skip to main | skip to sidebar

Media Iqbal Zen

Teruslah Berpuasa hingga Tuhanmu Menyuruhmu Berbuka

Pages

  • Beranda
  • Google Scholar
  • Arsip

Rabu, 13 Februari 2013

ISLAM, PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME*

Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen[1]


I.     PENDAHULUAN
Latar Belakang 
Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan. Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi. Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak akan tampak betapa perlunya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada pada agama, budaya, pemikiran lain untuk kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat berguna.

Persoalan nilai pluralisme dan multikulturalisme merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama di dunia sekarang ini, mengingat setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan keagamaan dan kebudayaan yang plural. Pada saat yang sama, para pemeluk agama-agama telah membentuk wawasan keagamaan mereka yang eksklusif dan bertentangan dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Berbagai gerakan sering muncul dan sering menjadi sebab timbulnya wawasan dan perkembangan keagamaan baru. Dalam sejarah agama disebutkan bahwa pembaharu Budha muncul di tengah-tengah pandangan plural dari kaum Brahmais, Jaina, matrealistis, dan agnostis. Muhammad juga muncul di tengah-tengah masyarakat Mekah yang beragama terdiri dari komunitas Yahudi, Kristiani, Zoroaster, dan lainnya. Ibrahim dan Musa muncul dari lingkungan masyarakat yang menyembah berbagai macam dewa lokal. Munculnya piagam Madina misalnya, merupakan alat yang menjembatani betapa pluralnya masyarakat pada saat itu. Ini adalah salah satu bentuk sikap Islam terhadap munculnya multikulturalisme di tengah-tengah peradaban masyarakat.[2]

II.      PEMBAHASAN
a.        Pengertian Pluralisme dan Multikulturalisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Pluralisme” mengandung pengertian keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).[3] Dalam Islam yang dimaksud “Pluralisme” adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.[4] Sedangkan “Multikulturalisme”  mengandung pengertian keadaan dari sebuah masyarakat yang ditandai dengan menggunakan lebih dari satu kebiasaan.[5] Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.

b.       Hakikat Pluralisme dan Multikulturalisme
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan  Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Pluralisme adalah kenyataan yang menjadi kehendak Tuhan. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran. (Q.S. 49 ayat 13)

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Tetapi yang paling penting adalah bagaimana umat Islam mengembangkan dimensi pluralitas itu sehingga menerima pluralisme yakni sisem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerima sebagai keyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan tersebut. [6]

Kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi.[7] Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. 

Multikulturalisme sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan  nilai keragaman pada tatanan masyarakat plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia pendidikan yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually exclusive), bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda. Multikulturalisme sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan nilai keragaman pada tatanan masyarakat plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia pendidikan yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually exclusive), bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda.[8]
 
c.    Pandangan Islam Terhadap Pluralisme dan Multikulturalisme
Islam sebagai suatu ajaran tentang kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak dapat diperdebatkan lagi di kalangan kaum muslim. Akan tetapi, bagaimana Islam difahami dan diterapkan oleh pemeluknya dalam kehidupan, dalam kontek inilah, terletak persoalan yang sebenarnya. Karena Islam sebagai ajaran itu satu (tunggal) tetapi polyinterpretable (pemahaman terhadap Islam itu beragam).[9]

Sampai batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.  Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.[10]

Secara ideal tidak ada masalah dalam ketentuan normatif agama, semua berujung pada kebaikan universal , baik dalam relasi vertikal antara manusia dengan Allah (hablun min-Allah), maupun dalam relasi horizontal sesama manusia (hablun min-annas), baik di dunia maupun di akherat kelak. Namun secara faktual, tidak jarang, agama justru menjadi dalih untuk memicu konflik, atau minimal menjadi sumber pembenaran atas berlangsungnya sengketa berdarah. Sampai-sampai sebagian sosiolog berpendapat, bahwa agama disamping berfungsi sebagai pemersatu, juga pemecah belah, seperti misalnya faktor fanatisme agama yang menjadi pemicu terjadinya perang salib (yang banyak merugikan dua belah pihak).[11]

Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik, melainkan bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya. yang diakui sebagai milik bersama. Kekalahan dalam perang nilai dapat melahirkan penyakit schizophrenia, kepribadian ganda, atau bahkan kehilangan jati diri sama sekali pada kalangan generasi muda.[12]

Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A Sirry minimal diperlukan dua hal yaitu : Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.[13]

Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.[14]

Karakteristik ajaran yang multiinterpretasi mengisyaratkan keharusan pluralitas dalam tradisi Islam. karena itu, sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak dapat dan tidak seharusnya dilihat dan dipahami secara monolitik. Hal ini mengindikasikan Islam yang empirik dan aktual karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial, ekonomi dan politik akan berarti lain lagi bagi orang Islam lainnya.[15]  

Oleh karena realiata kemajemukan merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, maka sejatinya seorang muslim harus bersikap toleran, terbuka, dan dinamis. Berbagai konflik yang bersumber dari ‘perbedaan-perbedaan’ sering terjadi. Kata kunci untuk memecahkan persoalan kekerasan kemudian adalah "pluralisme", keragaman realitas. Pluralisme ingin memperkenalkan kepada manusia akan adanya keanekaragaman, kegandaan atau dualitas budaya, pikiran, ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin sosial, geografis dan sebagainya. Pluralisme sesungguhnya adalah fakta dan realitas kehidupan manusia yang tak bisa ditolak. Tuhanlah yang menciptakan keragaman tersebut. (Q.S. al-Rum, 22). Akan tetapi keanekaragaman seharusnya tidak hanya dilihat sebagai fakta atau realitas kultural semata-mata. la juga seharusnya tidak diberi label-label atau klasifikasi-klasifikasi yang dihadap-hadapkan secara dikotomis : kuat-lemah atau atas-bawah, kanan-kiri, positif-negatif, laki-laki-perempuan, dan dilanggengkan. Pluralisme seharusnya diberi makna sebagai proses saling melengkapi untuk menjadi "manunggal".[16]

Sejauh yang dapat dibaca dalam sejarah peradaban Islam, upaya ke arah membangun toleransi dan membiarkan keberagaman realitas telah banyak dilakukan oleh sejumlah orang. Mereka berusaha rnendorong orang untuk "memikirkan". Mereka lalu bekerja memadukan antara pemaknaan tekstualis dan substansialis, antara naql dan aql, antara syari'ah dan hikmah dan antara yang lahir dan yang batin. Satu di antaranya adalah Ibnu Rusyd al Hafid melalui bukunya yang terkenal : "Fashl Maqal fi Maa Baina al Syari'ah wa al Hikmah min al Ittishal". Ibnu Rusyd melalui buku ini mencoba mencari jalan keluar bagi kemelut perebutan makna di atas. Dia terlebih dahulu menegaskan tidak adanya perbedaan kaum muslimin dalam hal bahwa agama Islam adalah ilahiyah, dan bahwa agama atau Tuhan menginginkan kehidupan manusia yang baik dan bahagia, seperti manusia menginginkannya. Menurutnya naql dan aql atau agama dan filsafat bukanlah dua hal yang berhadapan secara dikotomis. Ia mengatakan: "al haqqu la yudhad al haqq bal yuwafiquh wa yusyhadu lahu", kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran tetapi saling merestui dan mendukung.[17]

III.        PENUTUP
Islam adalah agama terbuka, tidak menutup diri, dan memberikan  kebebasan berpikir bagi penganutnya, dan ajarannya mengajak penganutnya untuk senantiasa berinteraksi antar sesama manusia tanpa membedakan antara satu dengan yang lain serta menghimbau untuk senantiasa berdialog mencari kebenaran yang hakiki dengan pihak lain dan dilakukan secara baik-baik. Masyarakat yang majemuk (plural) dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama akan menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural. Sikap-sikap tersebut antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.

DAFTAR BACAAN
Daniel L. Pals. 2012. Seven Theories of Religion. Yogyakarta : IRCiSoD.
Husein Muhammad. Pluralisme dan Multikulturalisme Sebagai Masalah Pergulatan Tafsir Dalam Islam*  dapat diakses melalui http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=40/hl=id/Pluralisme_Dan_Multikulturalisme_Sebagai_Masalah_Pergulatan_Tafsir_Dalam_Islam
Ja’far Nashir. Respon Islam Terhadap Multikulturalisme. Diakses melalui situs http://nashir6768.multiply.com/journal/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi aplikasi.
Rubiyad, Adib. Dkk. 2009. Islam dan Pluralisme. Cirebon : Sekolah Tinggi Islam Negeri.
Yahya, Muhammad. Pendidikan Islam Pluralis dan Multikultural. (Makassar : Jurnal Lentera Pendidikan, Vol 13 No. 2 Desember 2010.
Yusdani. 2011. Fiqih Poitik Muslim. Yogyakarta : Amara Books.


* Disampaikan pada mata kuliah Politik dalam Islam, Pondok Pesantren UII pada 19 Desember 2012.
[1] Pemakalah merupakan santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
[2] Ja’far Nashir. Respon Islam Terhadap Multikulturalisme. Diakses melalui situs http://nashir6768.multiply.com/journal/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem,
[3]Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi aplikasi.
[4] Ja’far Nashir..Ibid.
[5] Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi aplikasi.
[6] Adib Rubiyad. Dkk. Islam dan Pluralisme. (Cirebon : Sekolah Tinggi Islam Negeri, 2009) hlm. 3
[7] Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012). Hlm. 341.
[8] Muhammad Yahya. Pendidikan Islam Pluralis dan Multikultural. (Makassar : Jurnal Lentera Pendidikan, Vol 13 No. 2 Desember 2010. Hlm. 2.
[9] Yusdani. Fiqih Poitik Muslim. (Yogyakarta : Amara Books, 2011). Hlm. 276.
[10] Ja’far Nashir.. Ibid.
[11] Muhammad Yahya.. Hlm. 3.
[12] Ibid. Hlm. 3-4.
[13] Ja’far Nashir.. Ibid.
[14] Ja’far Nashir.. Ibid.
[15] Yusdani. .hlm.277-278.

[16] Husein Muhammad. Pluralisme dan Multikulturalisme Sebagai Masalah Pergulatan Tafsir Dalam Islam*. dapat diakses melalui http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=40/hl=id/Pluralisme_Dan_Multikulturalisme_Sebagai_Masalah_Pergulatan_Tafsir_Dalam_Islam

[17] Ibid.
Diposting oleh Unknown di 07.58 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Label: Makalah

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Mengenai Saya

Foto saya
Iqbal Zen
Muhammad Iqbal Juliansyahzen. Mengabdi sebagai seorang dosen tetap (PNS) di IAIN Purwokerto. Senang sekali bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Menulis sebagai ikhtiar merawat akal (hifz al-'aql). Selamat membaca
Lihat profil lengkapku

Menu kami

  • Akhlak (6)
  • Anekdot (10)
  • Doa (3)
  • Ekonomi (1)
  • Falak (3)
  • Hadis (1)
  • Kajian Fiqih (17)
  • Kajian Keislaman (8)
  • Kisah (3)
  • Lyrics (3)
  • Makalah (10)
  • Motivasi (9)
  • Muhasabah (38)
  • Mukjizat al-Qur'an (1)
  • Peradilan (1)
  • Psikologi Keagamaan (16)
  • Sosial Humaniora (5)
  • Student Exchange (16)
  • Studi Islam (2)
  • Ulasan (2)
Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Tulisan

  • ►  2020 (8)
    • ►  September (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2017 (9)
    • ►  Agustus (7)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (7)
    • ►  September (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (4)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2014 (6)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2013 (42)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (16)
    • ▼  Februari (4)
      • ISLAM, PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME*
      • Kenapa ada larangan ??
      • ‘KECIL-KECIL PUNYA KARYA’
      • MEMBUNUH ‘TUHAN-TUHAN’ BARU
    • ►  Januari (5)
  • ►  2012 (44)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (2)
    • ►  Juni (16)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2011 (28)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (10)
    • ►  Januari (6)

Pengikut

 
Copyright (c) 2010 Media Iqbal Zen. Designed for Video Games
Download Christmas photos, Public Liability Insurance, Premium Themes