Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia yaitu masyarakat yang pluralistik, masing-masing golongan mempunyai konsepsinya sendiri mengenai hukum yang mengatur kehidupan mereka. Ini merupakan salah satu problem berat yang dihadapi dalam pembentukan Hukum Nasional, karena kebijaksanaan yang ditempuh ialah bahwa hokum yang dapat diterima oleh semua warga Negara tanpa melihat pada asal keturunan dan agama, sebagaimana yang diinginkan dalam konsepsi Wawasan Nusantara di bidang hokum. Kebijaksanaan yang ditempuh mengenai bahan baku hokum dalam pembinaan Hukum Nasional ialah bahwa bahan-bahan dari sumber manapun akan dimanfaatkan apabila ternyata bahan tersebut sesuai dan serasi dengan kebutuhan hokum seluruh rakyat.
Berdasarkan kebijaksanaan ini, untuk menyusun tata hokum baru dapat digunakan bahan-bahan Hukum Adat, Hukum Islam, hukum barat yang telah ada di Indonesia. Bahkan terbuka untuk menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari Negara-negara asing yang semula tidak dikenal di Indonesia, asalkan tidak bertentangan dengan falsafah bangsa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa uttuk pembinaan Hukum Indonesia yang modern semua bahan dari manapun sumbernya asal bermanfaat bagi kepentingan rakyat dan tidak bertentangan dengan falsafah bangsa.
A. Hukum Islam dan Nilai-Nilai KeIndonesiaan
Hukum Islam secara konseptual dipersepsi sebagai suatu hukum yang universal, dinamis, elastis, fleksibel dan dapat berinteraksi, beradaptasi serta mampu menampung berbagai bentuk perkembangan dimana dan kapanpun. Produk dari persentuhan antara prinsip-prinsip universal Hukum Islam dengan tuntunan pranata sosial dan realitas brebagai wilayah Islam, kemudian muncullah fiqih Hijaz—fiqih yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang berlaku di Hijaz—fiqih Mesir yaitu fiqih yang lahir dari soasial-kultural Mesir. Dan fiqih-fiqih inilah yang kemudian dijadikan rujuakan dan pegangan oleh kaum Muslim Indonesia untuk merespon masalah-masalah hokum di Indonesia.
Mengapa persoalan-persalan tiu diungkap, karena fiqih yang di Indonesia merupakan imported fiqh (fiqih impor), tidaklah berlebihan kalau disebut sebagaian orang Indonesia menganggap fiqih sebagi barang antik yang hanya layak untuk dipajang di meseum. Salah satu penyebab fiqih kurang mendapat respon sambutan yang hangat di kalangan kaum Muslim Indoneisa, ialah karena ada bagian-bagian fiqih itu yang ditetapkan berdasarkan pranata sosial di Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hokum masayarakat Indonesia yang telah melembaga dengan Hukum Adat. Bagian-bagian fiqih yang seperti ini tentunya terasa asing bagi mereka, akan tetapi te dipaksakan juga berlaku atas dasar taqlid. Padahal salah satu syarat bagi dapat berlakunya hokum dengan baik dalam mayaraat, ialah bahwa hokum tersebut haruslah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
B. Karakteristik Legislasi Kontemporer Indonesia
Salah satu karakteristik dan watak yang paling menonjol dari ketentuan Hukum Adat Indonesia adalah faktor etikannya (moralnya) baik dalam bidang pidana, perdata, waris, peradilan dan lain sebagainnya. Diakui bahwa adat ini berat, namun daya prevensinya sangat efektif untuk membuat jera orang yang melakukan perbuatan terkutuk itu, lebih-lebih kalau dibandingkan dengan system Hukum Barat yang sangsinya terlalu ringan sehingga daya prevensinya hamper-hampir tidak ada. .
Di Bidang Hukum Perdata/Perniagaan terdapat juga perbedaan menyolok. Misalnya dalam Hukum Perdata/Perniagaan Adat dapat dibac dalam Lontra Maradia Mandawari halaman 123 ada ketentuan “apabila ada seorang meminjam perahu dari orang lain dan pada waktu yang diakai berlayar perahu itu tenggelam dan berakibat si peminjam tersebut tewas (mati tenggelam), maka si peminjam perahu tidak diwajibkan menggati perahu tersebut.” Rasionnya tidak mungkin si peminjam perahu sengaja menenggelamkan peahu tersebut, terbukti sendiri ia turut tewas.
Hal ini sesuai dengan asas Hukum Adat yang sangat memperhatikan faktor kemanusiaan, sehingga tidaklah pantas seorang yang meninggal dunia dibebani lagi untuk mengganti perahu yang tenggelam itu, kecuali apabila ahli warisnya mampu dan ingin menggantinya dengan sukarelaa.
Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata 1745-1747, si peminjam tidak otomatis hapus kewajibannya untuk mengganti perahu yang tenggelam itu akibat terjadinya musibah tersebut. Persoalan nusibah tenggelamnya perahu dan turut matinya si peminjam perahu adalah merupakan satu persoalan tersendiri dan kewajiban menggantinya adalah satu persoalan tersendiri pula, sehingga keduanya tidak dapat dikaitkan.
C. Strategi Pengembangan Sumber Hukum Islam dalam Legislasi Indonesia Kontemporer
Munculnya konsep ijtihad adalah karena adanya persentuhan antara ajaran Islam di satu pihak dengan tuntutan realitas kehidupan umat manusia di lain pihak. Oleh karena Hukum Islam yang kita warisi merupakan hasil konstruksi para faqih (yuris muslim) selama tiga abad pertama setelah kelahiran Islam, sekalipun bersumber dari sumber-sumber Illahiyah fundamental Islam (al-Qur’an dan Sunnah), Hukum Islam tersebut tidak bercorak Illahiyah karena ia adalah hasil tafsiran manusia terhadap sumber itu. Maka dalam upaya menjawab tuntutan dalam permasalahan hokum yang dihadapi masyarakat Indonesia era saat ini, maka perlu dirumuskan kembali metodologi dan langkah ijtihad untuk memperoleh toritisasi Hukum Islam dari al-Qur’an dan Sunnah.
Adalah suatu aksioma modernisasi Islam, bahwa perlu dilakukannya trekontrusksi total atas warisan kesejahteraan kaum Muslim. Timbulnya gagasan semacam ini tentu berkaitan dengan ketidakmampuan warisan kesejarahan kaum Muslim dalam mengahadapi tuntutan dalam masa kini. Tetapi rekontruksi total yang dikehendaki haruslah tertitiktolak dari al-Quran. Dengan kata lain dalam mengahdapi tuntutan masa saat ini dan untuk meraih masa depan da kejayaan Islam maka al-Quran haruslah menjadi pedoman kaum Muslim dalam hidup dan kehidupan mereka.
Upaya-upya untuk membumikan pesan-pesan ajaran al-Qur’an dalam situasi kekinian, maka perhatian yang mendalam hendaklah diarahkan kepada empat komponen pokok yang saling terkait. Adapu empat pokok tersebut ialah :
1. Konteks sastra al-Quran baik ayat-ayat yang terdapat sebelum maupun sesudah term itu, serta rujukannya pada suratsurat lain yang relevan.
2. Perkembangan term yang dikandungnya dalam bentangan kronologi al-Qur’an.
3. Konteks kesejahteraan global, berupa historical background Arabia pra dan pada masa pewahyuan al-Quran dan konteks historis langsung asbab nuzul
4. Konteks sosio historis kontemporer yang merupakan lahan penumbuhan gagasan-gagasan al-Qur’an.
Masalah asbabunuzul juga perlu mendapat perhatian khusus yaitu mengenai keautentikannya. Dalam hal ini dapat diatasi dengan menerapkan kritik historis yang ketat. Akan tetapi rumitnya tidak semua, bahkan mayoritas, unit-unit al-Qur’an tidak memiliki latar belakang spesifik in, pehatian hendaklah ditujukan pada al-Qur’an itu sendiri untuk menemukan latar belakang pewahyuan.
Masalah serius lainnya muncul sehubungan dengan kronologi al-Qur’an. Berbagai aransemen kronologi yang dihasilkan sejauh ini memiliki kelemahan-kelemahan yang sangay mendasar, dalam kenyataannya merupakan pengingkaran terhadap penegasan al-Qur’an itu sendiri, serta cenderung menyoroti bagaian-bagian individual al-Qur’an, bukan surat sebagai unit wahyu yang orisinal.
Dari uraian-uraian yang telah dikemukan terdahulu memperlihatkan bahwa bentuk tafsir yang ditawarkan lebih bercorak tematis kronologis. Bentuk penafsiran ini akan mampu menampilakan gagasan al-Qur’an secara sistematis dan utuh. Kesulitan terbesar yang akan dialami bukanlah dalam melaksanakan langkah-langkah atau aplikasi dari metodologi yang ditawarkan tetapi dalam mengangkat kaki seseorang dari genangan-genangan penafsiran lama al-Qur’an yang mungkin memiliki banyak mutiara tetapi secara keseluruhannya lebih banyak menghambat ketimbang menggalakkan pemahaman sejati terhadap al-Qur’an. Kumpulan teoritis yang merupakan hasil kristalisasi dari pemahaman utuh atas al-Qur’an dan Sunnah harus diterapkan dalam kehidapan masayarakat Muslim dewasa ini dengan memperhatikan dan mempertimbangkan situasi local dimana kaum Muslim itu berada dan dimana prinsip-prinsip itu akan diaplikasikan.
Oleh karena itu, situasi kontemporer dewasa ini harus dikaji untuk diambil darinya tentang prinsip-prinsip penerapan hokum dalam situasi tersebut. Penelitian sosiologis terhadap situasi tersebut. penelitian sosiologis terhadap situasi kontemporer ini akan member indikasi yang tepat bagaimana teoritisasi yang diperoleh dari al-Qur’an dan Sunnah dikembangkan dalam legislasi kontemporer.
Oleh karena itu, mujtahid masa depan tidak cukup hanya menguasai bahasa dan metodologi ijtihad dalam bentuk kefasihan membaca kitab-kitab kuning, tetapi perlu menguasai metodologi ilmiah dengan kemampuan analisis empiris dalam merumuskan konsep teoritisasi idealitas Hukum Islam.
Pengukuhan Hukum Islam terhadap realitas memberikan keyakinan bahwa Hukum Islam memiliki sifat keluwesan (elastisitas) yang memungkinkan untuk diterapkan di segala tempat dan zaman, hinggga dapat dirasakan benar-benar bahwa agama Islam diturunkan Allah menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dengan demikian akan dapat diyakini pula bahwa Hukum Islam yang bersifat universal itu benar-benar akan mengantar umat manusia mencapai kesejahteraan dan bahagia jasmani dan rohani di dunia dan di akhirat.
(disarikan dari buku Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer karya Amir Muallim dan Yusdani)
0 komentar:
Posting Komentar