Wajah keberagamaan di Indonesia memiliki corak yang beragam. Perkembangan corak tersebut
diwarnai berbagai hal yang mengundang perdebatan di kalangan akademisi.
Ekspresi keberagaman ini muncul sebagai respon terhadap arus keterbukaan dan juga
karakteristik dari budaya Indonesia itu sendiri yang pluralistik baik agama, budaya, sosial dan lain sebagainya. Ekspresi ini semula tidak nampak,
akibat tekanan orde baru. Pasca reformasi, arus keterbukaan semakin lebar
sehingga berbagai wajah baru bermunculan atas nama Islam.
Perkembangan atas keterbukaan ini di satu sisi bernilai positif, yakni bahwa Islam dan Indonesia semakin memeiliki ruang untuk menunjukan wajah tolerannya, namun di sisi lain ternyata arus keterbukaan ini
dimanfaatkan oleh sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam. Munculnya
ekstrimisme, radikalisme, dan bahkan terorisme yang seringkali melibatkan sebagian kecil umat juga menjadi perhatian serius yang menandai perkembangan Islam di
Indonesia dewasa ini. Perkembangan ini menuntut respon serius dari banyak
kalangan, karena selama ini, Islam di Indonesia dikenal dengan Islam yang
toleran, rahmatan lil Alamin.
Identitas
Keislaman
Jika
dirunut kembali, sebetulnya identitas keislaman di Indonesia dewasa ini dapat
dipetakan menjadi beberapa kelompok. Pertama, mereka yang berkeinginan
model Islam seperti masa keemasan lalu, yakni Islam pada abad pertengahan.
Islam pada zaman itu adalah sebaik-baiknya Islam sehingga mereka bernostalgia
dengan masa lalu. Kelompok kedua, mereka berkeinginan untuk
“mensyariahkan” seluruh aturan hidup, termasuk di dalamnya urusan bernegara.
Kelompok
ketiga, sebaliknya justru bagi kelompok ini mensyariahkan aturan-aturan
itu tidak perlu. Selanjutnya keempat, kelompok yang hanya fokus pada
ritual keagamaan tetapi kurang peduli terhadap sosial. Terakhir, justru
sebaliknya mereka tidak terlalu mengurusi persoalan ritual keagamaan, bagi
mereka, yang terpenting ialah pada dimensi sosial-kemanusiaan.
Dalam
konteks Indonesia, Islam yang ideal ialah Islam yang menampilkan otentisitas,
bukan orisinalitas. Unsur otentisitas erat kaitannya dengan fungsi Islam itu
sendiri dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Maka, Islam
seharusnya menjadi ruh dalam berbangsa dan bernegara.
Indonesia telah memilih pancasila sebagai
landasan dasar bernegara karena menyesuaikan dengan kepribadian dan karakter
bangsa Indonesia. Indonesia yang telah mantap memilih pancasila menyatakan
dirinya bukan negara agama atau negara Islam. Meskipun bukan negara agama,
jangan difahami bahwa Indonesia anti agama. Semua agama bahkan aliran
kepercayaan dapat hidup rukun berdampingan. Hal ini menjadi nilai dasar kebersamaan yang terus dipupuk oleh segenap
elemen bangsa.
Namun demikian, dalam perkembangannya pasca
reformasi mulai bermunculan beragam ormas yang merepresentasikan bahwa dirinya
yang berhak menafsirkan Islam di Indonesia. Hadirnya kelompok transnasional
Islam misalnya, merupakan contoh dari perkembangan wacana keislaman saat ini. Meskipun
mendapat pertentangan dari banyak pihak karena dianggap dapat menimbulkan
disintegrasi bangsa, tetapi kelompok ini justru semakin berkembang dan
bergeliat. Pada titik inilah terjadi kontestasi Islam di panggung Indonesia.
Ruang di Indonesia kemudian dipenuhi dengan
fragmentasi yang dipengaruhi oleh konfigurasi sosial, budaya, politik, dan lain
sebagainya. Kontestasi merupakan suatu yang lumrah dalam sebuah ruang yang
plural. Karenanya, bagaimana corak Islam Indonesia yang sesungguhnya
sebagaimana tercermin di atas menjadi sesuatu yang unggul dibanding “corak
pendatang”.
Umat Islam Indonesia harus kembali memahami
esensi bahwa Islam sangat akomodatif terhadap nilai-nilai kearifan dan kebudayaan,
termasuk Indonesia. Keindonesian dan keislaman bukanlah dua hal yang saling
bertentangan, tetapi keduanya merupakan komponen yang harus melekat pada setiap
umat Islam di Indonesia.
* Muhammad Iqbal Juliansyahzen
* Muhammad Iqbal Juliansyahzen
0 komentar:
Posting Komentar