Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen[1]
PENDAHULUAN
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka. Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain. Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Ketidakstabilan antara kebutuhan dan pemasukan merupakan salah satu faktor yang memungkin laju perekonomian sedikir mengalami masalah (economic problems). Dengan berbagai macam kebutuhan yang saat semakin kompleks dengan harga yang semakin meningkat membuat manusia harus berusaha lebih dalam meraih kestabilan yang harmonis dalam kehidupannya. Perintah bermualamah dengan sesama manusia menunjukan bahwa memang agama Islam sangatlah menjunjung tinggi nilai sosial kemasyrakatan (social values).
Hubungan sesama manusia (hablu minannash) merupakan jalinan yang harus senantiasa dijaga dan ditujukan untuk mencari kemaslahatan bersama dan berpacu untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Namun, yang perlu dgarisbawahi ialah tidaklah sempurna jikalau kita sebagai seorang muslim hanya mencari kebaikan (maslahah) untuk pribadinya saja, melaikan haruslah ditularkan dan disebarkan kepada umat muslim lainya sehingga menjadi kebaikan bersama (maslahatul jami’). Kalaulah seorang muslim sudah menyadari akan pentingnya amalan ini maka niscaya akan tercipta kedamaian dan kerukunan di antara sesama.
Perintah Allah SWT untuk bermuamalah pastilah mengandung unsure kemaslahatan dan kebaikan untuk umatNya. Tidaklah mungkin Allah mensyariatkan sesuatu tanpa adanya pertimbangan kemashlahatan dan kebaikan. Allah SWT telah mengatur manusia dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul darinya. Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan terselesaikanlah pertikaian dan perselisihan sesama manusia ketika memperebutkan hak masing-masing. Di antara aturan tersebut, Alloh mengatur bagaimana manusia tukar menukar barang yang saling mereka butuhkan dan tidak membiarkan manusia memenuhi kebutuhannya menurut hawa nafsunya yang memang diantara tabiat manusia ialah suka berbuat zhalim terhadap sesama[2] kecuali mereka yang dirahmati Allah SWT.
Allah SWT menjelaskan jalan-jalan menuju keridhaanNya dan menutup segala jalan menuju kemurkaanNya. Sebagai satu bukti, ketika seseorang tidak mempunyai harta/uang, sedangkan dia sangat membutuhkannya maka dia boleh meminjam harta/uang kepada orang lain baik dengan jaminan atau tanpa jaminan, demi terpenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Adapun barang yang dijadikan jaminan itu disebut barang gadai. Maka, berikut ini penulis akan membahas pesoalan hukum gadai dalam Islam yang tentunya merujuk pada sumber-sumber hokum Islam (al-Adillatul ahkam).
PEMBAHASAN
Definisi Gadai (ar-Rahn)
Menurut etimologi ar-Rahn berarti Atsubuutu wa Dawamu artinya tetap dan kekal, atau al-Habsu wa Luzumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berartti jaminan.[3] Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”.[4] Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,
“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya". (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38)
Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh: “Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”. Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319)
Sebagaimana telah dijelasakan di atas, bahwa ar-rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya. Sebenarnya pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang lain yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang memberikan suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh yang berutang. Untuk maksud itu pemilik uang boleh meminta jaminan dalam bentuk barang berharga.[5]
Sementara itu para Ulama madzahabmendefinisikan rahn sebagai berikut: [6]
- Madzhab Maliki: harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Harta tersebut tidak harus berupa materi, namun juga berupa manfaat.
- Madzhab Hanafi: menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
- Madzhab Syafi’I dan Hanbali: menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila yang berutang tidak dapat membayara hutangnya. Harta yang dimaksud oleh madzhab ini sebatas berupa materi bukan termasuk manfaat.
Hukum Gadai
Hukum meminta jaminan itu adalah mubah. Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan[7] Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
1. Dalil al-Qur’an, Allah SWT berfirman :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Baqarah [2] : 283).
Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).
2. Dalil dari Sunnah Rasulullah SAW
Hal ini dipertegas bahwa Rasulullah SAW melakukan penggadaian sebagaimana dikisahkan oleh Ummul mukminin Aisyah ra.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)
Dalam hadis lainnya, dari Abu Hurairah ra bersabda:”tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya, Ia memperoleh manfaat dan menanggung resiko.(HR. Asy Syafi’I, al-Daruqutni, dan Ibnu Majah).[8] Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512)[9].
Para ulama sepakat bahwa “ar-rahn dibolehkan tetapi tidak diwajibkan, sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling memeracayai. [10] Firman Allah Farihaanun Maqbuudhah pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang yang beriman, sebab lanjutan ayat tersebut dinyatakan “akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lainnya, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)”[11]
Rukun Gadai (ar-Rahn)
Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada tiga, yaitu:
1. Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
2. Shighah (ijab dan Qabul)[12]
3. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang).
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.[13] Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah.
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang iserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul Shalallahu alaihi wasalam telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita. [Rasul bersabda, "Lâ tabi' mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu) (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)]
Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi.
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu pula semua imam madzhab empat kecuali madzhab Hanbali[14] bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak memilikinya, bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya. (Hadist shahih, dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dh’if Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul Ghalil no. 1761, 1459)”
Apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang terebut membutuhkan biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas / seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut, hal ini didasari oleh satu hadist:
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511, 2512)
Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.
Syarat Gadai (ar-Rahn)
Dalam muamalah dengan cara gadai (ar-Rahn) memilki persyaratan tertentu diantaranya :
1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur)
2. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan sebagai jaminan, menurut sebagain ulama fiqih syarat-syaaratnya meliputi :
· Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya
· Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
· Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib, utang itu boleh dilunasi denga jaminan, dan utang itu jelas dan tertentu[15]
4. Syarat yang terkait dengan shigat, ulama hanafiah berpendapat dalam akad itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila syarat itu dibarengi dengan syarat tetentu maka syarat maka syaratnya batal dan akadnya masih. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum bisa dilunasi, maka jaminan itu deperpanjang satu bulan. Sementara Jumhur Ulama mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu maka syarat itu dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentang dengan tabi’at akad gadai maka syaratnya batal. Perpanjangan ar-rahn satu bulan dalam contoh di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat gadai. Karenanya syarat tersebut dinyatakan batal, syarat yang dibolehkan itu misalnya untuk sahnya ar-rahn, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.[16]
Kapan Gadai Menjadi Keharusan
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.[17]
1. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [Al Mughni 6/446]
2. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi.
Hikmah Pensyariatannya
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat. Sedangkan rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah. Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai ar-rahn (gadai) bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama yang memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi penganutnya. Gadai hukumnya ialah diperbolehkan dengan berlandaskan atas dalil-dalil yang bersmber dari al-Quran dan Sunnah. Adanya dasar yang membolehkan sesuatu tentunya itu berimplikasi pada unsure-unsur kemaslahatan ayng terkandung di dalamnya. Salah satunya dengan gadai ini, yang tujuannya untuk membantu seseorang yang sedang mengalami kesulitan dalam aktifitas kesehariannya. Maka, demi kelancaran siklus hidupnya Islam membolehkannya.
Gadai (ar-rahn) sendiri memiliki syarat-syarat serta rukun-rukun tertentu yang harus terpenuhi agar gadai dapat dilaksanakan dan mengandung kemaslahatan bagi kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi tersebut. apabila syarat-syarat itu kemudian melanggar ketentuan syarat dalam Islam dan unsur kemaslahatan maka dinyatakan batal.
DAFTAR PUSTAKA
· Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, Cet-1
· Huda, Nurul. Haykal, Moh, Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: Kencana, 2010, Cet. 1
· Syafe’I, Rahmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006, Cet ke-1.
· Zainuddin, Muhadi, Fiqih Muamalah, Yogyakarta: PP Al-Muhsin, 2010
· Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA
· Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.
[1] Penulis adalah Mahasiswa Akif Program Studi Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
[3] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2010), Cet-1, hlm, 265
[4] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.
[5] Ibid
[6] Muhadi Zainuddin, Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: PP Al-Muhsin, 2010), hlm. 39
[7] Adapun pegadaian yang banyak dijumpai di negeri kita, maka tidak bisa dikatakan semua dibolehkan apabila terdapat didalamnya system yang menyelesihi syari’at Islam. Lihat kembali rubric Fiqh dalam majalah Al Furqon edisi 5 tahun V, dengan judul Kaidah-Kaidah Penting Dalam Mu’amalah.
[8] Nurul Huda, Moh Haykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010) Cet. 1, hlm. 277
[10] Rahmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Cet ke-1, hlm. 160-161
[11] Lihat firman Allah dalam QS. Al- Baqarah [2]: 283
[12] Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab qabul, atau berupa perbuatan.
[13] Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116, Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, op, cit, hlm, 267
[15] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, op, cit, hlm 268
[17] Diakses dari http://jacksite.wordpress.com/2007/07/03/hukum-gadai-agunan-dalam-islam/ pukul 23. 53 WIB, 08 Juni 2011,
0 komentar:
Posting Komentar