اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاء كَيْفَ يَشَاء وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.
Berita duka kembali mampir di bumi pertiwi tercinta. seakan tak bosan-bosannya setelah pemberitaan status merapi yang berada di negeri Ngenyogyakarto hadiningrat menurun menjadi siaga, kini datang dengan topik yang sama dengan apa yang terjadi di wasior dengan penyebab curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya banjir. Kali ini berita berasal dari medan. Koran harian kompas edisi jumat 7 Januari 2011 menyebutkan, kejadian ini mengakibatkan ribuan rumah di 11 dari 21 kabupaten di kota medan terendam serta ribuan warga terpaksa mengungsi. Sama halnya dengan apa yang terjadi di pulau dewata Bali yang hingga mengakibatkan korban tewas. Tentu hal ini mengundang keprihatinan kita akan realita yang menimpa negeri seribu pulau ini. Kita sebagai seorang muslim yang telah berikrar setia padaNya haruslah menerima dan meyikapinya dengan arif sembari melakukan refleksi terhadap diri pribadi masing-masing. Penurunan musibah ini tentunya memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui mana hambanya yang tetap mengucap ‘iman’ baik dalam hati maupun dalam perbuatannya ataupun malah melarikankan diri dari iman, sebagaimana yang termaktub dalam surat (al-ankabut [29] : 2).
Hujan dan Manusia
Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam belerang. Titik-titik kondensasi ini mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara (ali Muhammad, 2008). Ini sejalan lurus dengan apa yang telah Allah SWT definisikan dalam al-Quran. Al-quran telah mendifinisikan jauh-jauh sebelum manusia mendifinisikan hujan. Sehingga wajarlah jikalau Al-Quran disebut sebagai kitab yang kamil (lengkap) dan syamil (menyeluruh) yang membahas didalamnya pula konsep ilmiah. Terjadinya hujan bermula dari hembusan angin (tahsrif ar-Riyakh) yang kemudian menggerakkan awan lalu hukum alam yang telah menjadi ketetapanNya membentangkan di langit sehingga mengumpal-gumpal dan melaui celah-celah gumpalan tersebut keluarlah butir-butir air begitulah definisi al-quran. Sungguh merupakan salah satu bukti keagungan Allah melalui ayat-ayatnya yang terhampar di alam. Namun, terkadang kita jarang dapat menyadari keagungan Illahi yang selalu hadir dihadapan kita seperti bergantinya siang dan malam yang terjadi secara teratur tidak saling mendahului, kapal yang berlayar diatas laut sehingga tidak tenggelam dan masih banyak keagungan Illahi lainnya yang terhampar luas di jagat raya ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena manusia sudah mulai enggan mengetahui keagungan Illahi atau karena keterbatasan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.
Pada bagian akhir surat diatas, menunjukan bahwa hujan merupakan kabar gembira bagi manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh makhluk hidup pasti membutuhkan air. Mekanisme kompleks kehidupan tidak dapat berfungsi secara baik tanpa peran andil air didalamnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar bagian bumi adalah air. Termasuk manusia, bahwa sebagian besar penyusun organnya adalah air. Allah SWT berfirman dalam surah al-Anbiya’[21]:30, “kami(Allah) jadikan dari air segala sesuatu hidup”. Ini berarti segala yang hidup membutuhkan air. baik sebagai sarana memasak, mencuci, mandi dan lain-lain.
Dalam cabang keilmuan lainnya, peranan air sangatlah urgen dalam kelancaran proses kehidupan. Misal ilmu sitologi (ilmu susunan dan fungsi sel) bahwa air adalah kompenen terpenting dalam pembentukan sel pada makhluk hidup. Sedang Biokimia menyatakan bahwa air adalah unsur dalam perubahan yang terjadi pada tubuh mahluk hidup. Lain lagi dengan cabang ilmu Fisiologi yang menyatakan bahwa air dibutuhkan agar masing-masing organ dapat dapat berfungsi dengan baik, hilangnya fungsi itu akan berarti kematian. Maka, begitu besar dan pentingnya peranan air dalam proses kelancaran hidup.
Namun, tidak selamanya pula air berfungsi dengan baik bagi makhluk hidup khususnya manusia. air juga dapat menimbulkan musibah manakala jumlah air tersebut melebihi batas (yuzawwijul hadd). Apabila hal ini terjadi maka bisa saja musibahlah yang timbul seperti banjir. Maka, porsi atau jumlah air pun menentukan nilai sesuatu tersebut. Dalam kaidah fiqih (Qowa’idul fiqhiyyah) dinyatakan bahwa “Kullu ma tajawaawaza haddahu in’akasa alaa diddihi” yang berarti bahwa segala sesuatu yang mana jumlah atau porsinya melampaui batas ketentuan maka hukumnya berbalik dengan kebalikannya. Air sangat penting nilainya bagi kelangsungan hidup dan kehidupan, namun dapat menimbulkan bahaya (musibah) manakala jumlah atau porsinya melampaui batasnya. Maka yang tepat adalah sesuai dengan porsi dan kebutuhannya atau tengah-tengahnya, hal ini sesuai dengan kaidah fiqih pula “khoirul umuuri ausathuha” yaitu sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya.
Bila melihat realita yang terjadi saat ini, banjir tengah melanda negeri ini, maka kita sebaiknya kembali merujuk pada konsep dasar manusia pada kodrat asalnya adalah sebagai khalifah (baca : manusia). Khalifah di sini lebih ditekankan pada peran aktif manusia dalam menjaga, melestarikan alam. Peran manusialah yang sangat urgen dalam hal ini. Sikap manusia yang senantiasa menjaga dan memelihara alam maka alam pun akan membalas dengan lebih terhadap perbuatan manusia tersebut. Namun jika sebaliknya, jika sifat perusak yang selalu ditonjolkan, sehingga alam pun akan marah dan membalas perbuatan tidak bermoral tersebut. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam Ar-Ruum [30]: 41, dinyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut tidak lain disebabkan oleh tangan (perbuatan) manusia itu sendiri. Maka jelas sudah bahwa manusialah yang memegang setir itu sendiri. Jika setir diarahkan pada jalan yang lurus yaitu kegiatan menjaga serta melestarikan alam maka manfaat yang melimpahlah yang menghampiri manusia. namun, sebaliknya, jika setir itu diarahkan tidak lurus (menyimpang) maka bukanlah manfaat yang didapat justru musibah (akibat buruk) yang akan datang menjumpai para perusak yang telah membuatnya rusak.
Manusia sebagai makhluk pilihan Allah SWT, haruslah bersahabat dengan alam dan bermanja dengan alam artinya manusia diberi kewajiban untuk selalu memelihara, melindungi serta melestarikan alam. Di samping itu pula, manusia harus berhati-hati menjaga sikap dan memusnahkan sifat perusak dalam diri masing-masing. Jika sifat itu yang terus ditumbuh kembangkan oleh setiap individu maka proses interaksi antara alam dan manusia akan selalu harmonis, saling mengasihi layaknya seorang kekasih yang selalu berpadu kasih diantara keduanya. Maka, contoh yang sangat tepat adalah sebagaimana yang telah Rosulullah SAW ajarkan kepada umat manusia, karena tugas pokok pengutusan Rosul pada intinya adalah sebagai penyempurna akhlak termasuk cinta pada alam.
Manusia yang dipusakai oleh Allah SWT akal fikiran (akl) dan hati (qolbu) telah memerintahkan kita untuk selalu ber-tadabbur (merenung) terhadap segala sesuatu yang terjadi dan terhampar luas di alam semesta seperti terjadinya hujan. Sangat menarik pula untuk diketahui bahwa terdapat pelajaran (mauidhoh) dari dampak terjadinya hujan. Allah SWT berfirman “maka lihat dan perhatikanlah terhadap bekas-bekas, tanda-tanda serta dampak-dampak rahmat Allah , Bagaimana Allah SWT menghidupkan bumi setelah kematiannya, hal itu karena Allah SWT Maha Kuasa terhadap segala sesuatu termasuk menghidupkan yang telah mati (baca : Q.S. Ar-Ruum [30] : 50). Salah satu bukti kekuasaan Allah SWT melalui hujan ialah Allah menghidupkan kembali tanah yang sudah mati (gersang) menjadi tanah yang subur, Allah menumbuhkan pepohonan ditanah yang kering hingga dapat menghasilkan beraneka ragam buah-buahan yang kesemua ini merupakan ‘bekas’ dari tanda-tanda, rahmat Allah SWT yang terhampar di alam semesta yang mengundang manusia untuk senantiasa berpacu untuk menggali lebih jauh terhadap ayat-ayat Allah tersebut.
Epilog
Salah satu yang membedakan antara manusia dan hewan adalah adanya akal (akl) dan juga hati (qolbu). Kedua potensi inilah yang sangat urgen dan mahal nilainya, akal merupakan mahkota seseorang sedangkan hati adalah kemuliannya. Maka, potensi ini haruslah digunakan semaksimal mungkin sehingga Allah SWT tidak sia-sia memberi potensi tersebut kepada manusia, tidak untuk dibiarkan saja tanpa digunakan untuk memerhatikan keagunganNya maka akan rusak dengan sendirinya, sama halnya dengan sebuah mesin yang mudah menjadi cepat rusak apabila jarang digunakan dibandingkan dengan mesin yang sering digunakan. Karena inilah yang merupakan tujuan utama Allah SWT memberikan potensi tersebut kepada manusia (makhluk terpilih) supaya selalu difungsikan untuk memerhatikan tanda-tanda kekuasaanNya.
Akhirnya, apa yang telah dipaparkan diatas merupakan sekelumit dari luasnya samudra keagungan Illahi. Besar harapan tulisan sederhana ini dapat menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang terhampar dimuka bumi ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang sudah menjadi keharusan bagi kita yang diberikan Allah SWT kekuatan akal untuk berfikir dan hati untuk merasa, merenung dan mendalaminya. Jikalau kita telah mampu menyingkap rahasia-rahasia pesan Illahi yang terhampar luas di alam semesta ini walau hanya sekelumit dari banyaknya bukti-bukti tersebut berarti kita telah bersyukur terhadap pemberian Allah tersebut sehingga pemberian tersebut tidak sia-sia. Semoga kita tergolong kedalam umatnya yang bersyukur dengan cara menfungsikan potensi-potensi yang Allah SWT anugerahkan kepada kita, karena hakikat orang yang bersyukur adalah dengan perbuatan (haqiqatus syukri bil amal) (munawir, 2010). Subhanaka la ilma lana illa ma ‘allamtana inna antal ‘aliimul hakiim. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.
Iqbal Zen,
Mahasiswa Hukum Islam
Santri Ashabul Kahfi UII, 2010
Anggota IPNU Pov. Lampung
0 komentar:
Posting Komentar