Banyak
kalangan menilai bahwa wajah Islam di Indonesia berbeda dengan wajah Islam yang
ada di belahan dunia lain, terutama di jazirah Arab yang dianggap sebagai
‘pusat’ Islam. Sejumlah Indonesianis bahkan menyebut Islam Indonesia sebagai
wajah Islam yang paling tidak ter-Arabkan (the
least Arabized form of Islam). Secara umum, banyak pengamat menilai wajah
Islam Indonesia yang berbeda ini sangat diwarnai oleh karakteristik
Indonesia yang pluralistik
baik secara agama, budaya, sosial dan
sebagainya.
Akar-akar historis dan
perjalanan panjang bergumul dengan kemajemukan inilah yang kemudian membuat
wajah Islam Indonesia tampak lebih terbuka, luwes dan ramah terhadap budaya
lokal.
Konteks politik yang berubah
Sejarah
tentu bukan satu-satunya faktor yang membentuk wajah Islam Indonesia. Politik
adalah faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan Islam Indonesia.
Kelahiran dan keruntuhan rezim Orde Baru secara khusus memberi dampak
tersendiri bagi perkembangan wajah Islam Indonesia. Di bawah rezim Orde Baru
inilah, tepatnya mulai dekade 1970-an, muncul corak pemikiran dan gerakan Islam
yang sangat apresiatif terhadap prinsip-prinsip modern seperti demokrasi, HAM,
toleransi dan pluralisme. Para pengamat menggambarkan corak Islam ini dengan
beragam sebutan seperti Islam substantif, Islam moderat, Islam liberal, Islam
progresif dan sebagainya. Corak pemikiran Islam inilah yang kemudian mendorong
penerimaan yang kuat umat Islam terhadap dasar negara Pancasila yang dinilai
secara substantif mencerminkan nilai-nilai keIslaman dan pada saat yang sama
menghargai kenyataan historis dan sosiologis Indonesia sebagai bangsa majemuk.
Ini tidak
berarti selama Orde Baru tidak ada corak atau wajah Islam yang lain. Corak Islam
yang lebih puritan, koservatif atau bahkan radikal juga ikut mewarnai wajah
Islam Indonesia. Tetapi kebijakan politik Orde Baru yang represif terhadap
Islam ideologis membuat corak-corak pemikiran Islam tersebut tidak mendapatkan
ruang yang leluasa untuk bergerak. Di sinilah, runtuhnya rezim Orde Baru
kemudian melahirkan lanskap politik baru yang kemudian mempengaruhi wajah Islam
Indonesia saat ini. Corak dan gerakan Islam yang sebelumnya mendapatkan tekanan
hebat dari rezim Orde Baru, kini menemukan ruang politik yang lebih terbuka
untuk menunjukkan identitas dan memperjuangkan tujuan mereka.
Fragmentasi
dan Kontestasi
Dengan perubahan
lanskap politik itulah kemudian muncul fragmentasi dalam wajah Islam Indonesia. Wajah Islam Indonesia kini ‘diperebutkan’
oleh corak pemikiran dan gerakan yang beragam. Dengan kata lain, Islam
Indonesia menjadi arena pertarungan diskursif dan ideologis (arena of discursive and ideological
struggles) yang melibatkan lebih banyak corak pemikiran, gerakan dan aktor.
Dalam hal ini, salah satu perkembangan
signifikan adalah
menurunnya hegemoni wacana Islam progresif-liberal dan bangkitnya wacana dan gerakan Islam konservatif-fundamentalis. Dukungan politik
dan institusional
yang dinikmati oleh wacana Islam liberal-progresif selama periode
1980-an dan 1990-an kini tampak berkurang, sedangkan wacana Islam konservatif-radikal yang tertekan di bawah Orde Baru kini
justru mendapatkan semacam angin segar. Selain itu, kini juga muncul gerakan-gerakan Islam transnasional
yang mencoba menandingi kekuatan kelompok-kelompok Islam progresif-liberal
dan organisasi-organisasi Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU). Belakangan, lanskap Islam Indonesia juga diwarnai oleh munculnya
para ‘ulama’ baru seperti Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, Yusuf Mansur,
Abdul Somad, Mamah Dedeh, dan Felix Siauw yang difasilitasi
oleh perkembangan pesat teknologi komunikasi dan media sosial.
Fragmentasi dan kontestasi dalam wajah Islam Indonesia
ini tentu menarik untuk terus dicermati. Banyak faktor yang mempengaruhi
dinamika dan perkembangan wajah Islam Indonesia dewasa ini dan di masa depan. Yang
perlu dicatat, penyebutan
istilah Islam Indonesia adalah sebuah praktik hermeneutik
tersendiri untuk membaca
“fenomena Islam” dan “fenomena Indonesia”. Penyebutan dua istilah itu dalam satu tarikan nafas mengandaikan
dialektika yang terus-menerus antara nilai-nilai keIslaman yang universal dan
nilai-nilai ke-Indonesian yang unik dan partikular. Barangkali inilah yang dapat menjadi
semacam acuan dalam memotret dan mendefinisikan kembali wajah Islam Indonesia
di tengah lanskap politik yang terus berubah.
Iqbal Zen (Muhammad Iqbal Juliansyahzen)
*)Artikel
ini adalah kerjasama PPs FIAI UII dan KR dalam rangka seminar bertajuk “Indonesian
Islam: Changing Landscape, Fragmentation and Contestation”. Diterbitkan oleh Koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. 24/03/2018
Sumber Gambar : Google
0 komentar:
Posting Komentar