Corona atau Covid-19 benar-benar telah menjadi problem besar
kemanusian abad ini. Kehadirannya tidak saja mengejutkan, tapi juga memilukan.
Ia merenggut ribuan
nyawa, melumpuhkan perekonomian, membatasi ruang gerak, menjauhkan
yang terkasih, hingga melunturkan nurani.
Tentu
bukan otoritas dan kapasitas saya berbicara hal ini dari perspektif medis.
Sudah banyak pihak yang otoritatif menjelaskannya. Saya sedikit mengulik
realitas ini dari fakta sosial di masyarakat.
Belakangan,
muncul pemberitaan di linimasa media sosial yang mengabarkan penolakan terhadap
jenazah Covid-19 di berbagai daerah. Warga menghadang mobil ambulan yang
membawa jenazah yang sejatinya akan dikebumikan. Penolakan tersebut atas dasar
ketakutan warga akan penularan virus tersebut di desa mereka.
Hal tersebut tidak
hanya terjadi di satu tempat, bahkan sudah beberapa tempat melakukan hal yang
sama. Peristiwa ini bagi saya sangat memilukan. Sebagai manusia, apalagi sedang
tertimpa musibah, tugas kita sebagai manusia yang masih hidup adalah meringankan
beban mereka, baik para medis, maupun keluarga korban.
Para medis
tentunya sudah memperhatikan cara penanganan jenazah yang terkena virus ini.
Segenap protokol kesehatan sudah dilaksanakan. Semua kemungkinan sudah
diantisipasi. Kita seyogyanya bisa percayakan kepada ahlinya untuk mengurus hal
tersebut sesuai standar kesehatan dan keamanan. Ketakutan yang berlebihan
hingga mengkibatkan hilangnya sisi kemanusiaan merupakan hal yang tidak tepat
dalam kondisi saat ini.
Ketakutan
terhadap virus ini adalah sesuatu yang wajar. Namun, ketakutan yang
mengakibatkan hilangnya rasionalitas bahkan nurani bukanlah sesuatu yang wajar.
Virus ini adalah wabah global. Korban virus ini bukanlah sesuatu yang bersifat
aib yang harus dikucilkan, jenazahnya ditolak dan lain sebagainya. Doktrin
agama mengatakan bahwa mereka adalah orang yang mati syahid.
Hal ini
misalnya termaktub dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwasanya “Orang
yang mati syahid ada lima macam, yaitu orang
yang kena tha’un (wabah),
orang yang mati karena sakit perut, korban tenggelam, korban tertimpa
reruntuhan, dan orang yang syahid di jalan Allah”. Karena itu,
mereka yang mati karena virus ini juga manusia yang mulia. Jangan dikucilkan.
Kesadaran
etis menjadi ruh untuk melihat suatu fenomena dari sudut pandang baik dan
buruk. Kesadaran etis ini terletak di atas rasionalitas. Bisa jadi secara
rasio, jenazah yang dikuburkan dianggap membawa dampak negatif bagi warga
sekitar. Rasionalisasi ini bisa jadi benar atau salah. Namun, secara etis,
penolakan terhadap jenazah covid 19 –yang tentu sudah diamankan secara
prosedural- adalah tindakan yang pasti salah.
Problem Keumatan
Selain
kesadaran etis yang harus kita renungi. Problem keagamaan dan keumatan menjadi
sorotan penting lainnya. Banyak komentar bersliweran mengenai
virus ini termasuk dalam perspektif agama. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
virus ini adalah azab, virus ini masuk karena pemerintah menolak dan
menghalangi kehadiran-kepulangan seorang tokoh, dan lain sebagainya.
Dalam
kondisi seperti saat ini, yang dibutuhkan adalah wacana keagamaan yang
menentramkan dan menyejukkan. Bukan malah menjustifikasi ini sebagai sebuah
azab, mengulik-ngulik sisi negatif dan lain sebagainya. Peran pemuka agama
dalam hal ini menjadi sangat sentral dalam merespon dan membersamai umat. Bukan
justru memperkeruh bahkan mempolitisasi.
Elite
agama seyogyanya dapat memberikan angin segar bagi akar rumput di tengah
problem pandemi ini. Bahkan, elit agama perlu memberikan fatwa dan penjelasan
secara masif termasuk mengenai perlakuan terhadap korban meninggal, sehingga
problem sebagaimana yang tejadi seperti penolakan jenazah tidak terulang
kembali. Wawasan keagamaan yang berkemanusiaan menjadi oase yang sangat
dibutuhkan umat.
Dalam hal
pelaksanaan ritual keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan
fatwa untuk melaksanakan peribadatan di rumah. Tugas kita adalah nderek fatwa
para ulama yang sudah pasti otoritatif dalam hal keagamaan. Prinsipnya,
mencegah kemudlaratan lebih diutamakan dari menggapai suatu kemashlahatan (dar
u al-mafāsid muqoddamun alā jalbi al maṣālih). Selain juga supaya
tidak menimbulkan kemudlaratan dan mendapat kemudlaratan akibat berkerumun.
Namun demikian, kita masih menjumpai ada elite agama yang
berpandangan berbeda, cenderung destruktif-provokatif. Menurutnya, hidup dan
mati ada di tangan Allah, tanpa ikhtiar menjaga keselamatan. Bahkan ada yang
berpandangan penutupan tempat ibadah bentuk politis agar umat jauh dari tempat
ibadah.
Please deh! Semangat
beragama juga harus diimbangi dengan kapasitas keilmuan yang baik serta
kebijaksanaan. Beragama juga membutuhkan perangkat keilmuan lainya. Jika
perspektif medis mengatakan bahwa ada unsur yang membahayakan jika umat
berkumpul dalam melakukan ritual keagamaan, maka umat hendaknya mengikutinya.
Kita semua
terkadang memang masih sulit untuk bersikap bijaksana, terlebih dalam situasi
tidak biasa seperti saat ini. Kearifan berpikir dan bersikap sangat diperlukan
dalam konteks hari ini. Potret–potret keumatan di atas sungguh menggambarkan
betapa kita masih didominasi egosentris dengan mengagungkan kebenaran
subjektif.
Keberagamaan
tidak hanya berorientasi pada kebenaran teosentris, tetapi juga mesti
memerhatikan aspek antroposentris. Sisi kemanusiaan, menjadi unsur yang mesti
diperhatikan oleh umat beragama, termasuk di dalamnya sisi psikologis.
Semoga
wabah ini segera berakhir. Kehidupan beragama dan bersosial kembali terjalin
bahkan lebih baik. Kita maknai wabah ini sebagai alarm kemanusiaan dan keumatan
agar lebih menghargai, bertoleransi, berempati secara lebih baik. Amin. []
* Muhammad Iqbal Juliansyahzen
DIpublikasi oleh artikula.id ( https://bit.ly/2VF2RCG )
0 komentar:
Posting Komentar