Seperti
biasa, pondok pesantren UII tempat sekarang ku menimba ilmu, menempa akhlak,
mengukir prestasi mengadakan pembacaan surah Yasin dan sharing. Menarik sharing
malam itu. Dari beberapa santri yang maju termasuk kala itu aku pun maju, ada
santri yang cukup menarik perhatian seluruh santri sehingga semuanya dibuat
takjub, tidak memindahkan chanel matanya untuk melihat ke lainnya melainkan
khusus tertuju pada santri tersebut.
Sebut
saja namanya (Abdullah), ia berbagi kisah hidupnya sejak pertama kali ia
menginjakan kaki untuk belajar di kota jogja khususnya masuk pondok pesantren Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan sehingga
ia harus bekerja keras, memutar otak untuk mendapatkan biaya untuk kehidupannya
sehari-hari.
Kultur pesantren yang kental akan budaya tulis menulis membuatnya ingin untuk berpartisipasi di dalamya. Ia terus memantik diri untuk dapat menulis dengan baik. Prosesnya cukup panjang. Tentunya untuk menulis membutuhkan sarana-prasana. Namun, itu semua semua belum ia miliki. Tanpa putus semangat ia berusaha dan berusaha, meminjam kepada teman yang alhamdulillah telah dahulu mempunyainya.
Keadaan yang terus memaksanya hingga akhirnya
ia pun sedikit demi sedikit mempunyai kepekaan untuk menulis, baik itu buletin,
jurnal, maupun penelitian-penelitian. Ia berkata “kalau aku ndak nulis, aku
ndak makan”. Semboyan inilah yang terus memantiknya untuk tidak putus asa. Kegigihannya
sungguh patut diacungi jempol. Aku pun banyak belajar kepadanya, cara dalam
memaknai hidup ini.
Singkat
cerita, kala ia pulang dari kampus dengan sepedanya, ia melihat seorang
pengemis yang compang-camping, tidak karuan, dekil, dan atribut-atribut
lainnya. Ia merasa iba dibuatnya. Tangannya pun masuk ke dalam kantong
celananya. Muncul uang betuliskan 5000. Seribu langkah ia mencari sebuah warung
untuk membelikannya sebungkus nasi dan minum. Itu semua diberikan kepada
pengemis itu meskipun ia pun belum makan. Ia rela menahan tidak makan hari itu
demi dapat membahagiakan orang lain, membantu orang lain, membuat tersenyum
orang yang melihatnya.
Ternyata
apa yang lakukan itu membuatnya “berbeda”. “Life change” katanya di depan
santri yang serius mendengarkan. Ia merasakan apa yang diinginkan “terwujud”. Prinsip
hidupnya untuk berbagi dengan sesama terus ia jaga. Ia pun tak lupa akan hal
itu. Setiap kali memengi suatu even tertentu, mendapatkan reward tertentu pasti
kemudian ia berbagi kepada sesama. Ia memilih kala mendapatkan hadiah dan
semisalnya untuk datang ke panti asuhan, memberikan setengah atau bahkan lebih
apa yang ia dapatkan meskipun tetap ia dalam keadaan “kekurangan”.
Memang
Allah SWT memerintahkan kita untuk bersedakah dalam keadaan apa pun baik lapang
maupun sempit. Karena sifat demikian merupakan salah satu tanda atau ciri dari
orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imron [3] : 134). Dalam pepatah arab dikatakan
bahwa man manna min munni munna (barang siapa memberi maka akan diberi).
Jika kita membiasakan diri untuk berbagi kepada sesama atas dasar mengharap
Ridha-nya karena itulah yang diperintahkannya maka Allah-lah yang akan
membalasnya tentunya dengan cara-caraNya.
Bila
melihat matematika sedekah sebagaimana yang “gencar” didakwahkan oleh ustadz Yusuf
Mansur bahwa jika kita mensedekahkan satu maka Allah akan 700. Sungguh tidak
tanggung-tanggung, itu semuanya tentu tidak apa-apanya bagi Allah. Jika Allah mengatakan
kun maka jadilah. Tentu, bukan itu yang kita harapkan, lebih dari itu,
terlalu sepele jika apa yang kita terus meng-kalkulasi pundi-pundi pahala itu, yang
kita harapkan adalah keridhaanNya semata. []
*) Yogyakarta, 13 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar