Oleh : Iqbal Zen
“… If you draw closer to Me by
a hand span, I will draw closer to you by forearm’s length.
If you draw closer to Me by a forearm’s length, I will draw closer to you by an arm’s length.
And if you come to Me walking, I will come to you running.”
(Hadits Qudsi, Bukhari)
If you draw closer to Me by a forearm’s length, I will draw closer to you by an arm’s length.
And if you come to Me walking, I will come to you running.”
(Hadits Qudsi, Bukhari)
Bulan Ramadhan sudah berjalan selama setengahnya. Ada baiknya, sebelum
terlewat hari-hari berharga tersebut maka perlu adanya sebuah refleksi atas apa
yang telah kita lakukan dalam menyapa Bulan Ramadhan ini. Apakah yang kita
selama ini beribadah itu ‘karena Allah atau Untuk Allah?’
Sepintas mungkin kita sulit untuk membedakan antara keduanya. Namun, mari
kita bahas secara singkat perbedaan frase tersebut. Salah satu sifat wajib
Allah adalah qiyamuhu bi nafsihi (berdiri dengan sindirinya). Maka,
sudah jelas kalau Allah adalah zat yang tidak perlu bantuan pihak manapun untuk
tetap berkuasa.
Allah tidak membutuhkan sekecil apapun dari kita, karena Ia adalah
segalanya. Sejatinya ibadah kita adalah kembali kepada diri kita sendiri. Kita
shalat misalnya maka sebenarnya kita butuh shalat. Untuk apa? Dalam salah satu
ayat diterangkan bahwa fungsi shalat adalah mencegah dan membentengi kita dari
perbuatan yang keji dan mungkar.
Contoh lainnya, kita berpuasa. Untuk apa kita berpuasa? Kita berpuasa ya
untuk kita sendiri. Dalam sabda Rasul disebutkan bahwa Berpuasalah engkau
sekalian maka engkau akan sehat.
Jelas bahwa ibadah semuanya itu untuk kita sendiri. Maka, kalau kita
beribadah untuk Allah itu jelas salah. Allah sama sekali tidak membutuhkan
ibadah kita. kita tidak menyembahNya, maka tidak akan berkurang sedikit sedikit
pun dari kekuasaanNya. Kalau kita beribadah untuk Allah supaya diberikan
keinginannya, maka manakala keinginan kita sudah terkabul, kita cenderung untuk
mengendurkan ibadah kepadaNya.
Maka, yang tepat adalah kita beribadah itu karena Allah. Ibadah yang
demikian biasanya didasarkan cinta. Kalau sudah cinta, apa yang diperbuat akan
terasa ringan dan penuh rasa keikhlasan. Begitulah sejatinya kita dalam
beribadah. Ibadah kita seharusnya adalah karena Allah. kita akan tetap
beribadah pada saat kita mungkin dalam keadaan menerima musibah.
Semoga selalu dibimbing olehNya dalam meniti terjalnya liku kehidupan semu
ini.[]
Giri Cahyo, 24 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar