I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beda
pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa
al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan
fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari
sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan. Perbedaan yang ada,
di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan
adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan
yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian
pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun
di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing
sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak
jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak
heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat
dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak
akan tampak betapa perlunya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada
pada agama, budaya, pemikiran lain untuk kemudian menjadikannya sebagai
pengetahuan yang sangat berguna.
Persoalan nilai pluralisme dan multikulturalisme merupakan
tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama di dunia sekarang ini, mengingat
setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan keagamaan dan kebudayaan yang
plural. Pada saat yang sama, para pemeluk agama-agama telah membentuk wawasan
keagamaan mereka yang eksklusif dan bertentangan dengan semangat pluralisme dan
multikulturalisme. Berbagai gerakan sering muncul dan sering menjadi sebab
timbulnya wawasan dan perkembangan keagamaan baru. Dalam sejarah agama
disebutkan bahwa pembaharu Budha muncul di tengah-tengah pandangan plural dari kaum
Brahmais, Jaina, matrealistis, dan agnostis. Muhammad juga muncul di
tengah-tengah masyarakat Mekah yang beragama terdiri dari komunitas Yahudi,
Kristiani, Zoroaster, dan lainnya. Ibrahim dan Musa muncul dari lingkungan
masyarakat yang menyembah berbagai macam dewa lokal. Munculnya piagam Madina
misalnya, merupakan alat yang menjembatani betapa pluralnya masyarakat pada
saat itu. Ini adalah salah satu bentuk sikap Islam terhadap munculnya
multikulturalisme di tengah-tengah peradaban masyarakat.[2]
II.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Pluralisme dan Multikulturalisme
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Pluralisme” mengandung pengertian keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan
politiknya).[3] Dalam Islam yang dimaksud “Pluralisme” adalah paham
kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan
sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.[4] Sedangkan
“Multikulturalisme” mengandung
pengertian keadaan dari sebuah masyarakat yang ditandai dengan menggunakan
lebih dari satu kebiasaan.[5] Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya
kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan
bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
b.
Hakikat Pluralisme dan Multikulturalisme
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam
berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia
yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan
kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang
bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan
antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan
merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan
multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi
Indonesia.
Pluralisme
adalah kenyataan yang menjadi kehendak Tuhan. Sebagaimana dinyatakan dalam
al-Quran. (Q.S. 49 ayat 13)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Tetapi
yang paling penting adalah bagaimana umat Islam mengembangkan dimensi
pluralitas itu sehingga menerima pluralisme yakni sisem nilai yang memandang
secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerima
sebagai keyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan tersebut. [6]
Kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Dalam konteks tersebut,
memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan
momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan
tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam
multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal
(global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford
Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi.[7] Islam
multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai,
harmonis dan toleran.
Multikulturalisme
sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan nilai keragaman pada tatanan masyarakat
plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia pendidikan
yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually exclusive),
bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda. Multikulturalisme
sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan nilai keragaman pada tatanan
masyarakat plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia
pendidikan yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually
exclusive), bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda.[8]
c.
Pandangan
Islam Terhadap Pluralisme dan Multikulturalisme
Islam
sebagai suatu ajaran tentang kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang
tidak dapat diperdebatkan lagi di kalangan kaum muslim. Akan tetapi, bagaimana
Islam difahami dan diterapkan oleh pemeluknya dalam kehidupan, dalam kontek
inilah, terletak persoalan yang sebenarnya. Karena Islam sebagai ajaran itu
satu (tunggal) tetapi polyinterpretable (pemahaman terhadap Islam itu
beragam).[9]
Sampai batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan
multikulturalisme memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami
sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat
agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian
kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda
dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir
seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.
Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk
mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap
bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan
budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya
dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak
memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.[10]
Secara ideal
tidak ada masalah dalam ketentuan normatif agama, semua berujung pada kebaikan
universal , baik dalam relasi vertikal antara manusia dengan Allah (hablun
min-Allah), maupun dalam relasi horizontal sesama manusia (hablun min-annas),
baik di dunia maupun di akherat kelak. Namun secara faktual, tidak jarang,
agama justru menjadi dalih untuk memicu konflik, atau minimal menjadi sumber
pembenaran atas berlangsungnya sengketa berdarah. Sampai-sampai sebagian
sosiolog berpendapat, bahwa agama disamping berfungsi sebagai pemersatu, juga
pemecah belah, seperti misalnya faktor fanatisme agama yang menjadi pemicu
terjadinya perang salib (yang banyak merugikan dua belah pihak).[11]
Karena itu,
dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang
terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi
agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik,
melainkan bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran
(melting pot) budaya. yang diakui sebagai milik bersama. Kekalahan dalam perang
nilai dapat melahirkan penyakit schizophrenia, kepribadian ganda, atau bahkan
kehilangan jati diri sama sekali pada kalangan generasi muda.[12]
Dalam upaya membangun hubungan sinergi
antara multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A Sirry minimal diperlukan
dua hal yaitu : Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan
ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan
opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama
bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga
memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam
masyarakat-masyarakat beragama.[13]
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan
modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka
harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan
pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari
ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan
gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum
Muslim pada zaman modern ini.[14]
Karakteristik
ajaran yang multiinterpretasi mengisyaratkan keharusan pluralitas dalam tradisi
Islam. karena itu, sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak
dapat dan tidak seharusnya dilihat dan dipahami secara monolitik. Hal ini
mengindikasikan Islam yang empirik dan aktual karena berbagai perbedaan dalam
konteks sosial, ekonomi dan politik akan berarti lain lagi bagi orang Islam
lainnya.[15]
Oleh karena
realiata kemajemukan merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, maka
sejatinya seorang muslim harus bersikap toleran, terbuka, dan dinamis. Berbagai
konflik yang bersumber dari ‘perbedaan-perbedaan’ sering terjadi. Kata
kunci untuk memecahkan persoalan kekerasan kemudian adalah
"pluralisme", keragaman realitas. Pluralisme ingin memperkenalkan
kepada manusia akan adanya keanekaragaman, kegandaan atau dualitas budaya,
pikiran, ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin sosial, geografis dan
sebagainya. Pluralisme sesungguhnya adalah fakta dan realitas kehidupan manusia
yang tak bisa ditolak. Tuhanlah yang menciptakan keragaman tersebut. (Q.S.
al-Rum, 22). Akan tetapi keanekaragaman seharusnya tidak hanya dilihat sebagai
fakta atau realitas kultural semata-mata. la juga seharusnya tidak diberi
label-label atau klasifikasi-klasifikasi yang dihadap-hadapkan secara dikotomis
: kuat-lemah atau atas-bawah, kanan-kiri, positif-negatif, laki-laki-perempuan,
dan dilanggengkan. Pluralisme seharusnya diberi makna sebagai proses saling
melengkapi untuk menjadi "manunggal".[16]
Sejauh
yang dapat dibaca dalam sejarah peradaban Islam, upaya ke arah membangun
toleransi dan membiarkan keberagaman realitas telah banyak dilakukan oleh
sejumlah orang. Mereka berusaha rnendorong orang untuk "memikirkan".
Mereka lalu bekerja memadukan antara pemaknaan tekstualis dan substansialis,
antara naql dan aql, antara syari'ah dan hikmah dan antara yang lahir dan
yang batin. Satu di antaranya adalah Ibnu Rusyd al Hafid melalui bukunya yang
terkenal : "Fashl
Maqal fi Maa Baina al Syari'ah wa al Hikmah min al Ittishal".
Ibnu Rusyd melalui buku ini mencoba mencari jalan keluar bagi kemelut perebutan
makna di atas. Dia terlebih dahulu menegaskan tidak adanya perbedaan kaum
muslimin dalam hal bahwa agama Islam adalah ilahiyah, dan bahwa agama atau
Tuhan menginginkan kehidupan manusia yang baik dan bahagia, seperti manusia
menginginkannya. Menurutnya naql
dan aql atau agama
dan filsafat bukanlah dua hal yang berhadapan secara dikotomis. Ia mengatakan:
"al haqqu la yudhad al haqq
bal yuwafiquh wa yusyhadu lahu", kebenaran tidak akan
bertentangan dengan kebenaran tetapi saling merestui dan mendukung.[17]
III.
PENUTUP
Islam adalah
agama terbuka, tidak menutup diri, dan memberikan kebebasan berpikir bagi penganutnya, dan
ajarannya mengajak penganutnya untuk senantiasa berinteraksi antar sesama
manusia tanpa membedakan antara satu dengan yang lain serta menghimbau untuk senantiasa
berdialog mencari kebenaran yang hakiki dengan pihak lain dan dilakukan secara
baik-baik. Masyarakat yang majemuk (plural)
dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama
berkumpul dan hidup bersama akan menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri
yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat
yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat
inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja
melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural.
Sikap-sikap tersebut antara lain meliputi inklusivisme,
humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.
DAFTAR BACAAN
Daniel L. Pals. 2012. Seven Theories of
Religion. Yogyakarta : IRCiSoD.
Husein Muhammad. Pluralisme
dan Multikulturalisme Sebagai Masalah Pergulatan Tafsir Dalam Islam* dapat diakses melalui http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=40/hl=id/Pluralisme_Dan_Multikulturalisme_Sebagai_Masalah_Pergulatan_Tafsir_Dalam_Islam
Ja’far Nashir. Respon Islam Terhadap
Multikulturalisme. Diakses melalui situs http://nashir6768.multiply.com/journal/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi
aplikasi.
Rubiyad, Adib. Dkk. 2009. Islam dan
Pluralisme. Cirebon : Sekolah Tinggi Islam Negeri.
Yahya, Muhammad. Pendidikan Islam Pluralis
dan Multikultural. (Makassar : Jurnal Lentera Pendidikan, Vol 13 No. 2
Desember 2010.
Yusdani. 2011. Fiqih Poitik Muslim. Yogyakarta
: Amara Books.
[1] Pemakalah
merupakan santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
[2] Ja’far Nashir.
Respon Islam Terhadap Multikulturalisme. Diakses melalui situs http://nashir6768.multiply.com/journal/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem,
[3]Dikutip dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi aplikasi.
[4] Ja’far
Nashir..Ibid.
[5] Dikutip dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi aplikasi.
[6] Adib Rubiyad.
Dkk. Islam dan Pluralisme. (Cirebon : Sekolah Tinggi Islam Negeri, 2009)
hlm. 3
[7] Daniel L.
Pals. Seven Theories of Religion. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012). Hlm. 341.
[8] Muhammad
Yahya. Pendidikan Islam Pluralis dan Multikultural. (Makassar : Jurnal
Lentera Pendidikan, Vol 13 No. 2 Desember 2010. Hlm. 2.
[9] Yusdani. Fiqih
Poitik Muslim. (Yogyakarta : Amara Books, 2011). Hlm. 276.
[10] Ja’far
Nashir.. Ibid.
[11] Muhammad
Yahya.. Hlm. 3.
[12] Ibid. Hlm.
3-4.
[13] Ja’far
Nashir.. Ibid.
[14] Ja’far
Nashir.. Ibid.
[15] Yusdani. .hlm.277-278.
[16] Husein Muhammad. Pluralisme dan Multikulturalisme Sebagai Masalah Pergulatan Tafsir Dalam Islam*. dapat diakses melalui http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=40/hl=id/Pluralisme_Dan_Multikulturalisme_Sebagai_Masalah_Pergulatan_Tafsir_Dalam_Islam
[17] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar