Islam hadir di muka bumi membawa misi besar yaitu mewujudkan
kemashlahatan, ketentraman dan kedamaian. Islam membawa ajaran yang sempurna
sebagai panduan dasar dalam mewujudkan misi besar tersebut. Paling tidak, kelengkapan
ajaran tersebut termanifestasikan dalam trilogi Islam. Pertama, dimensi
keimanan. Dimensi ini berpusat pada ranah internal seseorang yang melingkupi
Ketuhanan (Ke-Esa-an), kenabian (Nubuwwat) serta hal-hal yang
bersifat metafisika (Ghaibiyyat). Biasanya, dimensi pertama ini disebut
dengan dimensi akidah, keyakinan dan keimanan hati seseorang.
Kedua, dimensi
aktualisasi dari keyakinan tersebut dengan hal-hal yang bersifat eksoterik
(hal-hal yang dapat dilihat, lahiriyah). Pada dimensi ini berisi aturan-aturan
beribadah, baik ibadah kepada Tuhan maupun dalam hubungannya kepada sesama
manusia. Dimensi ini biasanya disebut dengan ranah syariah. Seperangkat aturan
ini kemudian disusun dalam sebuah tatanan hukum-hukum (fiqh) oleh para ulama
baik dalam konteks hukum keluarga, siyasah, maupun hukum bermuamalah.
Ketiga, yaitu
dimensi yang berkaitan dengan norma-norma yang mengatur gerak-gerik hati (qalb). Dimensi ini lebih dikenal dengan
dimensi esoterik. Dimensi ini berisi penghayatan terhadap aturan-aturan
(syariah) pada dimensi kedua. Dimensi ini kerap disebut sebagai ranah hakikat.
Penghayatan secara mendalam terhadap gerak gerik ibadah yang telah dilakukan
sehingga sampai (kasyaf) padaNya yang melahirkan manusia mukasyafah. Output
dari dimensi ini adalah amal budi yang luhur, sopan santun, kelembutan,
kesahajaan, prasangka baik, dan akhlak karimah mulia lainnya.
Islam tidak hanya mengatur hubungan komunikasi dengan Tuhan
saja, tetapi mencakup aspek komunikasi kepada sesama manusia dan makhluk
lainnya termasuk alam semesta. Itulah kemudian juga manusia digelari sebagai
khalifah di muka bumi. Tugasnya adalah mengelola dengan sebaik mungkin, menjadi
agen perdamaian dan kemashlahatan.
Ketiga deminsi dalam Islam tersebut, kesemuanya bersumber
dan merujuk pada sumber otoritatif dalam Islam yaitu al-Quran dan Hadis.
Prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai luhur diambilkan dari kedua prinsip dasar
tersebut. Para ulama dengan kealimannya berusaha meramu kebutuhan manusia yang
beragam sesuai dengan dimensi ruang dan perbedaan waktu.
Hal inilah yang menjadikan Islam shalih li kulli zaman
wal makan (kompetibel pada setiap massa dan tempat). Pengembangan dan
eksplorasi para ulama dalam membawa kedua sumber tersebut dengan alat bedah
yang bernama ijtihad, istinbat atau ilhaq al masail bi nazha-iriha (menganalogikan
suatu persoalan atau keputusan yang telah ada terhadap suatu problem baru).
Perangkat analisis tersebut menjadi kunci dalam mengkaji
teks-teks keagamaan agar selalu sesuai dengan realitas dan kondisi yang ada. Ibn
Rusyd dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa an-nuşūş mutanāhiyah wa
al-waqā’iq ghairu mutanāhiyyah, “teks-teks keagamaan bersifat terbatas
sedangkan persoalan selalu ada tidak berkesudahan.” Pisau analisis berfungsi
untuk mengeluarkan dasar-dasar, nilai dan hukum yang terkandung dalam teks
keagamaan yang terbatas dalam merespon realitas yang tak terbatas. Agar apa?
agar kemashlahatan tetap terwujud.
Perangkat analisis ini yang juga dapat digunakan dalam upaya
menyelesaikan persoalan-persoalan lainnya baik dalam konteks sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lain sebagainya. Karenanya, sesungguhnya setiap problem
dapat diselesaikan dengan baik asalkan metode, cara yang ditempuh sesuai dengan
yang seharusnya. Perbedaan sebagai konsekuensi yang sulit terhindarkan.
Kuncinya, adalah saling menghormati dan menghargai pendapat lain yang berbeda
selagi dalam koridor syariah.
Islam menghargai dan merespon dinamika perkembangan yang ada
sesuai tempat dan waktu. Dalam sebuah jargon penting dalam keberagamaan Muslim
yaitu al-Muḥafadzah ‘Alā al-Qadīm Al-Șaliḥ wa al-Akhdzu bi al-Jadīd al-Aşlaḥ (Menjaga
warisan lama yang baik dan mespon perkembangan baru yang lebih baik).
Perkembangan adalah sebuah keniscayaan. Perbedaan waktu dan tempat berpengaruh
pada perubahan aturan ataupun hukum.
Tidak hanya merespon perkembangan kebutuhan tetapi merawat
tradisi yang masih baik. Gerak inilah yang disebut dinamis. Tidak fokus
mempertahankan tradisi lama dan menutup diri dari perkembangan tapi berusaha
mengadopsi hal-hal baru yang dianggap membawa kemashlahatan secara lebih luas.
Tidak bisa dipungkiri, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
luas dan dinamis. Dalam literatur sejarah, aktivitas intelektual kaum muslim tidak
membedakan atau mendikotomikan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum. Karena sejatinya segala ragam ilmu pengetahuan bersumber dari
yang satu yaitu ilmu Allah yang Maha Kaya. Islam yang terbuka bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru ini menjadi kekuatan yang penting di
tengah gempuran antar peradaban.
Dalam konteks modal prinsipil bagi umat Islam dengan trilogi
Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka ketiga demensi di atas hakikatnya harus
saling melengkapi dan berkaitan. Tidak dapat dipisahkan antar-satu dan lainnya
dalam diri seorang muslim. Tidak hanya sebatas mengetahui hukum-hukum atau
aturan-aturan saja, tetapi pengetahuan tersebut haruslah diamalkan.
Tidak berhenti disitu, lebih jauh bagaimana keluhuran dan
kesucian hati sebagai identitas seorang muslim dapat melekat dan itu sebagai
buahnya. Keluasan ilmu harus semakin menjadikan seseorang menunduk bahwa ilmu
pengetahuan adalah bagian dari “hikmah” yang diberikan Allah kepada siapapun
yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Baqarah [2] : 269).
Menyikapi Perbedaan
Perbedaan adalah suatu hal yang niscaya. Perbedaan bukanlah
suatu yang harus dipersoalan secara berlebihan. Tidak jarang bahkan sering
sekali karena adanya perbedaan menyebabkan timbulnya permusuhan. Pemahaman
terhadap doktrin keagamaan secara parsial menjadi faktor yang penting yang
perlu diperhatikan. Gejala ini bisa dibaca jika model keberagamaan Muslim hanya
berorientasi pada hukum saja, tidak cinta sebagaimana uraian ahli fenomenologi.
Seorang muslim sudah merasa menjadi muslim yang baik hanya
ketika telah mampu menjalankan laku
syariah. Seperti halnya shalat lima waktu, membayar zakat, berhaji, berpuasa
wajib hingga sunah. Namun hakikat dari setiap gerak dan amalan ibadah yang
dilakukannya tidak mampu menjadikannya pribadi yang mampu berprasangka baik
terhadap sesama muslim, santun dan lemah lembut terhadap non muslim serta
akhlak indah lainnya yang hanya dapat dilahirkan oleh muslim yang telah mampu
mencapai dimensi ketiga.
Artinya, ketiga dimensi yang telah disebut di atas merupakan
rangkaian pokok yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dapat disebut sebagai
rangkaian siklik berkesinambungan. Ketiganya saling melengkapi dan
menyempurnakan.
Persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah merasa
paling benar sendiri. Menyalahkan liyan, kafir-mengkafirkan, bid’ah
membid’ahkan dan lainnya. Ia kemudian mengkapling surga hanya untuk diri dan
kelompoknya. Penyakit ini terjadi karena seorang muslim tidak memahami
persoalan keagamaan secara komprehensif.
Persoalan selanjutnya yang patut diwasdapai adalah rujukan
beragama. Sikap beragama hari ini adalah tidak mempetimbangkan otoritas
keilmuan guru. Kaum muslim “baru” hanya bermodal pada penyampaian ustadz yang diviralkan
melalui medsos. Persoalannya, banyak para ustadz yang beraliran dikotomik, yang
berakhir pada sikap menyalahkan kaum lain.
Karena itu, belajar agama harus kepada tokoh yang
otoritatif, memiliki sanad keilmuan keislaman yang jelas. Selain itu, sumber
referensi yang otoritatif juga menjadi landasan utama beragama. Jangan hanya
mencomot dari sumber “abal-abal”. Apalagi dalam konteks beragama, harus
otoritatif.
Jika unsur-unsur itu terpenuhi, belajar secara komprehensif,
maka perbedaan tidak melahirkan perpecahan justru itu menjadikan antar umat
saling melengkapi dan menyempurnakan sebagai sebuah dinamika beragama.
M.
Iqbal Juliansyahzen
Alumni
PP UII
Artikel
dipublikasi oleh buletin Ar-Rasikh DPPAI UII
0 komentar:
Posting Komentar