Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen[1]
PENDAHULUAN
Persoalan yang disinggung secara mendetail dalam al-Quran adalah Persoalan waris. Hal ini memang persoalan waris mencakup cakupan yang dalam terkait persolan harta yang menjadi peninggalan sanak kerabat sehingga perlu dijelaskan secara mendetail. Hal ini dikarenakan, Persoalan yang menyangkut harta ini sering menimbulkan persengketaan di antara ahli waris apabila tidak dibagikan secara benar sebagaimana tuntunan syar’i.
Pada pembahasan ini dipaparkan persoalan yang terkait pembagian ahli waris khuntsa (banci). Para ulama berbeda pendapat terkait status dari seseorang yang disebut sebagai ‘khuntsa’. Seseorang dikatakan khuntsa manakala ia berperilaku tidak seperti lazimnya (abnormal) maka perlu adanya klarifikasi terhadap status seseorang tersebut sebelum harta peninggalan dibagikan.
Maka, untuk lebih lanjut pembahasan terkait ahli waris khuntsa Musykil dipaparkan pada penjelasan berikutnya.
PEMBAHASAN
Pengertian Khuntsa Musykil
Khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata al-khanasa berarti "lemah dan pecah". Dikatakan khanatsa wa takhanasa apabila tutur katanya lemah lembut mirip tutur kata perempuan, atau cara berjalan dan berpakaian mirip dengan perempuan. Sebagian dari kata-kata tersebut diambil dari hadis Rasulullah SAW yang berarti “Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (hadis).[2]
Menurut istilah, khuntsa adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita atau tidak mempunyai alat kelamin keduanya. Keadaan tidak memilki alat kelamin menurut para fuqaha’ dinamakan khuntsa musykil, artinya statusnya tidak jelas, apakah laki-laki atau perempuan. Adapun yang menimbulkan ‘kemusykilan’ karena pada dasarnya manusia itu kalau bukan laki-laki, pasti perempuan demikian sebalikya.[3]
Kalangan ahli medis berpengalaman harus meneliti seseorang yang berkelamin ganda dengan melihat hal yang dominan dalam dirinya, jika terbukti ciri-ciri dari dua jenis kelamin itu dominan maka dihukumi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika yang dominan laki maka dihukumi ia adalah seorang laki-laki begitu sebaliknya.[4]
Sementara ulama-ulama fiqh terdahulu berijtihad dalam menentukan jenis hukum waris kepada khuntsa berdasarkan tanda-tanda lahiriyahnya saja yakni kelamin yang mengeluarkan air seni. Jika khuntsa mengeluarkan air seni melalui dua kelamin, hukum yang berlaku baginya ialah berdasarkan kelamin yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu. Sebab kelamin yang mengeluarkan air seni terlebih dahulu menunjukan bahwa kelamin itu adalah kelamin yang sebenarnya.[5]
Di dalam Al-Qur’an, dalam ayat-ayat mawaris, tidak disebutkan bahwa khuntsa dikecualikan dalam pembagian warisan. Bahkan, kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa khuntsa, bayi dalam kandungan, orang hilang, tawanan perang, dan orang-orang yang mati bersamaan dalam suatu musibah atau kecelakaan, mendapat tempat khusus dalam pembahasan ilmu faraidh. Ini berarti bahwa orang-orang ini memiliki hak yang sama dengan ahli waris lain dalam keadaan normal dan tidak dapat diabaikan begitu saja.[6]
Dasar Hukum Warisan Khuntsa Musykil
Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia sepasang, laki-laki dan perempuan. Adapun salah satu hikmah penciptaan itu adalah agar manusia dapat melahirkan keturunannya. Allah SWT berfirman dalam Q. S. Asy- Syuura [42] : 49-50 yang artinya
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Selain itu, di dalam ayat ini pula dinyatakan bahwa Allah telah menjadikan anak Adam itu dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak Adam, dari dua jenis ini mempunyai kelamin masing-masing dan tanda-tanda khusus. Apabila anak Adam dilahirkan dengan ciri-ciri laki-laki dan perempuan atau tidak memiliki tanda-tanda khusus sebagaimana laki-laki atau perempuan, maka, dia dinamakan ‘khuntsa’.[7] Selain itu Rasulullah SAW, bersabda :
“Berilah warisan anak khuntsa ini (sebagai laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin yang mula pertama dipergunakannya untuk buang air kecil.” (HR Ibnu Abbas)
“Berilah warisan anak khuntsa ini (sebagai laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin yang mula pertama dipergunakannya untuk buang air kecil.” (HR Ibnu Abbas)
Pembagian Warisan Khuntsa Musykil
Merupakan perseolan tentang bagaimana cara menentukan besarnya bagian yang akan diterima seseorang ahli waris yang bersifat khuntsa. Untuk menjawab persoalan tersebut ada beberapa cara untuk menentukan pembagian warisan bagi khuntsa musykil diantaranya sebagai berikut :[8]
1. Untuk menentukan besarnya waris yang diberikan kepada seorang khuntsa tersebut dengan menentukan kejelasan jenis kelamin yang bersangkutan dengan cara mengeidentidikasi indikasi fisik yang dominan yang dimiliki oleh orang tersebut (bukan penampilan psikis/kejiwaan).
2. Cara lain untuk menentukan jenis kelamin ialah dengan meneliti tanda-tanda kedewasaan dari seorang khuntsa. Sebab lazimnya antara laki-laki dan perempuan terdapat tanad-tanda kedewasaan yang khas sebagaimana yang maklum diketahui.
3. Selanjutnya, apabila samar-samar apakah laki-laki ataupun perempuan. Maka dalam hal ini lahir beberapa doktrin (pendapat) diantaranya :
a. Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan kepada khuntsa dan memberikan bagian terbesar bagi ahli waris lainnya. Maksudnya dengan membandingkan terlebih dahulu berapa bagian apabila ia tergolong laki-laki dan berapa bagian apabila tergolong perempuan. Apabila diketahui perbandingannya, maka kepada khuntsa diberikan bagian terkecil dari kedua kemungkinan bagian tersebut.
b. Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan kepada khuntsa dan ahli waris lainnya, dan sisa harta ditangguhkan sampai ada kejelasan, atau penyelesaiannya diserahkan bersama ahli waris. Hal ini menurut pendapat Syafiiyah, Abu Daud, dan Ibn Jarir.
c. Memberikan separuh dari 2 perkiraan laki-laki atau perempuan kepada khuntsa musykil dan ahli waris lain. Maksudnya khuntsa mendapatkan ½ bagian sebagai laki-laki dan ditambah ½ bagian sebagai perempuan.
Cara Membagi Warisan Menurut Pendapat Para Ulama’
Berkaitan dengan kewarisan khuntsa musykil, ada tiga pendapat yang dipaparkan oleh ulama madzhab :[9]
1. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil mendapatkan waris yang paling sedikit yaitu bagian di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Pendapat tersebut diutarakan pula oleh Imam Syai’i dan mayoritas sahabat.
2. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa bagian setiap ahli waris banci diberikan dalam jumlah yang minimal. Pembagian seperti ini lebih menyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris, sedangkan sisanya (dari sisa yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan madzhab Syafi’i.
3. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khuntsa diberi bagian sebesar pertengahan antara bagian laki-laki dan perempuan. Artinya bagian laki-laki dan perempuan disatukan lalu dibagi dua, hasilnya menjadi bagian khuntsa.
4. Sementara Ulama Hanabilah mempunyai dua pendapat meneganai kondisi al-khuntsa. Pertama, kondisi di mana kejelasan status al-khuntsa masih bisa diharapkan. Kondisi ini terjadi ketika al-khuntsa masih kecil. Oleh karena itu, dia dan ahli waris lainnya diberikan bagian paling kecil dan sisa harta warisnya ditangguhkan pembagiannya sampai status khuntsa jelas. Jika statusnya sudah jelas dan ia berhak mendapatkan sisa, maka sisa itu diberikan kepadanya, namun jika tidak harta yang ditangguhkan diberikan kepada ahli waris yang lainnya. Kedua, kondisi di mana kejelasan al-khuntsa tidak dapat diharapkan lagi, misalnya karena ia meninggal dunia sewaktu masih kecil atau sudah baligh, namun tidak terlihat ciri-ciri sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan ini ia diberikan setengah dari bagiannya, jika ia dianggap laki-laki atau perempuan.[10]
Contoh Pembagian Hak Waris Banci (Khuntsa)
Terdapat beberapa contoh terkait permasalahan ahli waris khuntsa diantaranya :
Contoh 1 :
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak yang banci.
Penyelesaiannya:
· Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada 2 orang anak laki-laki. Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh harta dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.
· Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan memperoleh 1/3.
Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
a) Menurut madzhab Hanafi:
Bagian anak laki-laki = 2/3 Bagian anak banci = 1/3
b) Menurut madzhab Syafii:
Bagian anak laki-laki = ½
Bagian anak banci = 1/3
Sisa = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)
c) Menurut madzhab Maliki:
Bagian anak laki-laki = ½ x (1/2 + 2/3) = 7/12
Bagian anak banci = ½ x (1/2 + 1/3) = 5/12
Contoh 2.
Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan harta berupa uang Rp 36 juta. Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara sebapak yang khuntsa.
Penyelesaiannya :
· Jika diperkirakan laki-laki:
Suami : 1/2 x Rp 36 juta = Rp 18 juta
Ibu : 1/6 x Rp 36 juta = Rp 6 juta
Dua sdr lk seibu : 1/3 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Khuntsa (Sdr lk sebapak) : Sisa (tetapi sudah tidak ada sisa lagi)
· Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal masalah 6 menjadi 9) :
Suami : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Ibu : 1/9 x Rp 36 juta = Rp 4 juta
Dua sdr lk seibu : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
Khuntsa (Sdr pr sebapak) : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Dari kedua macam perkiraan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi:
a. Suami : Rp 18 juta
b. Ibu : Rp 6 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
Menurut madzhab Syafii:
a. Suami : Rp 12 juta
b. Ibu : Rp 4 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
e. Sisa : Rp 8 juta (ditahan sampai status khuntsa jelas)
Menurut madzhab Maliki:
a. Suami : ½ x (18 + 12) = Rp 15 juta
b. Ibu : ½ x (6 + 4) = Rp 5 juta
c. Dua sdr lk seibu : ½ x (12 + 8) = Rp 10 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : ½ x (0 + 12) = Rp 6 juta
Contoh 3.
Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara perempuan kandung, 2 orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara seibu yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu. Karena bagian warisan saudara seibu, menurut Al-Qur’an, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3 dibagi sama rata jika lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak mempengaruhi bagian warisan untuk semua ahli waris. Jadi pembagiannya adalah sebagai berikut:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu. Karena bagian warisan saudara seibu, menurut Al-Qur’an, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3 dibagi sama rata jika lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak mempengaruhi bagian warisan untuk semua ahli waris. Jadi pembagiannya adalah sebagai berikut:
· Bagian ibu = 1/6
· Bagian saudara perempuan kandung = ½
· Bagian 2 saudara pr seibu + 1 saudara seibu khuntsa = 1/3
(1/3 bagian ini dibagi sama rata untuk 3 orang saudara seibu, termasuk yang khuntsa, yaitu masing-masing mendapat 1/9 bagian).
KESIMPULAN
Allah SWT, menjadikan anak Adam itu dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak Adam, dari dua jenis ini mempunyai kelamin masing-masing dan tanda-tanda khusus. Apabila anak Adam dilahirkan dengan ciri-ciri laki-laki dan perempuan atau tidak memiliki tanda-tanda khusus sebagaimana laki-laki atau perempuan, maka, dia dinamakan ‘khuntsa’ .
Khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata al-khanasa berarti "lemah dan pecah". Sedangkan menurut istilah , khuntsa adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita atau tidak mempunyai alat kelamin keduanya. Keadaan tidak memilki alat kelamin menurut para fuqaha’ dinamakan khuntsa musykil, artinya statusnya tidak jelas, apakah laki-laki atau perempuan.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam penentuan status Seorang khuntsa. Seorang Khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil. Untuk dapat mengidentifikasi jenis kelamin seorang khuntsa, dapat ditempuh cara berikut yaitu dengan meneliti alat kelamin yang dipergunakan untuk buang air kecil dan dengan meneliti tanda-tanda kedewasaannya.
REFERENSI
Sumber Primer (Buku)
Saebani, Ahmad Saebani. Fiqh Mawaris. Bandung : Pustaka Setia, 2009.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Waris Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris. Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004.
Sumber Sekunder (Internet)
http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/05/tanya-jawab-2-warisan-bagi-banci.html
[1] Penulis adalah Mahasiswa aktif Prodi Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam pada Universitas Islam Indonesia.
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Bandung : Pustaka Setia, Hal 124.
[3] Ibid,
[4] Lihat hukum waris, penyusun komite Fak. Syariah Univ. Al-Azhar kairo. Penerjemah H. Addys aldiar, Lc dan h. Fathurrahman, Lc. Hal. 392.
[5] Ibid hal 393.
[6] Dikutip dari sumber : http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/05/tanya-jawab-2-warisan-bagi-banci.html
[7] Ibid, Op. Cit, Hlm, 392.
[8] Suhrawardin dan Komis, Hukum Waris Islam, Hlm. 71
[9] Saebani. Op. Cit. hal 125.
[10] Komite fak. Syariah Univ. Al-azhar kairo, Hukum Waris. Hal. 396
2 komentar:
Subhanallah, artikel yang lengkap, sekiranya ikhlas, mohon ijin share sebagian ustadz, semoga jadi amal shalih, amin.
Terima kasih kembali. Semoga bermanfaat.. Amin ya Robb
Posting Komentar