Fenomena truth
claim (klaim kebenaran) sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru terjadi di
tengah-tengah kita. Klaim bahwa kebenaran hanyalah apa yang dianggap benar oleh
kelompok atau golongannya dan mereka yang berada di luar golongan mereka adalah
salah seakan sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihindari. Klaim bahwa
kebenaran hanyalah satu sedang yang lain adalah salah sebetulnya telah terjadi
sejak zaman “Islam awal”.
Salah satu aliran
kalam pada era Islam awal adalah khawarij. Kelompok ini merupakan aliran yang
keluar dari barisan sahabat Ali. r.a. Ciri khas kelompok ini adalah sering kali
mengkafirkan para sahabat di luar pemahaman mereka. itulah sebabnya mereka pun
juga keluar dari barisan Sahabat Ali. mereka cenderung mengkultuskan ideologi
yang menurut mereka benar sehingga sahabat-sahabat yang bertentangan disesatkan
dan dikafir-kafirkan.
Fenomena mengkafirkan dan menyesat-nyesatkan orang lain kini seolah semakin luas. Memang bila dipetakan, paling tidak paradigma umat dalam menyoroti agama terbagi dalam dua varian pemahaman. Pertama, mereka yang berparadigma literal-tektualistik. Faham ini mengutamakan doktrin agama sesuai dengan apa yang mereka fahami di dalam teks. Kedua, mereka yang menggunakan paradigma substanstialistik-historis. Mereka melihat nilai dasar yang ada di balik teks. Mereka mencoba mengungkap spirit yang ada di dalam teks.
Hari ini, kita
disibukan dengan fenomena saling mengkafirkan atau saling menyesatkan kelompok
yang berbeda pemahaman dengannya. Kelompok takfiri bukannya merangkul yang
sudah “muslim” tetapi justru mengeluarkan mereka dari status “muslim”. Sebab,
bagi mereka pemahamannya berada di luar konteks kerangka berfikirnya.
Padahal, pemaknaan
terhadap siapa itu mukmin, siapa itu muslim itu kompleks. Apakah orang yang
mengenakan baju koko (taqwa), bersyahadat sudah sah menjadi sah disebut sebagai
seorang muslim. Lalu siapa yang kemudian disebut sebagai mukmin.
Ada pembacaan yang
mungkin tidak biasa terkait dua term tersebut. Misalnya Emha Ainun Najib (Cak
Nun), baginya “Muslim adalah manusia yang menyelamatkan” atau “Muslim adalah
orang yang tidak mencelakakan.” Sedang Mukmin adalah orang yang mengamankan.
Lalu, siapa yang diamankan, siapa yang diselamatkan? Ya baginya, menyelamatkan
dirinya dan semua manusia dengan konsep keselamatan menurut Allah. Mengamankan
sesama manusia baik harkat maupun martabatnya.
Jadi ringkasnya,
Muslim adalah manusia yang mengerjakan Islam. Manusia adalah subjeknya, sedang
Islam adalah alatnya. Islam tidak selalu terletak pada simbol-simbol tertentu.
Tetapi sejatinya, Islam terletak di bilik sunyi lubuk kalbu manusia. Disinilah
kerahasiaan yang tidak bisa diukur oleh siapapun. Hanya Allah yang bisa
mengukur, melihat, mendengar atau memasukinya. Jadi Islam adalah hubungan
privasi antara manusia itu dengan Allah. Begitu juga dengan iman. Berarti orang
yang beriman akan selalu mengamankan orang-orang yang ada disekitarnya,
keberadaannya menjadi peneduh bagi sesama, serta tidak melupakan hubungan
baiknya dengan Tuhan.
Islam datang untuk
mengangkat derajat manusia. Orang yang berislam dengan baik dan juga beriman
maka ia akan memelihara hubungan baiknya dengan Tuhan dan juga sesama manusia
dan alam semesta. Islam tidak hanya dipandang dari hal-hal yang terlihat panca
indera. Tetapi juga ada dimensi yang tidak dapat dilihat melalui pembacaan
dzahir tetapi perlu berlanjut pada dimensi di luar atau dibalik yang terlihat.
Waallahu’alam.
Iqbalzen
0 komentar:
Posting Komentar