak tatanan ukhuwah. Yang terpenting
sebenarnya bukanlah mencari perbedaan yang ada, tetapi mencari persamaan.
Disadari atau tidak, faktor dominan dan penting dalam menimbulkan rasa
persaudaraan baik dalam pengertian luas atau sempit adalah karena adanya
persamaan. Semakin banyak menemukan dan mencari persamaan, maka semakin besar
pula kesempatan untuk menjalin persaudaraan.
Kalaulah berbeda, sikap yang mesti kita
kedepankan bukanlah sikap yang saling menyalahkan, menghina, memperolok-olok
orang lain melainkan saling menghormati dan menghargai pendapat. Penulis sangat
miris misalnya ketika melihat dinamika di media sosial maupun elektonik yang
saling menjelekkan dan menghina kepada sesema bahkan kepada ulama. Menghargai
perbedaan sama halnya menghargai sunnatullah, karena semua perbedaan itu
merupakan atas kehendak Ilahi. Kalaulah Allah berkehendak untuk menjadikan
seluruh penghuni bumi menjadi satu warna tentunya bukanlah hal yang sulit
bagiNya. Justru penyeragaman itu berdampak pada manusia yang akan hilang akal
budi dan rasanya yang tidak dapat memilah dan memilih mana yang terbaik. Perbedaan
untuk menguji manusia menjadi yang terbaik.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin
menekankan kembali bahwa persaudaraan antar sesama yang berlandaskan nilai
nilai Islam harus dimaknai bahwa Islam merupakan ajaran luhur untuk menghargai
sesama, persaudaraan yang memuliakan manusia lainnya, memanusiakan manusia. Cita
Islam yang luhur tersebut diembankan kepada manusia, umat muslim, yang notabene
sebagai khalifah di muka bumi. Mari kita saling eratkan ukhuwah diantara kita hingga
pada akhirnya terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.
* Iqbal
Zen
Alumni
PP UII
Diterbitkan oleh Buletin Al-Rasikh (Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam UII). Edisi 12 Jumadil Akhir 1438 H, 10 Maret 2017.
Diterbitkan oleh Buletin Al-Rasikh (Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam UII). Edisi 12 Jumadil Akhir 1438 H, 10 Maret 2017.
0 komentar:
Posting Komentar