Oleh: M. Iqbal Julansyah Zen dan Aan Fuad[1]
I.
Hadis
Qudsi
1.
Pengertian
Hadits
qudsi, disebut juga dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani. Menurut
bahasa berasal dari kata القدس
yang berarti suci yaitu hadis yang dinisbatkan pada dzat yang Maha Suci yaitu
Allah SWT[2].
Nisbah ini menunjukan rasa ta’dzhim(hormat
akan kebesaran dan kesucianNya), oleh karena kata itu sendiri menunjukan
kebersihan dan kesucian secara bahasa. Sehinga berarti mensucikan Allah.
Sedangkan menurut
istilah sesuatu yang dikhabarkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dengan
melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan ma’na dari ilham
atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.[3]
Sehingga dapat
dikatakan bahwa hadits Qudsi adalah suatu hadits yang berisi firman Allah SWT
yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan
menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, hadits qudsi ialah hadits yang maknanya berasal dari Allah
SWT, namun lafalnya berasal dari Nabi SAW.
Contoh hadits Qudsi adalah
§ عن
النبي قال, قال الله تعالى ثلاثه انا خصمهم يوم القيامه… الخ.رواه ابو هريرة
2.
Pengertian Hadis
Nabawi
Menurut istilah, pengertian
hadis nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Dapat dikatakan, hadits yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi
Muhammad SAW sendiri.[4]
Contoh hadist nabawi
yang berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi SAW,
انما الاعمال بالنية………. . اخرجه البجخارى
فى صحيحه
Contoh
hadist berupa perbuatan (fi’li) ialah
كان النبي اذا اراد ان ينام وهو جنب غسل
فرجه وتوضأ للصلاة. حديث عائشة
Contoh
hadist berupa ketetapan (taqriri) ialah
ان خالته اهدت الى رسول الله سمنا واضبا
واقطا فاكل من السمن والاقط واكل على مائدته
,
ولو كان حراما مااكل على مائدة رسول الله.
حدبث ابن عباس
Contoh
hadist berupa sifat (wasfi) ialah
كان
رسول الله ربعة ليس بالطويل ولابالقصر حسن الجسم… الخ . حديث انس ابن مالك
3.
Perbedaan Hadis
Qudsi dengan Hadis Nabawi
a.
Hadits Nabawi
dinisbahkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi dinisbahkan
kepada Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung lidah dari-Nya.
b.
Hadis Nabawi ada dua
macam yaitu: [5]
1.
Tauqifi yaitu kandungannya
diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu dijelaskan kepada manusia dengan
kata-kata darinya. Di sini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah
tetapi dari sisi perkataan lebih banyak dinsbahkan kepada Rasulullah SAW. sebab
kata-kata itu dinisbahkan kepada siapa saja yang mengatakannya, walaupun
terdapat makna yang diterimanya dari pihak lain.
2.
Taufiqi. Bagian lain adalah Taufiqi.
Yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW. menurut pemahamannya terhadap
Al-Qur’an, karena fungsi Rasulullah SAW. menjelaskan, menerangkan al-Qur’an,
atau mengambil istinbat dangan perenungan dan ijtihad. Dalam hal ini, wahyu
akan mendiamkan jika benar dan bila terdapat kesalahan didalamnya, maka wahyu
akan turun untuk membetulkannya[6]
. yang pasti taufiqi ini bukan merupakan kalam Allah.
c.
Pola (Shighat)
Periwayatannya Dalam hadits qudsi terdapat dua pola periwayatan, yaitu:
1.
Rasulullah Saw
mengatakan apa yang diriwayatkan dari Tuhan-Nya,
رسول الله صلى الله عليه
وسلم فيما يرويه عن ربه قال
2.
Rasulullah Saw mengatakan: Allah Ta’ala telah
berfirman atau berfirman Allah
Ta’ala. قال
الله تعالى
4.
Perbedaan Hadis
Qudsi dan al-Qur’an
a.
Semua lafadz-lafadz
(ayat-ayat) al-Qur’an adalah mu’jizat dan mutawatir, sedangkan hadis Qudsi
tidak demikian halnya.
b.
Ketentuan hukum yang
berlaku bagi al-Qur’an tidak berlaku
dalam hadis, seperti pantangan menyentuh bagi orang yang sedang berhadas kecil
dana pantangan membacanya bagi orang yang berhadas besar. Sedang untuk hadis (Qudsi)
tidak ada pantangannya.
c.
Setiap huruf yang
dibaca dari al-Qur’an memberikan hak pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.
d.
Meriwayatkan
al-Quran tidak boleh dengan ma’nanya saja atau mengganti lafadh yang lainnya,
berlainan dengan hadis. [7]
Alquran dari Allah baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah
dan lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna tetapi
bukan dalam lafal. Oleh sebab itu menurut sebagian besar ahli hadis
diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dgn maknanya saja
e.
Al-Qur’an hanya
dinisbahkan langsung kepada Allah yang tidak ada keraguannya lagi. Isltilah
yang digunakan biasanya adalah “Allah Ta’ala telah berfirman”. Adapun
hadis Qudsi terkadang disandarkan kepada Allah. Penyandaraan kepada Allah itu
bersifat penisbatan Insya’I (yang diadakan). Disini juga menggunkan kata
“Allah berfirman atau Allah telah
berfirman”. Tetapi penisbatannya
bersifat ikhbar (pemberitaan), karena Nabi yang mengabarkan hadis itu
dari Allah. Maka dari sini Nabi mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari
TuhanNya (Allah SWT).[8]
II.
Hadis
Marfu’
Pengertian
Menurut bahasa adalah kata “marfu” berasal dari isim maf’ul dari
fiil رفع yang
berate dinisbatkan langsung ke Rasulullah SAW. Hadits
marfu adalah كُلُّ حَدِيْثٍ نُسِبَ إِلَى النَّبِيّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ
صِفَةً yaitu hadits yang khusus
disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan, perbuatan atau taqrir beliau;
baik yang menyandarkannya sahabat, tabi’in atau yang lain; baik sanad hadits
itu bersambung atau terputus.
Berdasarkan definisi diatas
hadits marfu itu ada yang sanadnya bersambung, adapula yang terputus. Dalam
hadits marfu ini tidak dipersoalkan apakah ia memiliki sanad dan matan yang
baik atau sebaliknya. Bila sanadnya bersambung maka dapat disifati hadits
shahih atau hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan dan keadilan perawi.
Bila sanadnya terputus hadits tersebut disifati dengn hadits dhaif mengikuti
macam-macam putusnya perawi.
· Macam-macam Hadits Marfu[9]
Mengingat bahwa
unsur-unsur hadits itu dapat berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi,
maka apa yang disandarkan kepada Nabi itupun dapat diklasifikasikan menjadi
marfu qauli, marfu fi’li dan marfu taqriri. Dari
ketiga macam hadits marfu tersebut ada yang jelas –dengan mudah dikenal–
rafanya, dan adapula yang tida jelas rafanya. Yang jelas (sharih) disebut marfu
hakiki, dan yang tidak jelas (ghairu sharih) disebut marfu hukmi.
1. Marfu Qauly Hakiki
Ialah apa yang disandarkan
oleh sahabat kepada Nabi tentang sabdanya, bukan perbuatannya atau iqrarnya,
yang dikatakan dengan tegas bahwa nabi bersabda. Seperti pemberitaan sahabat
yang menggunakan lapazh qauliyah :
سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول …… كذا
“Aku mendengar Rasulullah
saw bersabda ……… begini”
Contohnya
:
عن
ابن عمر رضى الله عنه قال: إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: صلاة الجماعة
أفضل من صلاة الفذّ بسبع و عشرين درجة
( رواه
البخاري و مسلم)
“Warta
dari Ibn Umar r a, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : Shalat jama’ah itu
lebih afdhal dua puluh tujuh tingkat dari pada shalat sendirian” ( HR Bukhari
dan Muslim)
2. Marfu Qauly Hukmi
Ialah hadits marfu yang tidak
tegas penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi, melainkan dengan perantaran
qarinah yang lain, bahwa apa yang disandarkan sahabat itu berasal dari sabda
nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan kalimat :
أمرنا
بكذا ……. نهينا عن كذا
“Aku
diperintah begini…., aku dicegah begitu……”
Contohnya :
أمر
بلال ان ينتفع الأذن و يوتر الإقامة ( متفق عليه )
“Bilal
r.a. diperintah menggenapknan adzan dan mengganjilkan iqamah” (HR Mutafaqqun
‘Alaih)
Pada contoh diatas hadits tersebut
dihukumkan marfu dan karenanya hadits yang demikian itu dapat dibuat hujjah.
Sebab pada hakikatnya si pemberi perintah iu tidak lain kecuali Nabi saw.
3. Marfu Fi’li Hakiki
Adalah apabila pemberitaan
sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan Rasulullah SAW.
Contohnya :
عن
عائشة رضى الله عنها انّ رسولالله صلّى الله عليه وسلّم كان يدعوا فى الصلاة,
ويقول: (اللّهمّ إنّى أعوذبك من المأثم و المغرم) (رواه البخارى)
“Warta dari ‘Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendo’a di
waktu sembahyang, ujarnya: Ya Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan
hutang” (HR Bukhari)
4. Marfu Fi’li Hukmi
Ialah perbuatan sahabat
yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau diwaktu Rasulullah masih hidup.
Apabila perbuatan sahabat itu tidak disertai penjelasan atau tidak dijumpai
suatu qarinah yang menunjukkan perbuatan itu dilaksanakan di zaman Rasulullah,
bukan dihukumkan hadits marfu melainkan dihukumkan hadits mauquf. Sebab
mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat tersebut diluar
pengetahuan Rasulullah SAW
Contohnya :
قال
جابر: كنّا نأكل لحوم الخيل على عهدى رسول الله (رواه النسائى
“Jabir
r.a. berkata : Konon kami makan daging Kuda diwaktu Rasulullah saw masih hidup”
(HR Nasai)
5. Marfu
Taqririyah Hakiki
Ialah tindakan sahabat
dihadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik reaksi itu positif
maupun negatif dari beliau.
Contohnya, Seperti pengakuan
Ibnu Abbas r.a:
كنّا
نصلّ ركعتين بعد غروب الشمس و كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يرانا ولم يأمرنا
ولم ينهنا
“Konon
kami bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah saw
mengetahui perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula
mencegah.”
6. Marfu
Taqririyah Hukmy
Ialah apabila pemberitaan
sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat sunnatu Abi Qasim, Sunnatu Nabiyyina
atau minas Sunnati.
Contohnya, perkataan Amru
Ibnu ‘Ash r.a kepada Ummul Walad:
لا
تلبسوا علين سنّة نبيّنا (رواه ابو داود)
“Jangan kau campur-adukkan
pada kami sunnah nabi kami.” (HR. Abu Dawud)
Pengertian kata Sunnah Abi
Qosim, sunnah Nabi kami dalam hadis seperti diatas, tidak lain adalah sunnah
Nabi Muhammad saw, akan tetapi kalau yang memberitakan dengan kalimat minas
sunnati dan yang sejenis dengan itu seorang tabi’in, maka hadits yang demikian
itu bukan disebut hadits marfu, tetapi disebut hadits mauquf.
Selain yang tersebut di atas,
terdapat beberapa ketentuan untuk menggolongkan hadits kepada hadits marfu.
Antara lain:[10]
1. Apabila dalam memberitakan itu, diikuti
dengan kata-kata seperti: Yarfa’ahu, Marfu’an, Riwayatan, Yarwihi, Yannihi,
Ya’tsuruhu/yablughu bihi.
Contohnya,
yaitu hadits al-A’raj:
عن
ابى هريرة رضى الله عنه يبلغ به: (الناس تبع لقريش) (متفق عليه)
Warta
dari Abu Hurairah r.a, yang ia rafa’kan kepada Nabi saw: manusia itu menjadi
pengikut orang Quraisy.” (HR. Mutafaq ‘alaih)
2. Tafsir sahabat yang berhubungan dengan
asbabun nuzul. Contoh interpretasi sahabat Jabir r.a tentang asbabun Nuzul
surat al-Baqarah : 223 – nisaukum hartsu lakum. Ia berkata :
“ Konon
orang Yahudi berkata : Barang siapa menyetubuhi isterinya dari belakang,
lahirlah anak yang dihasilkannya itu juling”.
