Oleh
: M. Iqbal Juliansyah Zen[1]
Pendahuluan
Islam
adalah agama yang sempurna. Hal ini dikarenakan didalamnya dibahas nilai-nilai,
etika, dan pedoman hidup secara komperhensif. Islam pula merupakan agama
penyempurna agama-agama terdahulu dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
baik persoalan aqidah maupun muamalah. Dalam hal muamalah, Islam mengatur
kaitannya dengan relasi manusia dengan sesama dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari termasuk didalamnya dituntun bagaimana cara pengelolaan
pasar dan segala bentuk mekanismenya.
Peranan ekonomi Islam dalam
mekanisme pasar menyumbangkan andil yang amat penting di tengah carut-marut
kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Praktek pasar sejatinya harus
ditampilkan nilai-nilai yang sesuai dengan norma dan nilai yang dibenarkan. Dua paham ekonomi yang selama ini menjadi acuan dan barometer dunia, yaitu
ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis ternyata tidak dapat mengatur mekanisme
kegiatan pasar saat ini yang serba tidak menentu dan tidak jelas, malah semakin
memperparah keadaan.[2]
Menurut ekonomi
kapitalis (klasik), pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem
perekonomian. Ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas untuk
menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai
distribusi. Semboyan kapitalis adalah lassez faire et laissez le monde va de
lui meme (Biarkan ia berbuat dan biarkan ia berjalan, dunia akan mengurus
diri sendiri). Maksudnya, biarkan sajalah perekonomian berjalan dengan wajar
tanpa intervensi pemerintah, nanti akan ada suatu tangan tak terlihat (invisible
hands) yang akan membawa perekonomian tersebut ke arah equilibrium. Jika
banyak campur tangan pemerintah , maka pasar akan mengalami distorsi yang akan
membawa perekonomian pada ketidakefisienan (inefisiency) dan
ketidakseimbangan.[3]
Pembahasan
Mekanisme Pasar Islami
Pasar menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tempat
orang berjual beli.[4]
Pasar adalah sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah
berlangsung sejak peradaban awal manusia. Islam menempatkan pasar pada
kedudukan yang penting dalam perekonomian. Islam memperbolehkan bahkan
menganjurkan umatnya berdagang dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
sehari-hari dan melarang praktek riba.[5]
Riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip syariâh.[6]
Praktek ekonomi pada masa Rasululah SAW dan
khulafâ’urâsyidín menunjukan adanya peranan pasar yang benar. Rasulullah sangat
menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil. Beliau
menolak adanya suatu price intervention seandainya perubahan harga terjadi karena
mekanisme pasar yang wajar. Namun, pasar di sini mengharuskan adanya moralitas,
antara lain : persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (Honesty),
keterbuakaan (transparancy) dan keadilan (justice).[7]
Nilai-nilai tersebut haruslah
menjadikan patokan dalam rangka melaksanakan proses jual-beli sehingga
terwujudlah pasar yang dapat diterima oleh semua pihak dan terwujudnya tujuan
dari ekonomi Islam itu sendiri yaitu kesejahteraan manusia (falah).
Proses tersebut tentunya dibangun dengan nilai-nilai ukhuwah sebagaimana Sabda
Rasulullah SAW : “Allah akan memberikan rahmat kepada seorang yang bermuarah
hari ketika menjual, membeli dan memutuskan sesuatu” Ia pula bersabda Seorang pedagang yang dapat dipercaya dan
jujur, akan dikelompokan dalam golongan para nabi, para sahabat yang jujur,
para syuhada’ dan orang-orang shalih”.[8]
Hadis tersebut memberikan isyarat bahwa salah satu dari nilai-nilai yang
harus dijunjung dalam proses jual beli adalah kejujuran selain dari nilai-nilai
yang telah disebutkan diatas.
Islam
sangat menganjurkan bagi para pedagang untuk arif dalam menetapkan harga bagi
para pembeli. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan dapat dijangkau oleh
para pembeli, tentunya pedagang tersebut nantinya akan mendapatkan ridla dari
Allah SWT. Bahkan orang yang aktif memproduksi kebutuhan pokok masyarakat
diibaratkan sebagai seorang mujahid. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW “Berbahagialah orang yang mendapatkan komoditas dalam pasar
seperti seorang mujahid di jalan Allah dan orang yang menimbun dalam pasar kita
bagaikan orang yang menubur kitab Allah.”[9]
Nampak jelas apa yang telah
dituntunkan oleh Rasulullah SAW bahwa disamping anjuran melakukan perdagangan
dengan nilai-nilai etika juga disinggung tentang larangan untuk menimbun
komoditas baik dilakukan secara personal maupun kolektif untuk kemudian
dipergunakan oleh oknum tersebut. Tentu hal ini merupakan bentuk kecurangan dan
dilarang oleh syariât Islam. Salah satu contoh ialah seorang dengan sengaja
menimbun Bahan Bakar Minyak (BBM) karena mengetahui akan terjadi kenaikan yang
cukup signifikan sehingga ia berbondong-bondong ‘menguras’ BBM tersebut untuk
kemudian dijual dengan harga yang tinggi manakala telah naik harga dari BBM
tersebut dan langka ditemukan.
Ajaran
Islam sangat menghargai pasar sebagai tempat perniagaan yang halal
(sah/legal) dan toyyib (baik). Jadi secara umum pasar merupakan
mekanisme perniagaan yang paling ideal. Penghargaan ajaran Islam terhadap
mekanisme pasar berangkat dari ketentuan Allah SWT bahwa perniagaan harus
dilakukan secara baik dengan rasa suka sama suka (antaradim minkum/mutual
goodwill). Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam Surat An Nisa ayat 29, yakni[10]
يآيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوالَكُمْ
بَيْنَكُمْ باِلباَطِلِ إِلآّ اَنْ تَكُوْنَ تِجاَرَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ و
لاَ تَقْتُلُواْ اَنْفُسَكُمْ, إِنَّ اللّهَ كاَنَ بِكُمْ رَحِيْماً َ {النسآء :
29}
”Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu”.
Mekanisme pasar merupakan mekanisme perniagaan yang paling ideal
menghasilkan transaksi yang baik dan didasarkan oleh mutual goodwill di
antara pelaku-pelakunya, yaitu penjual dan pembeli. Pasar juga merupakan
kekuatan yang bersifat massal (impersonal) dan alamiah (natural)
sehingga dapat mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat lebih luas. Dalam
situasi yang bersaing sempurna (perfect competition market), tidak ada
seorang pelaku pun yang secara individual dapat mengemudikan mekanisme pasar.
Allah SWT-lah yang telah mengatur naik turunnya harga. Dengan dasar ini maka
tidak mengherankan jika Rasulullah SAW sangat menentang praktek-praktek yang
dapat menggangu mekanisme pasar yang bebas.
Pasar dalam Pandangan
Sarjana Muslim
Terdapat
beberapa Sarjana Muslim memberikan penjelasan mengenai mekanisme pasar diantara
:[11]
1.
Menurut
Abu Yusuf
Masyarakat
luas memahami bahwa harga suatu barang hanya ditentukan oleh jumlah
penawarannya saja. Dengan kata lain, bila hanya tersedia sedikit barang, maka
harga akan mahal. Sebaliknya, jika tersedia banyak barang, maka harga akan
turun. Mengenai hal ini Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj (1997) mengatakan, “
tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yan dapat dipastikan. Hal
tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan
karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal bukan karena kelangkaan makan.
Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah (sunnatullah).
2. Menurut Ibn Taimiyah
Pasar yang diidealkan oleh Ibnu Taimiyyah adalah pasar bebas dalam
bingkai nilai dan moralitas Islam, yaitu pasar yang bersaing bebas –kompetitif
dan tidak terdistorsi- antara permintaan dan penawaran. Ibnu Taimiyyah melarang
intervensi pemerintah dalam pasar karena akan menganggu ekuilibrium pasar,
kecuali jika ada yang mendistorsinya, seperti penimbunan.
Harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Naik
dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang
tertentu. Hal tersebut bisa disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan
impor barang-barang yang diminta. Apabila permintaan naik dan penawaran turun,
harga-harga akan naik. Sementara, apabila persediaan barang meningkat dan
permintaan terhadapnya menurun, harga-pun turun.
3. Menurut Ibn Khaldun
Dalam bukunya yang monumental Al-Muqoddimah,
ia membagi barang-barang menjadi dua kategori, yaitu barang pokok dan barang
mewah. Jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, maka
harga barang-barang pokok akan menurun sementara harga barang mewah akan naik.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaran bahan pangan dan barang pokok
lainnya sebab barang ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap orang
sehingga pengadaannya akan diprioritaskan. Sementara itu, harga barang mewah
akan naik sejalan dengan meningkatnya gaya hidup yang mengakibatkan peningkatan
permintaan barang mewah ini.
Prinsip-Prinsip
Syariah dalam Pasar
Pasar
yang selama ini berkembang di Indonesia khususnya, hanya tertuju pada upaya
pemaksiamalan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya semata dan cenderung terfokus
pada kepentingan sepihak. sistem tersebut nampaknya kurang tepat sistem ekonomi
syariah yang menekankan konsep manfaat yang lebih luas pada kegitan ekonomi termasuk
didalamnya mekanisme pasar dan pada setiap kegiatan ekonomi itu mengacu kepada
konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas-asas keadilan. Selain itu pula,
menekankan bahwa pelakunya selalu menjunjung tinggi etika dan norma hukum dalam
kegiatan ekonomi. Realisasi dari konsep syariah itu memiliki tiga ciri yang
mendasar yaitu prinsip keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang dan
memperhatikan aspek kemanfaatan. Ketiga prinsip tersebut berorientasi pada
terciptanya sistem ekonomi yang seimbang yanitu keseimbangan antara
memaksimalkan keuntungan dan pemenuhan prinsip syariah yang menjadi hal
mendasar dalam kegiatan pasar.[12]
Dalam hal mekanisme pasar dalam
konsep Islam akan tercermin prinsip syari’ah dalam bentuk nilai-nilai yang
secara umum dapat dibagi dalam dua prespektif yaitu makro dan mikro. Nilai
syari’ah dalam prespektif mikro menekankan aspek kompetensi/ profesionalisme
dan sikap amanah, sedangkan dalam prespektif makro nilai-nilai syari’ah
menekankan aspek distribusi, pelarangan riba dan kegiatan ekonomi yang tidak
memberikan manfaat secara nyata kepada sistem perekonomian. Oleh karena itu,
dapat dilihat secara jelas manfaat sistem perekonomian Islam dalam pasar yang
ditujukan tidak hanya kepada warga masyarakat Islam, melainkan kepada seluruh
umat manusia (rahmatan lil’Ālamín).[13] Hal tersebut, dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel
Kemaslahatan Bagi Masyarakat Berdasarkan Mekanisme Pasar dalam Islam
Keadialan
|
Menghindari
Aktivitas yang Terlarang
|
Kemanfaatan
|
Transparansi
dan kejujuran
|
Larangan
barang, produk jasa dan proses yang merugikan dan berbahaya
|
Produktif dan
tidak spekulatif
|
Transaksi yang fair
|
Tidak menggunakan SDM atau barang ilegal dan secara tidak adil
|
Menghindari barang atau penggunaan SDM yang tidak efisien
|
Persaingan yang sehat
|
|
Akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh barang,
produk atau SDM
|
Saling menguntungkan
|
|
|
Pengawasan
Pasar
Ajaran
Islam tidak hanya merekomendasikan sejumlah aturan berkenaan dengan perintah
dan larangan yang berlaku di pasar. Islam juga menggambarkan suatu sistem
pengawasan yang dapat diterapkan dalam mekanisme pasar yaitu [14]
1.
Pengawasan
Internal
Pengawasan ini berlaku personal pada setiap diri pribadi muslim.
sistem pengawasan ini akab bergantung sepenuhnya kepada adanya pendidikan
Islami, dengan melandaskan nilai kepada rasa takut kepada Allah SWT. Setiap
individu memiliki hubungan langsung kepada Allah SWT. Rasulullah SAW sendiri
hanya seorang utusan (rasul)yang ditugaskan membawa petunjuk Allah yang
diwahyukan kepada untuk kepentingan umat manusia. Sehingga setiap indivdu
sejatinya akan mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan kepada Allah
SWT secara langsung.
2.
Pengawasan
Eksternal
Pada prakteknya kerap didapati kekeliruaan dalam pelaksanaan
aktifitas ekonomi, maka ajaran Islam menolerir untuk “memukul tangan” tangan
mereka dan melarangnya dari perbuatan yang rusak dan merusak. Oleh sebab itu,
Islam mengenalkan sistem Hisbah yang berlaku sebagai institusi pengawas pasar.
Seorang pengawas pasar dengan kekuatan materinya berlaku sebagai pihak yang
mempunyai otoritas untuk menghukum para pelaku pasar yang berlaku negatif.
Islam mengatur dan mengawasi pasar secara ketat. Salah satu lembaga
yang semestinya dibentuk untuk mengawasi pasar menurut Islam adalah Hisbah.
Meskipun demikian sebenarnya pengawasan dapat dilakukan oleh semua orang
sebagaimana sabda Rosulullah SAW tentang perintah untuk menindak kemungkaran.
Terkait dengan mencegah terjadinya kemungkaran ini salah satu wewenang lembaga
hisbah adalah pencegahan penipuan di pasar, seperti masalah kecurangan dalam
timbangan, ukuran maupun pencegahan penjualan barang yang rusak serta tindakan-tindakan
yang merusak moral.
Landasan Hisbah sebagaimana diterapkan oleh Rosulullah adalah
hadith yang menceritakan ketika Rosulullah melakukan inspeksi pasar dan
menemukan pelanggaran di pasar karena meletakkan kurma yang basah di bawah di
atas tumpukan kurma kering, sehingga dapat menutupi informasi bagi pembeli
tentang kualitas kurma. Dari itu kemudian Rosulullah menegaskan bahwa praktek
yang demikian adalah dilarang dalam Islam. Sementara dalam Al Qur’an dapat kita
lihat pada Surat Ali Imran ayat 104; “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Kesimpulan
Di
dalam bidang ekonomi, Islam menempatkan self
interest (maslahah al-fard) dan sosial interest ( maslahah al-ammah) sebagai
jaminan dan keadilan ekonomi, jaminan sosial dan pemanfaatan modal ekonomi
sebagai prinsip fundamental sistem ekonominya. Menurut Islam, aktifitas ekonomi
termasuk didalamnya pasar selain bertujuan untuk memperoleh keuntungan, harus
memperhatikan etika dan hukum ekonomi syari’âh, yaitu dilakukan atas dasar suka
sama suka (at-taradhi), prinsip keadilan (al-‘adalah), dan tidak
saling merugikan (la darar wala dirar).[15]
Islam telah menjelaskan berkenaan mekanisme secara komperhensif yang
berlandaskan atas prinsip moralitas sehingga tercipta pasar yang berjalan
secara baik. Beberapa hal yang tentunya harus ditanamkan sedalam-dalamnya pada
diri seorang muslim dalam hal mekanisme pasar antara lain persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (Honesty),
keterbuakaan (transparancy) dan keadilan (justice). Dengan demikian, apabila
hal tersebut telah diterapkan dengan baik maka akan terjalin hubungan yang
harmonis antara penjual dan pembeli sehingga terbentuk pasar yang sehat dan
tidak ada alasan lagi untuk menolak pasar.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum
Perbankan Syari’âh. Jakarta : Sinar Grafika.
Al-Mishri, Abdul Sami’ (Praktisi
Perbankan Syariah Mesir). 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Nafis, Cholis. 2011. Teori Hukum
Ekonomi Syariah. Jakarta : UI Press.
Nasution, Mustafa Edwin. Dkk. 2006. Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Prenada Media Group
P3EI. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta : Ekonomisia, Kampus Fakultas Ekonomi
UII.
Laman Web dan Aplikasi
Agustianto, Mekanisne Pasar dalam Perspektif
Ekonomi Islam, dapat diakses pula di https://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/26/mekanisme-pasar-dalam-perspektif-ekonomi-islam/
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V1.1
[1] Penulis adalah
Mahasiswa aktif Prodi Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
[2] Dikutip
dari http://slamet-wiharto.blogspot.com/2008/09/mekanisme-pasar-menurut-ekonomi-islam.html
pada 15 Maret 2012, pukul 21.35.
[3] Agustianto, Mekanisne
Pasar dalam Perspektif Ekonomi Islam, dapat diakses pula di https://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/26/mekanisme-pasar-dalam-perspektif-ekonomi-islam/ diakses
pada 15 Maret 2012, Pukul 22.05.
[4] Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V1.1
[5] Sebagaimana yang
tercantum dalam surah al-Baqarah [2] : 275 bahwasanya ‘ Allah mengahalalkan
jual beli dan mengharamkan riba’. Riba itu ada dua
macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan
oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[6] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta : Ekonisia,
Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003) Hlm, 11.
[7] P3EI,Ekonomi
Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008) Hlm, 301.
[8] Abdul Sami’
Al-Mishri (Praktisi Perbankan Syariah Mesir), Pilar-Pilar Ekonomi Islam. (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2006) Hlm, 90
[9] Ibid
[10] Mustafa
Edwin Nasution. Dkk, Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta : Prenada Media Group, 2006) Hlm, 174
[11] P3EI,.op
cit, hlm. 304-311
[12]
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’âh. (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008) Hlm, 20
[13] Ibid,
hlm, 21
[14] Mustafa
Edwin Nasution. Dkk, op, cit,
Hlm, 177-179.
[15] Fatwa
DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk
reksadana syariah. Dapat dirujuk pada buku M. Cholis Nafis, Teori Hukum
Ekonomi Syariah. (Jakarta : UI Press, 2011) hlm, 197
1 komentar:
Alhamdulillah,
Sama-sama, senang bisa berkenalan,
Iqbal Zen (Hukum Islam 2010)
Posting Komentar