Oleh : Iqbal Zen
Beberapa hari yang lalu, aku beserta rekan-rekan mengikuti sebuah diskusi
yang menurutku merupakan sesuatu yang terus menarik meskipun telah berkali-kali
dibahas, diseminarkan dan lain sebagainya. Tema diskusi tersebut adalah
”Hubungan antara Negara dan Agama dalam Negara Pancasila Era Reformasi. Diskusi
tersebut diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia
dengan mengundang pembicara yang tentunya memahami akan konsep tersebut sesuai
dengan background ia berangkat.
Menarik diskusi pagi sampai siang itu, tetapi tetap diskusi tersebut
tidaklah mampu menyatukan satu suara. Satu pihak mentah-mentah menolak pancasila,
pihak yang lain menerimanya dan sejatinya pancasila pun harus multi
interpretasi. Terlepas dari itu, yang ingin saya sampaikan bahwa ‘khilafiyah’
adalah suatu yang tidak dapat dipungkiri. Memungkiri adanya perbedaan adalah sama
dengan menentang apa yang digariskan olehNya.
Dalam suatu doa, Rasullah SAW pernah meminta agar umatnya dijadikan menjadi
umat yang satu yang tidak saling bertentangan. Tetapi, doa tersebut tidaklah dikabulkan oleh
Allah. Adanya khilafiah merupakan suatu keluasan dan kemudahan bagi
manusia dalam rangka memilih yang sesuai dengan dirinya bukan berarti perbedaan
dan perselisihan yang harus diperangi. Tentu, sikap yang diambil jangan sampai
menyinggung orang yang berseberangan jalan.
Ketidakbisaan seseorang dalam menghargai pemikiran orang lain, pendapat
orang lain adalah merupakan sikap seseorang yang masih belum dewasa dalam
memahami agama. Semakin tinggi ilmu seseorang bukan semakin galak, semakin garang
di hadapan manusia, tetapi seharusnya ia semakin bisa bertoleran kepada sesama.
Islam mengatur hal-hal yang prinsipil gunanya adalah untuk manusia
bermusyawarah. Musyawarah dalam perbedaan sehingga memunculkan jalan untuk
saling mengerti pendapat orang lain.
Ada sebuah adagium yang patut dipegang teguh oleh setiap kita
“Mazhab kami benar, (tetapi masih mungkin) mengandung kekeliruan
Dan mazhab selain kami keliru, (tetapi) mengandung kebenaran”
(Ibnu Hajar Al-Haytami)
Semoga kita memahami perbedaan di antara kita. dan terakhir penulis
teringat pesan KH. Malik Madani, “jadilah orang Islam yang biasa-biasa saja”
artinya tidak usah petantang-petenteng dan menganggap diri merasa paling benar.[]
Waallahu’alam.
Kantor Arabic English Comunity (AEC) FIAI UII. 30/1/2013.
Kantor Arabic English Comunity (AEC) FIAI UII. 30/1/2013.
0 komentar:
Posting Komentar