3. Sesuatu yang bersumber dari sahabat yang
bukan semata-mata hasil pendapat ijtihad beliau sendiri.
Contohnya:
كان
ابن عمر و ابن عبّاس يفطران و يقصران اربعة برد
(رواه
البخاري)
“Konon
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a, sama-sama berbuka puasa dan mengejar shalat dalam
perjalanan sejauh empat barid (18.000 langkah).” (HR. Bukhari)
Adapun kehujjahan atau
ketentuan mengamalkan hadits marfu yang shahih dan hasan dapat dijadikan
hujjah, sedangkan hadits marfu yang dha’if boleh dijadikan hujjah hanya untuk
menerangkan fadha’ilil ‘amal.
III.
Hadits Mauquf
Menurut bahasa berasal dari
isim maf’ul الوقف
yang berarti rawi berhenti pada sahabat yang belum sampai pada akhir silsilah
sanadnya.[11] Sedangkan menurut istilah
Hadits
mauquf ialah: مَا نُسِبَ إِلَى الصَّحَابِي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ
تَقْرِي yaitu
segala sesuatu yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang
disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun
terputus.”
Contohnya:
يقول:
اذا أمسيت فلا تنتظرالصباح واذا أصنحت فلا تنتظرالمساء وخذ من صحّتك لمرضك ومن
حياتك لموتك (رواه البخاري)
“Konon Ibnu Umar r.a
berkata: Bila kau berada di waktu sore jangan menunggu datangnya pagi hari, dan
bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah
dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk
persediaan matimu.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas adalah hadits
mauquf, sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada
petunjuk kalau itu sabda Rasulullah saw, yang ia ucapkan setelah ia
menceritakan bahwa rasulullah memegang bahunya dengan bersabda:
كن
فى الدنيا كأنّك غريب او عابر سبيل
“Jadilah
kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan”
Hadits mauquf dapat disifati
hadits shahih atau hasan tetapi tidak ada kewajiban untuk menjalankannya,
tetapi boleh dijadikan sebagai penguat dalam beramal karena sahabat dalam hal
ini hanya berkata atau berbuat yang dibenarkan oleh rasulullah saw.
Jika disandarkan hadits
mauquf itu kepada orang yang bukan sahabat, hendaklah ditegaskan yakni harus
dikatakan, umpamanya, hadits ini mauquf kepada Ibnul Musayyab. Jelasnya,
apabila diithlaqkan mauquf, dan dimaksudkan perkataan atau perbuatan tabi’in,
hendaklah ditegaskan, dikatakan “mauquf pada mujahid”, umpamanya.
Apabila seorang sahabat
berfatwa atau mengerjakan sesuatu, maka ketika kita terangkan yang demikian itu
kepada orang lain, maka apa kita terangkan itu disebut hadits mauquf. Yakni
bicara yang demikian dari sahabat, atau perbuatan yang dinukilakn dari sahabat.
Hadita mauquf yang memiliki banyak qarinah dari sahabat-sahabat yang lain naik derajatnya
menjadi marfu.
Adapun mengenai hokum
mengamalkan hadis Mauquf itu sendiri, Para ulama berselisih pendapat tentang
menggunakan hadits mauquf sebagai hujjah. Menurut ulama Syafi’iyah dalam
al-jadid, jika perkataan sahabat itu tidak populer di masyarakat maka perkataan
itu bukanlah ijma dan tidak pula dijadikan hujjah.
Apapun tingkatan atau
martabatnya tidaklah diterima sebagai hujjah atau dalil bagi ajaran Islam,
sebab yang dapat diterima sebagai hujjah itu hanyalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi
saw, tetapi hadits yang disandarkan kepada sahabat. Pada prinsipnya hadits
mauquf itu tidak dapat dibuat hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan
(yang menjadikan) marfu.
IV.
Hadits Maqthu’
Dari segi bahasa, berarti
hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan:
ما
جاء عن تابعيّ من قوله او فعله موقوفاعليه سواءاتّصل سنده أملا
“Ialah
perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta dimauqufkan
padanya, baik sandanya bersambung maupun tidak.”
Contohnya ialah perkataan
Haram bin Jubair, seorang tabi’in besar, ujarnya:
المؤمن
اذا عرف ربّه عزّوجلّ أحبّه واذا أحبّه أقبل إليه
“Orang
mukmin itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya ia mencintainya
dan bila ia mencintainya Allah menerimanya.”
Contoh lain seperti perkataan
Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang mengatakan:
من
السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة وبعد الأضحى ستّ ركعات
“Termasuk
sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6
rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani
menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi
istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan
dengan munqathiitu dalam lapangan pembahasan sanad, yakni sanadnya tidak
muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan
matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para muhadditsin
mengatakan: “Ini hadits maqthu”, maka maksudnya: Hadits (khabar) yang
disandarkan kepada tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan, baik muttashil
maupun munqathi.”
Adapun hukum mengamalkan
hadis hadits maqthu yaitu tidak dapat dijadikan hujjah, mengenai hadits ini
para ulama berpendapat, bahwa hadits maqthu itu tidak dapat dijadikan hujjah.
Tetapi jika pendapat itu berkembang dalam masyarakat dan tidak diperoleh
bantahan dari seseorang, maka ada ulama yang menyamakannya dengan pendapat
sahabat yang berkembang dalam masyarakat yang tidak didapati bantahan dari
seseorang, yakni dipandang sebagai suatu ijma’.[12]
SKEMA
HADIS .
Ket.
(1). Hadis Marfu’ (2). Hadis Mauquf (3) Hadis Maqthu’
KESIMPULAN
1.
Hadis Qudsi ialah
sesuatu yang dikhabarkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dengan melalui
ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan ma’na dari ilham atau impian
tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri. Hadis qudsi berbeda halnya dengan
hadis Nabawi dan juga Al-Quran sesuai apa yang telah dipaparkan diatas
2.
Hadits
mauquf dapat berupa hadits shahih, hasan dan dha’if diihat dari bersambung atau
tidaknya sanad. Hadits mauquf termasuk hadits dha’if apabila terdapat qarinah
dari sahabat yang lain maka derajatnya menjadi shahih atau hasan.
3.
Adapun
yang disebut sebagai hadis maqthu ialah sesuatu yang disandarkan kepada para
Tabi’in yang berupa perkataan maupun perbuataan baik muttasil ataupun
munqhati’. Hukum mengamalkan hadis ini para ulama berpendapat bahwa tidak dapat
dijadikan hujjah. ada ula yang menyamakannya dengan pendapat sahabat yang
berkembang dalam masyarakat yang tidak didapati bantahan dari seseorang, yakni
dipandang sebagai suatu ijma
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj.
Pustaka al-Kautsar, Jakarta , 2009
Ash-Shiddiqy, Hasbi, M., Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits,
Bulan Bintang, Jakarta, 1954
Rahman, Fathur, Drs., Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
Al-Ma’arif, Bandung, 1987
مصطلح الحديث تيسير karya Mahmud Thohan
[1] Pemakalah adalah Mahasiswa aktif
jurusan Hukum Islam (syari’ah) pada Fakultas Ilmu Agama Islam di
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan fakultas Ekonomi. Jurusan akutansi
[3] Musthalahul hadis karya Fatchur Rahman, Hlm, 50.
[4] http://hanny.blogdetik.com/2010/03/19/hadits-qudsi-dan-hadits-nabawi/,
diakses pukul 01.35 pm. Pada tanggal 22 April 2011
[5] Lihat : Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan dari judul asli mabahist
fi uluumil qur’an. Karya: Syaikh Manna Al-Qaththan, Hlm. 27-28
[6] Contoh kasus adalah peristiwa tawanan perang Badr. Pasalnya Rasul
mengambil pandangan Abu Bakar untuk menerima tebusan mereka, lalu turunlah
wahyu, “ tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan perang..”, sebagai
kritik terhadapnya.
[7] Butir-butir diatas poin a sampai d dapat ditemukan dalam kitab
mustahul hadis karya facthur Rahman, Hlm, 51-52.
[8] Lihat : Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terjemahan dari judul asli mabahist
fi uluumil qur’an. Karya: Syaikh Manna Al-Qaththan, Hlm. 26.
[9] Lihat : Musthalahul hadis karya Fatchur Rahman, Hlm, 135-138
[10] Ibid,.
[12] Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:
Bulan Bintang). Hlm . 196
0 komentar:
Posting Komentar