Oleh : M. Iqbal Zen dan M. Gandy[1]
I. Pendahuluan
Para ahli sejarah berpendapat bahwa nama Andalusia berasal dari kata Vandaal, nama suku yang dahulunya pernah mendiami lembah di sepanjang sungai Older dan sungai Vistule. Kira-kira pada tahun 411 SM orang suku Vandaal mengembara ke selatan Spanyol, sampai ke Gilbaltar sekarang. Mereka berhasil pula menyebrang ke Afrika Utara dengan melalui tanjung Tarifa. Oleh penduduk Afrika Utara, orang baru datang tersebut disebut orang Vandaal dan negerinya disebut menjadi Andalusia. Pada ketika orang Islam berkuasa di Spanyol, nama Andalusia semakin meluas.[2]
Telah disebutkan bahwa arus ekspansi Islam yang meluas ke Barat sampai semenanjung Iberia dan di kaki Gunung Pyrenia, Perancis termasuk Afrika Utara. Dalam waktu yang relatif singkat di bawah pimpinan Gubernur jendral al-Magribi, Musa ibn Nusair, dan Tariq ibn Ziyad dari suku Berber berhasil menaklukan Andalusia, 711-715 M.[3]
Kondisi sosial masyarakat Andalusia menjelang penaklukan Islam sangat memprihatinkan. Masyarakat terpolarisasi menjadi beberapa kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya, sehingga ada masyarakat kelas 1, 2, dan 3. Kelas 1 terdiri dari para penguasa. Kelas 2 terdiri dari tuan-tuan tanah kecil. Sedangkan kelompok masyarakat kelas 3 terdiri atas para budak, penggembala, nelayan, pandai besi, orang yahudi, dan kaum buruh dengan imbalan makan dua kali sehari. Rakyat kelas 2 dan 3 yang sangat tertindas dengan kelas atas melarikan diri ke hutan karena trauma dengan penindasan para penguasa tersebut sehingga penaklukan Islam ke Andalusia disambut antusiasme rakyat kelas 2 dan 3 yang berharap banyak terhadap cahaya ajaran Islam yang rahmatan lil âlamín.[4]
II. Masuknya Islam ke Spanyol
Sebelum Islam masuk, agama Nasrani sudah lama masuk ke Spanyol. Diceritakan bahwa salah seorang pengiring Nabi Isa a.s. telah sampai ke Spanyol dan mengembangkan agama Nasrani di sana. Seorang gothik bernama Gasander telah memeluk Nasrani dan juga memerintahkan kepada seluruh rakyat supaya masuk agama Nasrani, kemudian agama Nasrani diakui sebagai agama resmi dari kerajaan. Berabad-abad lamanya agama katholik berkembang dengan subur, merata di seluruh tanah Spanyol di bawah lindungan raja-raja Ghotik. Perlakuan raja-raja Ghotik kepada rakyatnya kurang bersahabat. Mereka memperlakukan rakyat sebagai hamba sahaya yang disuruh melakukan pekerjaan berat bermandikan keringat. Di samping itu, mereka tidak luput dari penganiayaan para pengawal yang bengis serta pajak yang amat berat yang harus mereka bayar kepada pemerintah menambah penderitaan rakyat.[5]
Kebencian rakyat kepada kerajaan Ghotik menjadi salah satu sebab untuk memudahkan bagi orang Islam melepasan tanah Spanyol dari genggaman raja Ghotik. Pada tahun 92 H/722 M, Thariq ibn Ziyad berhasil mendaratkan tentaranya di bawah bukit di tanah Spanyol. Bukit tersebut, kemudian dinamakan bukit Thariq sekarang lebih dikenal dengan sebutan Gilbaltar. Setelah pendaratan, seluruh kapal-kapal yang dipergunakan untuk menyebrang dibakar oleh Tariq bin Ziyad sehingga tentara Islam tidak mungkin mundur sebelum kemenngan atau hancur sama sekali. Hal ini dikarenakan, mereka telah bertekad untuk menang atau syahid.[6]
Dalam proses penaklukkan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang, lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian.[7]
Pada akhirnya, Penyerangan yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad pada bulan puasa (Ramadhan) berhasil mengalahkan raja Rouderick sehingga satu demi satu kota-kota Spanyol jatuh ke tangan Panglima Thariq bin Ziyad dengan mudahnya, terutama dengan bantuan rakyat jelata yang ingin segera lepas dari tindakan bangsawan Ghotik serta ingin melihat kehancuran kekuasaan raja-raja yang kejam.[8]
III. Perkembangan Islam di Andalusia
Penguasaan Umat Islam terhadap Andalusia dapat dibagi menjadi beberapa periode :[9]
a. periode pertama.
Periode ini antara tahun 711-755 M, Andalusia diperintah oleh wali yang diangkat khalifah bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini Andalusia secara politis belum stabil, masih terjadi perebutan kekuasaan antar elit penguasa, atau masih banyaknya adanya ancaman musuh Islam dari penguasa setempat
b. periode kedua.
Periode ini antara tahun 755-1013 M, pada waktu Andalusia dikuasai oleh daulah Amawiyah II. Periode ini bagi menjadi dua :
1. masa keamiran tahun 755-912 M. Masa ini dimuali ketika Abdurrahman ad-Dakhil, seorang keturunan bani Umayyah I yang berhasil menyelamatkan diri dari pembunuhan yang dilakukan bani Abbas di Damaskus. Ia kemudian memproklamirkan berdirinya daulah Amawiyah II di Andalus kelanjutan Amawiyah I di Damaskus. Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulia memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. ‘Abd ar-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol.[10]
2. Masa kekhalifan tahun 912-1031 M, ketika Abdurrahman III, amir ke-8 bani Umayyah II dilanjutkan oleh Hakam II (961-976 M), kemudian oleh Hisyam II (976-1007 M). Pada masa ini umat Islam Andalus mengalami kemakmuran dan kemajuan di segala bidang.
c. Periode ketiga.
Periode antara tahun 1031-1942 M, ketika umat Islam Andalus terpecah dan menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Periode ini dibagi menjadi tiga masa :
1. masa kerajaan-kerajaan kecil yang sifatnya lokal tahun 1031-1086 M, jumlahnya sekitar 20 buah.[11] Mereka mendirikan kerajaan berdasarkan etnis Berber, Slovia, atau Andalus yang bertikai dengan satu dengan yang lain sehingga menimbulkan keberanian umat Kristen di Utara untuk menyerang. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan dalam politik. Namun, dalam bidang peradaban mengalami kemajuan karena masing-masing ibukota kerajaan lokal ingin menyaingi kemajuan Cordova.
2. Masa antara tahun 1086-1235 M, ketika umat Islam Andalus di bawah kekuasaan bangsa Berber Afrika Utara. Mula-mula bangsa Berber dipimpin oleh Yusuf ibn Tasyfin mendirikan daulah Murabithin, kemudian datang ke Andalus untuk menolong umat Islam Andalus mengusir umat Kristen yang menyerang Sevilla pada tahun 1086 M; tetapi kemudian menggabungkan Muluk al-Thawaif ke dalam dinasti yang dipimpinnya sampai tahun 1143 M, ketika dinasti ini melemah digantikan oleh dinasti Berber lain Al-Muwahhidin (1146-1235 M).
3. Masa antara tahun 1232-1492 M, ketika umat Islam Andalus bertahan di wilayah Granada di bawah kuasa dinasti bani Ahmar. Pendiri dinasti ini adalah Sultan Muhammad ibn Yusuf bergelar al-Nasr, oleh karena itu kerajaan ini disebut juga Nasriyyah. Kerajaan ini merupakan kerajaan terakhir umat Islam Andalus yang berkuasa di wilayah antara Almeria dan Gibraltar, pesisir Tenggara Andalus.
IV. Kemunduran Islam di Spanyol
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran Islam di Spanyol antara lain :
1. Pergolakkan Antarsuku dan Lemahnya Penguasa
Sesudah pemerintahan Abdurrahman II, dinasti bani Umayyah di Spanyol lemah karena kekuasaan pemerintahan silih berganti.[12] Andalus dalam masa 43 tahun setelah selesai masa penaklukannya (95 H) dipegang oleh 21 orang gubernur sehingga rata-rata masa pemerintahannya adalah 2 tahun.[13] Hal ini menunjukan bahwa keadaan Andalus masa itu masih dalam goncangan dan kekacauan. Selama itu di Andalus terjadi peralihan dari pemerintahan bangsa Gothia kepada bani Umayyah. Namun, hal tersebut dapat diatasi oleh Abdurrahman ad-Dakhil. Ia berhasil mendirikan dinasti bani Umayyah serta mengatasi konflik dan menyatukan masyarakat Andalus di bawah kekuasaannya.[14]
Pengaruh geografis Andalus yang terpisah oleh pegunungan dan sungai-sungai dengan masyarakatnya yang heterogen, tidak memungkinkan sistem pemerintahan sentralisasi yang dibangun oleh Abdurrahman II (206-238 H/822-852 M). Maka, digantilah sistem disentralisasi, tetapi ternyata menimbulkan disintralisasi politik. Tiga orang Emir yaitu Muhammad Ibn Abdurrahman, al-Mundzir dan Abdullah tidak mampu membendung timbulnya kerjaan-kerajaan kecil.[15]
2. Serangan dari Luar
Pada murabitun berkuasa di Andalus sebelum akhirnya dipukul mundur oleh Muwahhidun, serangan kaum Nasrani dari Leon dapat mencapi Gilbraltar. Namun, murabitun tidak mampu lagi mengahadapi serangan dari utara tersebut. Karena itu, pendudukan Andalus berontak terhadap mereka da mengusirnya dari Andalus. Kemudian Andalus berhasil kembali dikuasai oleh Muluk al-Thawaif, yaitu Malik bin Hamdain di Cordova, Ibnu Maimun di Faz; Al-Lumtuni di Granada, dan Ibnu Mardanis di Valencia. Sebagian penduduk di Andalus dari Berber,tetapi ketika Muwahhidun menguasai Andalus, Muluk al-Thawaif tunduk kepadanya dan dalam jangka lima tahun seluruh Spanyol tunduk di bawah kekuasaan Muwahhidun, sedangkan kedudukan Murabitun tidak tetap bahkan pemerintah harian diwakilkan kepada orang lain atas namanya yang bermakas di Marrakesh. [16]
Pada tahun 609 H kaum nasrani mengadakan serangan besar-besaran ke Spanyol dengan mengatasnamakan perang suci di Eropa. Mereka dapat menghimpun bantuan sukarelawan persekutuan yang terdiri dari orang-orang Perancis, Jerman, Inggris dan Itali. Serangan tersebut dihadapi oleh khalifah al-Mansur Billah bersama 600.000 tentara di Las Navas de Toloso (Al ‘Uqud) sekitar 70 mil di sebelah timur Cordova. Saat itu pasukan Nasrani dipimpin oleh Alfonso VIII, Raja Castile. Dalam peperangan tersebut tentara Muwahhidun mengalami kekalahan besar bahkan menyebabkan berakhirnya kekuasaan Muwahhidun di Eropa (633 H/1235 M). Maka, satu persatu kekuasaan Islam di Spanyol jatuh ke tangan Nasrani sehingga selama tahun 1238-1260 M mereka dapat menguasai Valencia, Cordova, Murcia dan Seville. Sementara yang masih bertahan adalah Granada di bawah kekuasaan bani al-Ahmar yang mampu mempertahankan selama dua setengah abad (630-897 H/1232-1492 M) karena penguasa Granada hanya terdiri dari satu etnis yaitu etnis Arab di Spanyol yang melarikan diri dan berkumpul di bawah kekuasaan bani Ahmar. [17]
3. Loyalitas Militer
Militer di Spanyol semula terdiri dari orang-orang Arab terutama suku Barber yang jumlahnya paling banyak, sedangkan orang asing hanya sedikit. Setiap kelompok tentara dari suku Arab merupakan tentara cadangan yang dapat ditugaskan pada saat dibutuhkan pemerintah pusat. Masing-masing kesatuan tentara diperbolehkan menggunakan dana dari daerah penempatannya masing-masing sedangkan sisa dana keperluan militer diserahkan ke kas negara.[18]
Kekuatan militer Islam yang dimasuki suku selain Arab, terutama keturunan orang-orang slavis yang datang dari Eropa Timur, ditetapkan khusus sebagai tentara pengawal istana Emir atau khalifah. Pada masa al-Nasir jumlah mereka mencapai ribuan dan pada masa ketika masa al-Mansur bin Abi Amir terjadi perubahan dalam pembentukan militer yang telah digabung yaitu terdiri dari suku Arab dan Slav juga dari orang-orang yang berasal dari Berber Afrika Utara yang jumlahnya mayoritas dibanding suku lain. Hal ini karena suku Arab di Eropa diistimewakan dalam masyarakat Spanyol sehingga banyak yang tidak tertarik lagi pada bidang militer. Kemudian al-Mansur tidak membedakan ketiga suku dalam pengelompokan militer, semuanya dibiayai oleh negara. Tetapi, ketika wibawa pemerintah melemah militer Islam dipengaruhi oleh etnis keturunan, sehingga loyalitasnya terpengaruh terhadap kesukuan atau kepada siapa yang membayar lebih besar.[19]
4. Tidak Ada Ideologi Pemersatu dan Sulitnya Perekonomian
Selain loyalitas militer Islam sebagai tentara bayaran sangat diragukan, kedisiplinan mereka mengikuti perintah atasan yang disesuaikan dengan siapa yang membayar lebih tinggi maka, perpecahan umat Islam sebagai anggota masyarakat atau sebagai penguasa tidak dapat dihindari.[20] Islam penduduk pribumi Spanyol tidak menjadikan dirinya sederajat dengan bangsa Arab, tetapi tetap diperlukan sebagai Ibad dan muwalladun sehingga dianggap merendahkan, oleh karena itu beragama Islam tidak menjadi daya tarik bagi bangsa Spanyol sebagai dasar pemersatu ideologi.[21] Oleh sebab itu, beragama Islam tidak menjadi tidak menjadi daya tarik rakyat sebagai alat pemersatu ideologi.[22]
5. Sistem Peralihan Kekuasaan yang Tidak Jelas
Pemerintahan yang tidak jelas mengakibatkan sering terjadi perebutan kekuasaan sesama ahli waris, sehingga melemahkan dan hilangnya wibawa pemerintah, bahkan mengakibatkan runtuhnya kekuasaan bani Umayyah dan muncul al-Muluk al-Tawaif, tetapi tetap pula terjadi perebutan kekuasaan diantara mereka.[23]
6. Keterpencilan
Pemerintahan Islam di Spanyol yang jauh dari daerah Islam lain mengakibatkan jauhnya dukungan dari daerah lain kecuali dari Afrika Utara yang dibatasi oleh laut, sementara daerah sekitar adalah daerah yang dikuasai kaum Nasrani yang selalu iri dan merasa direndahkan.[24]
DAFTAR PUSTAKA
Faqih, Aunur Rohim dan Munthoha. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : UII Press, 2009.
Israr, Sejarah Kesenian Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1978.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta Timur : Prenada Media, 2006.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
[1] Penulis adalah Mahasiswa aktif dan santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia
[2] Israr, Sejarah Kesenian Islam, (Bulan Bintang : Jakarta, 1978). Hlm, 185
[3] Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009)Hlm,
[4] Ibid, Hlm, 228.
[5] Israr.. Hlm, 191.
[6] Ibid, Hlm 193.
[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983, cetakan pertama), hlm. 158.
[8] Ibid, Hlm, 194
[9] Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. (Jakarta Timur : Prenada Media, 2006) Hlm, 120.
[10] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Hlm, 94
[11] Israr...Hlm, 242
[12] Karim, M. Abdul, ....Hlm, 245.
[13] Andalusia dalam masa 45 tahun sejak penaklukan dipegang oleh 24 orang gubernur dependen, sebagaimana dikutip dari (karim, M. Abdul....Hlm, 245)
[14] Aunur Rohim Faqih dan Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, (UII Press : Yogyakarta, 2009). Hlm 73
[15] Ibid, Hlm, 246
[16] Israr,... Hlm, 76
[17] Karim, M. Abdul,..Hlm, 248
[18] Aunur Rohim Faqih dan Munthoha,..Hlm, 77
[19] Ibid, Hlm, 49
[20] Karim, M. Abdul,..Hlm, 250
[21] Aunur Rohim Faqih dan Munthoha,..Hlm, 79
[22] Karim, M. Abdul,..Hlm, 250
[23] Ibid, Hlm, 251
[24] Aunur Rohim Faqih dan Munthoha,..Hlm, 79
0 komentar:
Posting Komentar