Oleh : M. Iqbal Juliansyah Zen[1]
Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah.
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[2]
Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya.[3] Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap qidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.[4]
Maka, Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.[5]
Kaidah Ushuliyah
Kaidah-kaidah pembentuk hukum Islam ini merujuk agar supaya merealisir kemaslahatan manusia dan menegakkan keadilan diantara manusia. Diantara kaidah tersebut ialah :
· Kaidah pertama : Tujuan Umum pembentukan hukum Islam. Bunyi kaidah ushuliyyah bahwa tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan meleyapkan bahaya dari mereka. Kemaslahatan mansusia terdiri dari beberapa hal terpenuhi yaitu dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyyah. Salah satu contoh ialah keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia adalah tempat yang dapat melindungi dari terik panas matahari, kedinginan. [6]
· Kaidah kedua : apa yang disebut hak Allah dan apa yang disebut dengan hak mukallaf. Bahwa “perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syariat, jika tujuan perbuatan itu adalah untuk kepentingan masyarakat secara umum maka perbuatan itu murni hak Allah, dan tidak ada pilihan bagi mukallaf dalam hal itu. Hak yang murni bagi Allah tersimpulkan dalam contoh Ibadah Murni seperti shalat, puasa, zakat dan haji. [7]
· Kaidah ketiga : masalah-masalah yang boleh diijtihadi. Bahwa “tidak boleh melakukan ijtihad dalam hal yang sudah ada nash secara pasti” contoh masalah hukuman bagi perempuan dan laki-laki yang berzina dengan dera seratus kali dera. Maka tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad tentang berapa jumlah jilid itu. Begitu juga dengan pidana atau kafarat yang ditentukan.[8]
· Kaidah keempat : Tentang men-nasakh hukum. Bahwa “ tidak ada nasakh (penghapusan) terhadap hukum syara’ yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah setelah rasulullah wafat. Sedangkan pada masa hidupnya maka terjadi pelaksanaan secara bertahap dalam membentuk syariat dan juga tuntunan beliau dalam beberapa kemaslahatan telah menghendaki beberapa penghapusan hukum yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan lainnya secara keseluruhan atau sebagian”. Salah satu contohnya ialah membatalkan masa iddah istri yang ditinggal suaminya setahun, dengan membuat iddahnya empat bulan sepuluh hari. (Q.S. al-Baqarah[2] : 240).[9]
· Kaidah kelima : Tentang ta’arud dan tarjih. Bahwa apabila ada dua nash yang bertentang diupayakan untuk dikompromikan, jika tidak mungkin maka diutamakan salah satunya dengan cara ditarjih dan jika tidak mungkin pula maka dengan penghapusan oleh nash yang datang kemudian. Contoh terdapat nash yang menerangkan keumuman istri yang ditinggal mati suami iddahnya empat bulan sepuluh hari baik hamil atau tidak. Kemudian ada nash lain yang menerangkan tentang keumuman bahwa setiap istri yang sedang hamil iddahnya sampai melahirkan baik ditinggal mati atau karena ditalak.[10]
Kaidah Pokok
Terdapat lima kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih dikembalikan kepadanya ialah :
1. الامور بمقاصدها
“segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”
2. اليقين لا يزال بالشك
“Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan”
3. المشقة تجلب التيسر
“Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan”
4. الضرر يزال
“kemudlorotan itu harus dihilangkan”
5. العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Kaidah Cabang beserta Contohnya Masing-masing
1. الامور بمقاصدها (Segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya)
Termasuk dalam lingkungan kaidah ini ialah kaidah-kaidah berikut :[11]
a. ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh kaidah :
Contoh kaidah :
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah kantin Asyiq) niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat itu dia berada di Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang Wonosobo). Maka shalat mbah Muntaha tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau terperinci (tafshil).
b. ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل
Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal.
Contoh kaidah:
1. Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.
2. Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan).
c. اذا عينه واخطأ ضرَّ ما يشترط التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا
Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.
Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Iqbal niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Iqbal tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.
d. مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :
1. Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari Kutowinangun Kebumen). Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq dan seorang budak perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya. Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya jika ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
2. اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan”. Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah berikut antara lain :
a. الاصل بقاء ما كان على ما كان
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh kaidah :
1. Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu baqa-u al-lail).
b. الاصل براة الذمة
hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.
Contoh kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
c. الاصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh kaidah :
Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).
d. الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه
Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya.
Contoh kaidah :
Contoh kaidah :
1. Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga cerewet, maka tanpa pikir panjang Ipin (tetangga wanita tersebut memukul perut si wanita hamil tersebut. Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat. Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.
e. الاصل فى الابضاع التحريم (Hukum asal farji adalah haram) contoh kaidah :
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi istrinya. Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.
f. الاصل فى الآ شياء الاءباحة (Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan) contoh kaidah : Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan. Akhirnya setelah melihat isi dompet masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di restourant yang lumayan mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau haram. Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh dimakan
3. المشقة تجلب التيسر (Kesulitan akan menarik kepada kemudahan)
Termasuk dalam kaidah ini antara lain
1. الاشياء اذا اتسع ضاقت
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah :
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
4. الضرر يزال(Kemudlorotan itu harus dihilangkan)
Arti dari kaidah ini menunjukan bahwa kemudlorotan itu telah terjadi dan akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah antara lain sebagai berikut:
a. الضررلا يزال بالضرر (Kemudlorotan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudlorotan). Contoh kaidah : Iqbal dan Subekti adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya menahan lapar nekat mengambil getuk Manis (asli produk Yogya) kepunyaan Subekti yang kebetulan dibeli sebelumnya di Kantin FIAI. Tindakan Iqbal -walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan karena Subekti juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
b. الضرورات تبيح المحظورات (Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang) Contoh kaidah : Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren Universitas Islam Indonesia (PPUII), ditengah-tengah hutan IqbalZen atau Zen dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal Zen ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -sayangnya Zen tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib Zen nantinya, lama-kelamaan Zen merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Zen seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan mengejek si-Zen yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si babi hutan itu. Zen bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Zen langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar. Tindakan Zen memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
c. ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها (Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlorotan diukur menurut kadar kemudlorotan). Contoh kaidah : Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.
d. الحجة قد تنزل منزلة الضرورة (Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat) contoh kaidah : Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena khithbah (lamaran).
e. اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما (Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudlorotnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mudlorotnya.
f. درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan) contoh kaidah : Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
5. العادة محكمة (Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum)
Perlu diingat bahwa adat kebiasaan yang berkembang di masyarakat saat ini sangat banyak jumlahnya. Usaha selektif terhadap berbagai adat kebiasaan yang dapat diadopsi sebagai hukum tentunya tidaklah sembarangan yang tentu harus menliputi bermacam-macam syarat diantaranya supaya adat dapat diterima sebagai landasan hukum ialah tidak bertentangan dengan syara’, dilaksanakan secara mayoritas, mendatangkan manfaat, dan juga tidak bertentangan dengan akal sehat. Termasuk dalam kaidah ini,ialah :
a. ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف (Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku). Contoh kaidah : Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut. Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap cukup.
Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan.
Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Rahman, Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah, 2010.
Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja Grafindo : Jakarta, 2000
Mabadiul Awaliyah, terj, Team Terjemah Mabadi’ (TTM), PP An-Nawawi Purworejo, 2009.
Ma’shum dan Naqieb, Makalah al-Umuru bi Maqosidiha, PPUII : Yogyakarta,t.t
Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta, 2008
[1] Penulis adalah mahasiswa aktif program studi Hukum Islam (HI) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta angkatan 2010.
[2] Abd . Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 13
[3] Lihat Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta
[4] Ibid
[5] Ma’shum dan Naqieb, Makalah disampaikan pada perkuliahan Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia tentang kaidah al-Umuru bimaqosidiha.
[6] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja Grafindo : Jakarta, Hal. 319
[7] Ibid hal. 340-341
[8] Ibid hal, 348-349
[9] Ibid, Hal, 356
[10] Ibid hal. 369
[11] Disarikan dari terjemahan kitab mabadiul awaliyah oleh Team Terjemahan Mabadi’ (TTM) 2009, Madrasah Diniyah Ulya II PP An-Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah.
0 komentar:
Posting Komentar