Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
(Q.S. Al-Hajj [22] : 37)
Saat ini kita telah berada di penghujung Bulan
Dzulqa’dah dan bersiap memasuki Bulan Dzulhijjah. Kiranya perlu kita ketahui
bersama terkait bulan yang memberikan banyak pelajaran bagi kaum muslim dalam
rangka menjalani hidup dan kehidupan. Bulan dzulhijjah merupakan bulan yang
istimewa. Kiranya tidak berlebihan bila gelar ‘istimewa’ tersebut disematkan
kepada bulan terakhir dari kalender hijriah tersebut. Keistimewaan itu diantaranya
ritual Ibadah haji yang merupakan ibadah pelengkap atas rukun Islam
dilaksanakan di dalamnya.
Ibadah haji merupakan ibadah yang
mulia di sisi Allah swt dan puncak dari pengalaman rohani seorang muslim. Kepasrahan
seorang muslim untuk meninggalkan segala bentuk aktivitas yang biasa ia
laksanakan dan keluarga yang disayangi demi memenuhi rukun terakhir ini
merupakan cermin sebuah pengorbanan. sehingga wajarlah bagi orang yang
melaksanakan ibadah haji dengan kerelaan demi suatu pencapai spritual yang
lebih tinggi diganjar dengan ganjaran yang mulia di sisi-Nya. Rasulullah saw
bersabda “Hendaklah kalian iringi
pelaksanaan haji dengan ‘umrah, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan
dosa, sebagaimana penghembus api melenyapkan kotoran pada besi, emas dan perak.
Dan Haji Mabrûr, tiada ganjaran selain surga” (H.R. Ahmad, Abû Dâwûd dan At-Tirmidzi).
Berdasarkan
hadis tersebut, dapat difahami bahwa faedah haji itu sendiri mempunyai kadungan
dua aspek yaitu aspek duniawi dan aspek akhirat. Dari aspek akherat ibadah haji
membebaskan diri dari penghambaan kepada arbâb (para tuhan) selain-Nya
sehingga hubungan trasendetal seorang hamba dan sang Khaliq akan selalu
berjalan secara harmonis. Sedangkan aspek duniawi, ibadah haji mendorong seseorang
untuk giat dalam bekerja, tidak hanya berpangku tangan. Bagaimana tidak, salah
satu syarat seseorang dapat melaksanakan ibadah haji adalah mampu (Istitho’ah).
Memang benar, rezki sudah ditentukan oleh Allah swt, tetapi apabila rezki itu
tidak dijemput maka rezki itu akan tetap di tangan-Nya. Sama halnya dengan
jodoh, jika tidak diusahakan maka jodoh akan tetap di tangan-Nya.
Maka, jelas bahwa ibadah haji memberikan
stimulus bagi seorang muslim untuk progresif dalam memandang hidup. Bagaimana
kerja keras siti hajar untuk mendapatkan air di tengah kegersangan padang
pasir. Berlarian kesana-kemari tak ia dapatkan setetes air pun melaikan
fatamorgana. Namun, keteguhan tanpa pantang menyerah ia berkorban demi seorang
anak yang ia cintai. Barulah setelah bermandian peluh membasahi raga, Allah swt
memberikan jalan keluarnya atas permasalahan yang ia hadapi dengan munculnya
sumber air yang dikenal zamzam. Bermula dari zamzam-lah yang mengubah daerah yang
semula gersang menjadi daerah yang mulai berangsur-angsur dikunjungi untuk
mencari sumber kehidupan tersebut.
Mencoba menjemput ‘bola’ lebih baik
daripada hanya menanti kedatangannya. Begitu juga dengan kisah Siti Maryam yang
sedang mengalami kelaparan dan kesakitan pasca melahirkan Nabi Isa a.s. Raut
kesedihan, kesengsaraan, kesakitan bercampur menjadi satu yang diisyarakat
lewat wajahnya. Ia yakin bahwa Allah swt memperhatikan, meyayangi dan
menginginkan yang terbaik baginya. Hatta, wahyu datang untuk menggoyangkan
pohon kurma supaya buah kurma yang masak berjatuhan sehingga rasa lapar dan
dahaga pun sirna. (Q.S. Maryam [19] : 22-26). Bukanlah hal yang sulit bagi Allah untuk
langsung memberikan kepadanya makanan, tetapi Allah menghendaki agar Siti
Maryam untuk berusaha mendapatkan makanan dari geraknya sendiri. Betapa Allah
menginginkan hambaNya menggunakan fasilitas anggota badannya yang super canggih
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Kurban Sebagai
Bentuk Pengorbanan
Peristiwa penting yang juga terjadi pada bulan
dzulhijjah adalah wahyu nabiyullâh Ibrahím untuk menyembelih putranya Ismail. Bukanlah
hal yang mudah bagi Nabi Ibrahim untuk melakukan hal itu, dikarenakan putra
yang telah lama dinanti-nanti tetapi diwahyukan untuk menyembelihnya. Kebimbangan
terus melanda hati Ibrahim hingga ia memantapkan hatinya untuk melaksanakan apa
yang telah diwahyukan kepadanya. Hal ini dikarenakan mimpi orang yang shalih
adalah benar. Maka, tak ada kata untuk menentang perintah-Nya.
Kurban secara harfiyâh (etimologis)
berakar dari kata qarraba-yuqarribu-taqarruban yang berarti mendekatkan. Sedangkan secara
maknawiyâh (terminologis), Ibadah kurban merupakan ibadah yang bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt (taqarrûb) dengan memvisualisasikan
hewan untuk disembelih. Namun, bukan berarti Allah swt membutuhkan hewan-hewan
yang disembelih. Berbeda tradisi-tradisi lainnya yang menyembelih sebagai
sesajian untuk para sesembahahan. Secara tegas bahwa Allah swt tidak
membutuhkan akan hal tersebut.
Sebagaimana ayat yang tertulis di muka. Redaksi
awal ayat dimulai dengan munggunakan kata ‘lan’ yang dalam kajian bahasa
arab berarti sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Sehingga sekali lagi bahwa
Allah swt tidak membutuhkan hewan sesembelihan tersebut. Pada hakikatnya,
manusia menyembelih kurban dalam rangka melaksanakan ibadah dan untuk
menunjukan kepatuhan terhadap perintah Allah swt. dan kurban merupakan bukti
ketakwaan manusia kepada-Nya. Ketakwaan merupakan substansi yang dimiliki
seorang muslim sebagai bekal kala menghadapi Allah swt, karena sejatinya bekal
takwa-lah sebaik-baiknya bekal. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 197).
Pengorbanan yang dilakukan seseorang tidaklah
diiringi dengan rasa untuk mengharap mendapatkan imbalan. Pengorbanan yang dilakukan
dengan rasa ikhlas dan cinta akan menjadikan apa yang dilaksanakan menjadi
mudah dan ringan. Seorang yang sedang jatuh cinta kepada lawan jenis akan rela
mengorbankan apa yang diminta dengan rasa rela. Begitu kiranya seorang yang
memiliki rasa cinta yang agung kepada Allah akan secara sukarela melaksanakan
apa yang diperintahkan terhadapnya.
Jangan
Setengah-setengah
Dalam sebuah pengorbanan, tentunya
hendaknya dilakukan dengan totalitas sehingga membuahkan hasil yang memuaskan. Sebaliknya
sesuatu yang diupayakan dengan setengah-setengah akan menghasilkan yang biasa
saja. Begitu pula halnya dengan beribadah kepada-Nya. Keyakinan yang penuh
bahwa hanya Ia-lah Tuhan yang wajib disembah, bukan keyakinan yang berada di
persimpangan jalan. Kala menerima nikmat bertambahlah keyakinan kepada-Nya, namun
kala mendapat bencana ia tidak menyakiniNya. Golongan demikianlah yang dikategorikan
sebagai orang yang rugi dunia dan akherat. (Q.S. Al-Hajj [22] : 11).
Betapa gigihnya pengorbanan Nabi Nuh yang
berdakwah selama 950 tahun melainkan hanya mendapatkan 80 pengikut saja. Tak
kurang waktu dan tenaga yang ia kerahkan bermandikan peluh untuk mengajak
manusia menyembah Allah swt. Nabi Musa yang harus berhadapan dengan penguasa
bengis, Fir’aun. Serta Rasulullah saw, yang rela menahan hinaan, cercaan,
lemparan batu demi menyampaikan risalah kebenaran. Betapa sakitnya manakala
dakwah sampai kampung thaif, sampai para malaikat berebut untuk membalaskan
perilaku kaum thaif terhadap Rasulullah saw, namun sebagai seorang memiliki keagungan
akhlak, hal tersebut ditolak. Bagaimana jadinya jika para Rasul
setemgah-setengah dalam berdakwah, tentu kita mungkin tidak dapat merasakan
manisnya Islam.
Ikhtitâm
Musuh terbesar bagi diri kita bukanlah orang
lain dengan jumlah berapa pun, melainkan musuh itu adalah diri kita sendiri.
Tinggal seberapa besar usaha seseorang untuk dapat mengalahkannya. Begitu pun
penghambat terbesar dalam melakukan pengorbanan terhadap sesuatu. Al-Quran
mendorong kaum muslim khususnya untuk progresif dalam menjalani kehidupannya. Islam
mendorong untuk bekerja dan amat membenci kemiskinan karenanya-lah sumber
permasalahan umat. Kebodohan dan ketertinggalan disebabkan oleh karena
kemiskinan. Sehingga benar jika kefakiran dapat menjadikan seseorang menjadi
kafir.
Rasanya
tidak ada rumusnya jika keberhasilan, kenikmatan dan kebahagian akan terwujud
tanpa adanya suatu pengorbanan dan perjuangan. Oleh karenanya, marilah bersama
kita mulai pengorbanan dan perjuangan dalam mencapai sebuah keberhasilan di
masa mendatang. AA Gym memberikan tips dalam hal memulai sesuatu yaitu mulai
dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari sekarang. Semoga
Allah swt senantiasa memudahkan jalan kita dalam meniti sebuah hidup di masa
depan yang lebih baik, lebih bermakna dan tentunya lebih bermanfaat bagi
pribadi dan terpenting bagi orang lain. Wāllâhu’alam bishawwâb. [n]
Iqbal Zen
Mahasiswa Hukum Islam
Santri PonPes UII
*) Diterbitkan Oleh Buletin "Al-Rasikh" Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar