Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen[1]
A. PENDAHULUAN
Islam sebagai ajaran yang bersumber kepada al-Quran dan Hadis merupakan satu kesatuan ajaran yang utuh yang diyakini masyarakat pemeluknya sebagai petunjuk dan pedoman hidup. Diawal-awal perkembangannya, Islam terbukti mampu tampil sebagai pencerah dan transformator masyarakat; dari masyarakat yang diselimuti kebodohan atau masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat yang bermatabat dan berperadaban. Bukan hanya mereka telah yang telah menyatakan masuk Islam, bahkan penganut agama-agama lain di luar Islam pun turun merasakan Islam sebagai rahmatan lil-âlamín, yakni Islam yang menebarkan kasih sayang bagi semua umat manusia.[2]
Agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M.[3] Islam masuk dan menyebar melalui selat Malaka dan meliputi pusat-pusat perdagangan di Pulau Jawa seperti Jepara dan Gresik yang kemudian pula sampai ke Banjarmasin, Goa, Ambon, dan Ternate yang ketika terkenal dengan pusat rempah-rempah.[4] Dalam penyebaran Islam di Nusantara khususnya di Jawa, Walisongo (wali sembilan) dan para wali lainnya telah memainkan peranan penting.[5]
Dalam penyebaran Islam, kebanyakan mereka mengajak masyarakat untuk melakukan syari’at Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksi (ajaran yang berpegang kepada sumber utama yaitu al-Qur’an dan Sunah). Selain itu, sebagian mereka menggunakan metode pseudoculture yang menampilkan bentuk kebudayaan tertentu yang mengandung makna nasehat dalam toleransi keagamaan. Setelah melalui proses yang panjang, Islam berhasil tersebar ke seluruh penjuru Nusantara, meskipun ada beberapa tempat yang tidak terjalin kontak dengan Islam secara intensif. Hal ini tentunya mempengaruhi pemikiran dan peradaban [6]bahkan proses kepemimpinan di Nusantara.
Proses Kepemimpinan di Indonesia khususnya Kepemimpinan Islam berjalan dengan baik jika memperhatikan nilai-nilai luhur bangsa yakni Pancasila sehingga kepemimpinan Islam di Indonesia harus pula mengambil sumber dari nilai luhur pada norna Pancasila yang terbukti untuk dipadukan dengan nilai-nilai Islam serta nilai kemoderenan yang positif.[7]
B. KEPEMIMPINAN ISLAM FORMAL DI INDONESIA
Dalam lintasan sejarah Indonesia pada awal kepemimpinan RI, kepemimpinan Islam di Indonesia punya yang kuat, misalnya tercantum kalimat ..Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, yang tercantum dalam Piagam Jakarta yang kemudian dihapus demi persatuan nasional.[8] Tetapi, di balik ‘rasa kecewa’ umat Islam terhadap penghapuskan itu merupakan bagian dari ‘harga’ kemayoritasan penduduk yang beragama Islam di negeri ini sudah menjadi sejarah, dan karena itu tidak dapat dikembalikan, tetapi semangatnya hidup dan bersemayam di hati sanubari rakyat.[9]
Kesatuan agama dan nasionalisme ditegaskan lebih jauh dengan menjadikan agama Islam sebagai faktor pembeda antara penduduk pribumi dan penguasa kulit putih. Agama menjadi simbol self-assetion melawan rezim kolonial. Selain itu pula mendorong timbulnya ekspresi perlawanan terhadap dominasi ekonomi, superioritas rasial, dan kontrol politik rezim kolonial. Salah satu diantara tokoh muslim ialah Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah pada 1912) yang memberikan sumbangan bagi gerakan nasionalisme dan bertekad menyebarkan faham keagamaannya kepada masyarakat seluas mungkin.[10] Tokoh lainnya yang juga memiliki peran penting ialah KH Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh pembentuk perkumpulan modernis Islam yang mempunyai pengaruh adalah Nahdlotul Ulama. KH Hasyim Asy’ari adalah tokoh pembentuk isi NU, sedangkan yang mewujudkan NU menjadi organisasi adalah KH Abdul Wahab hasbulloh. Kiyai ini giat mengajarkan pengetahuan Islam dan selalu mencari jalan mempersatukan umat Islam dalam sebuah ikatan agama. NU lahir berfungsi untuk mengembangkan agama Islam dengan memperbanyak tablig pendidikan supaya uamat Islam sadar kembali atas kewajiban nya terhadap agama, bangsa, tanah air, sehingga mereka beramal sebagaimana mestinya.[11]
Berdirinya berbagai ‘Majelis Syuro Muslimin’ itu tentunya berfungsi sebagai wadah aspirasi politik umat Islam.[12] Pemikiran tokoh-tokoh Islam tentang pentingnya agama dalam kerangka nasionalisme Indonesia adalah sesuatu yang wajar, karena hubungan antara agama dan nasionalisme bukan sesuatu yang konfliktual. Mereka menekankan bahwa Islam bisa menjadi ruh nasionalisme karena alasan-alasan sejarah maupun demografis umat Islam.[13]
Kepemimpinan Sukarno-Hatta yang keduannya muslim mendapat legitimasi dari masyarakat Islam dan dukungan adri tokoh Islam dan non-Islam merupakan bukti eksisnya kepemimpinan Islam formal di Indonesia. Tokoh lainnya dalam kerangka nasionalisme adalah M. Natsir merupakan satu dari bayak tokoh Islam yang menduduki kepemimpinan Islam formal. Secara sistemik, kepemimpinan Islam Indonesia tidak diformalkan, namun cukup menjiwai arah kepemimpinan nasional. Usaha mengubah dasar negara RI dengan asas Islam pernah dilakukan, namun tidak berhasil.[14]
C. KEPEMIMPINAN ISLAM NON-FORMAL INDONESIA
Kepemimpinan Islam non-formal di Indonesia sampai saat ini masih cukup eksis dan reatif dominan. Wujud kepemimpinan non-formal adalah kepemimpinan ulama, tokoh organisasi, pergerakan Islam, tokoh agama Islam lainnya. [15] Peran ulama dalam memberikan keputusan menempati posisi utama sebagai panutan masyarakat masih sangat kuat dan hal ini bisa dilihat dari berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah yang tidak mampu diredam oleh aparat keamanan kecuali setelah ulama terlibat di dalamnya. [16]
Bukti bahwa kepemimpinan Islam non-formal relatif dominan adalah[17]
· Terpilihnya GUS DUR sebagai presiden RI, fatwa ulama/kiyai langitan Jawa Timur amat berperan.
· Dalam pemelihan DPR, presiden secara langsung, kepala daerah, fatwa lama sangat berpengaruh
· Semangat jihad fi sabilillah melawan penjajah amat dipengaruhi oleh ulama
· Berbagai kerusuhan dapat dihentikan dengan mudah oleh ulama setelah pejabat pemerintahan tidak mampu
· Berbagai program pembangunan negara dapat berjalan sukses setelah ada dukungan ulama seperti KB, transmigrasi, dll
D. FAKTOR PENYEBAB SUKSESNYA KEPEMIMPINAN NON FORMAL
Diantara faktor tersebut yaitu :[18]
· Keikhlasan beramal dari pemimpin non-formal
· Akhlaq al-Karimah pemimpin
· Nilai keteladanan yang dimiliki pemimpin
· Keberanian pemimpin berjuang bela agama dan negara
· Kesederhanaan yang dipraktekan pemimpin
· Ketaatan dan keta’dziman para pengikut ulama / tokoh.
E. KARAKTER KEPEMIMPINAN INDONESIA
Kepemimpinan Islam di Indonesia hendaknya memperhatikan karaktek kepemimpinan Indonesia :[19]
· Ketuhanan Yang Maha Esa
· Hing ngarsa sung tuladha, hing madya mangun karsa, tut wuri handayani
· Waspada purba wasesa
· Hambeg parama arta
· Prasaja
· Satya
· Hemat, nasiti, ngati-ngati
· Legawa
· Ksatria
REFERENSI
Hidayat, Komaruddin. Dkk. Menjadi Indonesia (13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara), Bandung : Mizan, 2006.
Rahim Faqih, Aunur dan Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : UII Press, 2009.
Rahim Faqih, Aunur dan Munthoha. Kepemimpinan Islam. Yogyakarta : UII Press, 2005
Sularno, Studi kepemimpinan Islam (Hand Out). Yogyakarta : FIAI UII, 2011.
[1] Mahasiswa aktif Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia.
[2] Hidayat, Komaruddin, dkk. Menjadi Indonesia (13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara), Mizan : Bandung, 2006, hlm, xiii
[3] Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-8 sebagaimana yang dikutip oleh (Sularno, Studi kepemimpinan Islam (Hand Out), FIAI UII : Yogyakarta, 2011.). Pada Umumnya dipercayai ada dua gelombang kedatangan Islam dibawa dan disebarkan langsung dari Arab oleh para pedagang Arab, dan gelombang kedua pada abad ke-13 dimana penyebaran Islam mengalami akselerasi.
[4] Ibid,
[5] Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press : Yogyakarta, h, 101
[6] Ibid, h 102.
[7] Sularno, Studi Kepemimpinan Islam (Hand Out), FIAI UII : Yogyakarta, 2011, hlm, 29
[8] Ibid
[9] Komaruddin Hidayat... Hlm, 43
[10] Ibid, Hlm, 529
[11] Aunur Rahim F dan Munthoha... Hlm, 110.
[12] Sularno.. Hlm, 29
[13] Komaruddin..Hlm, 534
[14] Sularno.. Hlm 30
[15] Ibid
[16] Aunur Rohim Fakih dan Iip Wijayanto. Kepemimpinan Islam. UII Press : Yogyakarta, 2001 : hlm, 70.
[17] Ibid
[18] Ibid, H. 31
[19] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar