Oleh : Iqbal Zen
Tugas utama sebagai seorang muslim
adalah menyampaikan dakwah. Dakwah merupakan perantara (wasilah) untuk
mengajak orang menyeru kepada Allah. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana
cara menyerunya. Apakah dengan senjata, bom dan lain sebagainya? Al-Quran telah
menjelaskan secara gamblang terkait metode penyeruan tersebut yaitu dengan
hikmah, mauidhoh hasanah, dan berdebat dengan jalan yang santun, sopan
dan bijaksana.
Namun, masih sahaja kita dapatkan
sementara orang yang menyeru tidak dengan cara-cara yang dianjurkan oleh
al-Quran. Dalam suatu kesempatan kesempatan, penulis mengikuti perkuliahan Dakwah
Islamiyyah pada Fakulti Syariah dan Undang-Undang (FSU) yang disampaikan
oleh Dr. Osama Kanakir. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan beliau
bahwasanya dakwah adalah bagaimana kita mengajak dengan menampilkan keindahan
yang akan diperoleh, bukan menampilkan akibat yang akan diperoleh.
Maksudnya, kalau kita berdakwah dan
mengatakan seseorang yang melakukan seperti ini dan seperti itu akan masuk
neraka, atau mengkafirkan orang lain adalah bukan dakwah yang sebenarnya justru
itu merupakan sebuah seruan ke neraka. Maka, dakwah yang lebih baik bagaimana
kita merangkul mereka dengan menampilkan keindahan-keindahan akan suatu hal
yang akan didapatkan manakala berbuat suatu hal yang baik.
Ada beberapa asas yang perlu
diperhatikan dalam menyampaikan dakwah. Pertama, seorang da’i tentunya
harus mengerti konsep ilmu dan amal. Keduanya harus seimbang. Tidak cukup hanya
mengetahui sa(ha)ja tanpa implementasi dari seorang da’i. Kedua, ada
ungkapan yang mengatakan lisanul hal afdhal min lisan maqol, dakwah
melalui perbuatan lebih utama dari dakwah secara lisan. Terkadang memang menyeru
dengan perbuatan secara langsung (action) lebih baik dari sekadar dakwah
melalui perkataan. Namun, rasanya akan lebih baik lagi jika dakwah secara
perbuatan (lisanul mahal) dan dakwah secara perkataan (lisanul maqol)
berjalan secara sinergis.
Ketiga, terlebih
dahulu memperbaiki diri sendiri sebelum menyeru kepada orang lain. Dalam sebuah
riwayat, Imam Abu Hanifah seorang alim ulama pakar fikih dan keilmuan Islam
lainnya mempunyai sebuah majlis kajian rutin yang langsung disampaikan oleh
beliau. Tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, beliau absen selama satu
bulan tidak mengisi kajian tersebut. Ketika kembali pada majlis tersebut, salah
seorang pengikut setianya menanyakan perihal keabsenannya selama satu bulan.
Sang Imam menceritakan perihal
keabsenannya yang tanpa informasi sebelumnya adalah karena ia belum mengerjakan
apa yang akan disampaikan keesokan harinya dalam majlis rutinannya tersebut. Ternyata
bab yang akan ia sampaikan pada esok hari adalah mengenai perbudakan.
Dalam Islam, cara perlakuan terhadap
budak tidak boleh sembarangan. Seseorang yang membeli seorang budak haruslah
bertanggung jawab terhadap budak yang telah dibeli, memberikan pakaian yang
layak, makanan yang bergizi, tempat tinggal yang memadai dan lain sebagainya
dan kemudian pada akhirnya membebaskannya.
Ternyata, sang Imam saat itu belum pernah
memerdekakan budak. Sehingga Ia belum berani untuk menyampaikan bab mengenai
perbudakan dalam majlis rutinannya. Selama satu bulan itu, sang Imam bekerja
mencari uang lebih untuk bisa membeli budak dan memerdekakannya. Hingga
akhirnya, sang Imam dapat memerdekakan budak dan menyejahterakan budak
tersebut.
Setelah ia memerdekakan seorang
budak, Sang Imam barulah kembali pada majlis rutinan untuk bisa menyampaikan
bab mengenai perbudakan. Beliau sangat “wanti-wanti” (baca: hati-hati)
dalam menyampaikan sesuatu apalagi menyampaikan sesuatu hal yang belum pernah
ia lakukan sebelumnya. Begitulah sejatinya seorang da’i dalam menyampaikan
dakwah.
Selain itu, ada hal juga yang perlu
diperhatikan dalam menyampaikan dakwah. Ada ungkapan yang mengatakan “khatibuu
an-nas bi qadri uqulihim” sampaikan kepada umat sesuai dengan kadar
pemahamannya. Tidak tepat manakala kita menyampaikan dakwah di pedesaan dengan
bahasa ala mahasiswa yang sedang presentasi di kelas. Penyesuaian terhadap
bahasa yang biasa digunakan di sebuah tempat adalah sangat penting, karena hal
itu juga berpengaruh pada kondisi emosional dari umat yang diberi dakwah. Waallahu’alam.
[]
Nilai,
Negeri Sembilan 27 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar