skip to main | skip to sidebar

Media Iqbal Zen

Teruslah Berpuasa hingga Tuhanmu Menyuruhmu Berbuka

Pages

  • Beranda
  • Google Scholar
  • Arsip

Selasa, 18 Februari 2020

DIMENSI KEBERAGAMAAN MUSLIM



Islam hadir di muka bumi membawa misi besar yaitu mewujudkan kemashlahatan, ketentraman dan kedamaian. Islam membawa ajaran yang sempurna sebagai panduan dasar dalam mewujudkan misi besar tersebut. Paling tidak, kelengkapan ajaran tersebut termanifestasikan dalam trilogi Islam. Pertama, dimensi keimanan. Dimensi ini berpusat pada ranah internal seseorang yang melingkupi Ketuhanan (Ke-Esa-an), kenabian (Nubuwwat) serta hal-hal yang bersifat metafisika (Ghaibiyyat). Biasanya, dimensi pertama ini disebut dengan dimensi akidah, keyakinan dan keimanan hati seseorang.
Kedua, dimensi aktualisasi dari keyakinan tersebut dengan hal-hal yang bersifat eksoterik (hal-hal yang dapat dilihat, lahiriyah). Pada dimensi ini berisi aturan-aturan beribadah, baik ibadah kepada Tuhan maupun dalam hubungannya kepada sesama manusia. Dimensi ini biasanya disebut dengan ranah syariah. Seperangkat aturan ini kemudian disusun dalam sebuah tatanan hukum-hukum (fiqh) oleh para ulama baik dalam konteks hukum keluarga, siyasah, maupun hukum bermuamalah.
Ketiga, yaitu dimensi yang berkaitan dengan norma-norma yang mengatur gerak-gerik hati (qalb). Dimensi ini lebih dikenal dengan dimensi esoterik. Dimensi ini berisi penghayatan terhadap aturan-aturan (syariah) pada dimensi kedua. Dimensi ini kerap disebut sebagai ranah hakikat. Penghayatan secara mendalam terhadap gerak gerik ibadah yang telah dilakukan sehingga sampai (kasyaf) padaNya yang melahirkan manusia mukasyafah. Output dari dimensi ini adalah amal budi yang luhur, sopan santun, kelembutan, kesahajaan, prasangka baik, dan akhlak karimah mulia lainnya.

Islam tidak hanya mengatur hubungan komunikasi dengan Tuhan saja, tetapi mencakup aspek komunikasi kepada sesama manusia dan makhluk lainnya termasuk alam semesta. Itulah kemudian juga manusia digelari sebagai khalifah di muka bumi. Tugasnya adalah mengelola dengan sebaik mungkin, menjadi agen perdamaian dan kemashlahatan.
Ketiga deminsi dalam Islam tersebut, kesemuanya bersumber dan merujuk pada sumber otoritatif dalam Islam yaitu al-Quran dan Hadis. Prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai luhur diambilkan dari kedua prinsip dasar tersebut. Para ulama dengan kealimannya berusaha meramu kebutuhan manusia yang beragam sesuai dengan dimensi ruang dan perbedaan waktu.
Hal inilah yang menjadikan Islam shalih li kulli zaman wal makan (kompetibel pada setiap massa dan tempat). Pengembangan dan eksplorasi para ulama dalam membawa kedua sumber tersebut dengan alat bedah yang bernama ijtihad, istinbat atau ilhaq al masail bi nazha-iriha (menganalogikan suatu persoalan atau keputusan yang telah ada terhadap suatu problem baru).
Perangkat analisis tersebut menjadi kunci dalam mengkaji teks-teks keagamaan agar selalu sesuai dengan realitas dan kondisi yang ada. Ibn Rusyd dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa an-nuşūş mutanāhiyah wa al-waqā’iq ghairu mutanāhiyyah, “teks-teks keagamaan bersifat terbatas sedangkan persoalan selalu ada tidak berkesudahan.” Pisau analisis berfungsi untuk mengeluarkan dasar-dasar, nilai dan hukum yang terkandung dalam teks keagamaan yang terbatas dalam merespon realitas yang tak terbatas. Agar apa? agar kemashlahatan tetap terwujud.
Perangkat analisis ini yang juga dapat digunakan dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan lainnya baik dalam konteks sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Karenanya, sesungguhnya setiap problem dapat diselesaikan dengan baik asalkan metode, cara yang ditempuh sesuai dengan yang seharusnya. Perbedaan sebagai konsekuensi yang sulit terhindarkan. Kuncinya, adalah saling menghormati dan menghargai pendapat lain yang berbeda selagi dalam koridor syariah.
Islam menghargai dan merespon dinamika perkembangan yang ada sesuai tempat dan waktu. Dalam sebuah jargon penting dalam keberagamaan Muslim yaitu al-Muḥafadzah ‘Alā al-Qadīm Al-Șaliḥ wa al-Akhdzu bi al-Jadīd al-Aşlaḥ (Menjaga warisan lama yang baik dan mespon perkembangan baru yang lebih baik). Perkembangan adalah sebuah keniscayaan. Perbedaan waktu dan tempat berpengaruh pada perubahan aturan ataupun hukum.
Tidak hanya merespon perkembangan kebutuhan tetapi merawat tradisi yang masih baik. Gerak inilah yang disebut dinamis. Tidak fokus mempertahankan tradisi lama dan menutup diri dari perkembangan tapi berusaha mengadopsi hal-hal baru yang dianggap membawa kemashlahatan secara lebih luas.
Tidak bisa dipungkiri, perkembangan ilmu pengetahuan semakin luas dan dinamis. Dalam literatur sejarah, aktivitas intelektual kaum muslim tidak membedakan atau mendikotomikan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena sejatinya segala ragam ilmu pengetahuan bersumber dari yang satu yaitu ilmu Allah yang Maha Kaya. Islam yang terbuka bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru ini menjadi kekuatan yang penting di tengah gempuran antar peradaban.
Dalam konteks modal prinsipil bagi umat Islam dengan trilogi Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka ketiga demensi di atas hakikatnya harus saling melengkapi dan berkaitan. Tidak dapat dipisahkan antar-satu dan lainnya dalam diri seorang muslim. Tidak hanya sebatas mengetahui hukum-hukum atau aturan-aturan saja, tetapi pengetahuan tersebut haruslah diamalkan.
Tidak berhenti disitu, lebih jauh bagaimana keluhuran dan kesucian hati sebagai identitas seorang muslim dapat melekat dan itu sebagai buahnya. Keluasan ilmu harus semakin menjadikan seseorang menunduk bahwa ilmu pengetahuan adalah bagian dari “hikmah” yang diberikan Allah kepada siapapun yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Baqarah [2] : 269).

Menyikapi Perbedaan
Perbedaan adalah suatu hal yang niscaya. Perbedaan bukanlah suatu yang harus dipersoalan secara berlebihan. Tidak jarang bahkan sering sekali karena adanya perbedaan menyebabkan timbulnya permusuhan. Pemahaman terhadap doktrin keagamaan secara parsial menjadi faktor yang penting yang perlu diperhatikan. Gejala ini bisa dibaca jika model keberagamaan Muslim hanya berorientasi pada hukum saja, tidak cinta sebagaimana uraian ahli fenomenologi.
Seorang muslim sudah merasa menjadi muslim yang baik hanya ketika telah mampu menjalankan laku syariah. Seperti halnya shalat lima waktu, membayar zakat, berhaji, berpuasa wajib hingga sunah. Namun hakikat dari setiap gerak dan amalan ibadah yang dilakukannya tidak mampu menjadikannya pribadi yang mampu berprasangka baik terhadap sesama muslim, santun dan lemah lembut terhadap non muslim serta akhlak indah lainnya yang hanya dapat dilahirkan oleh muslim yang telah mampu mencapai dimensi ketiga.
Artinya, ketiga dimensi yang telah disebut di atas merupakan rangkaian pokok yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dapat disebut sebagai rangkaian siklik berkesinambungan. Ketiganya saling melengkapi dan menyempurnakan.
Persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah merasa paling benar sendiri. Menyalahkan liyan, kafir-mengkafirkan, bid’ah membid’ahkan dan lainnya. Ia kemudian mengkapling surga hanya untuk diri dan kelompoknya. Penyakit ini terjadi karena seorang muslim tidak memahami persoalan keagamaan secara komprehensif.
Persoalan selanjutnya yang patut diwasdapai adalah rujukan beragama. Sikap beragama hari ini adalah tidak mempetimbangkan otoritas keilmuan guru. Kaum muslim “baru” hanya bermodal pada penyampaian ustadz yang diviralkan melalui medsos. Persoalannya, banyak para ustadz yang beraliran dikotomik, yang berakhir pada sikap menyalahkan kaum lain.
Karena itu, belajar agama harus kepada tokoh yang otoritatif, memiliki sanad keilmuan keislaman yang jelas. Selain itu, sumber referensi yang otoritatif juga menjadi landasan utama beragama. Jangan hanya mencomot dari sumber “abal-abal”. Apalagi dalam konteks beragama, harus otoritatif.
Jika unsur-unsur itu terpenuhi, belajar secara komprehensif, maka perbedaan tidak melahirkan perpecahan justru itu menjadikan antar umat saling melengkapi dan menyempurnakan sebagai sebuah dinamika beragama.


M. Iqbal Juliansyahzen
Alumni PP UII

Artikel dipublikasi oleh buletin Ar-Rasikh DPPAI UII

Diposting oleh Iqbal Zen di 19.41 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Label: Ulasan

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Mengenai Saya

Foto saya
Iqbal Zen
Muhammad Iqbal Juliansyahzen. Mengabdi sebagai seorang dosen tetap (PNS) di IAIN Purwokerto. Senang sekali bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Menulis sebagai ikhtiar merawat akal (hifz al-'aql). Selamat membaca
Lihat profil lengkapku

Menu kami

  • Akhlak (6)
  • Anekdot (10)
  • Doa (3)
  • Ekonomi (1)
  • Falak (3)
  • Hadis (1)
  • Kajian Fiqih (17)
  • Kajian Keislaman (8)
  • Kisah (3)
  • Lyrics (3)
  • Makalah (10)
  • Motivasi (9)
  • Muhasabah (38)
  • Mukjizat al-Qur'an (1)
  • Peradilan (1)
  • Psikologi Keagamaan (16)
  • Sosial Humaniora (5)
  • Student Exchange (16)
  • Studi Islam (2)
  • Ulasan (2)
Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Tulisan

  • ▼  2020 (8)
    • ►  September (3)
    • ►  April (2)
    • ▼  Februari (3)
      • DIMENSI KEBERAGAMAAN MUSLIM
      • MEMAKNAI EKSPRESI KEBERAGAMAAN
      • MEMOTRET KEMBALI WAJAH ISLAM INDONESIA
  • ►  2017 (9)
    • ►  Agustus (7)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (7)
    • ►  September (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (4)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2014 (6)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2013 (42)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (16)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2012 (44)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (2)
    • ►  Juni (16)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2011 (28)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (10)
    • ►  Januari (6)

Pengikut

 
Copyright (c) 2010 Media Iqbal Zen. Designed for Video Games
Download Christmas photos, Public Liability Insurance, Premium Themes