Oleh : Iqbal Zen
Sebelum pemberangkatan ke Malaysia, memang kami telah
mendapatkan pembekalan yang salah satu materinya disampaikan oleh Kak Sharifah,
salah satu mahasiswa Fakulti Pengajian Quran dan Sunnah yang saat ini sedang
berada di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Salah satu yang
didapati kak Sharifah ketika pertama berada di Indonesia khususnya
Yogyakarta adalah kebiasan berdzikir
yang berbeda dengan kebiasan dzikir selepas shalat di Malaysia.
Kalau di Yogyakarta khususnya di sekitar Kampus UII, memang kebiasaan berdzikir selepas shalat yang tidak dilantunkan dengan suara yang ‘jahr’, melainkan dengan samar-samar. Berbeda halnya dengan mayoritas masyarakat di Malaysia yang menganut faham Syafi’iyyah. Saya pribadi yang terbiasa seperti kebiasaan orang-orang malaysia yang men-Jahr-kan suara dzikir selepas shalat serasa sedang berada di daerah sendiri dan serasa berada di lingkungan pesantren.
Memang semenjak awal kedatangan kami di Universitas
Sains Islam Malaysia (USIM) kami merasakan suasana seperti laiknya di
Pesantren. Para mahasiswa yang sebagian ada yang menggunakan peci kala di
kampus, atau ketika di Kolej Kediaman (KK) yang nampak sering melihat
lalu-lalang mahasiswa yang menggunakan baju gamis, atau baju koko khas
Malaysia.
Pagi ini (16/05/13), selepas menunaikan ibadah shalat
subuh, kami pun bersama sama mahasiswa USIM yang tinggal di KK melaksanakan
mujahadah dengan membaca al-Ma’tsurat yang kemudian diikuti dengan membaca
al-Quran masing-masing. Selain itu, kebiasaan yang sama-sama dengan kami adalah
dengan menambahkan lafal “sayyidina” kepada Nabi Muhammad SAW. Kalau di
Indonesia hal tersebut lebih kentara perbedaannya dan diskurus akan
pembahasannya pun cukup menguras tenaga, kalau di Malaysia selama pengamatan
dan beberapa observasi memang rasanya kalimat tersebut sudah menjadi konsensus
umum bagi masyarakat Malaysia.
Memang kala kita memanggil atau menyebut junjungan kita
bersama hendaklah menyebut dengan panggilan yang berbeda kala kita menyebut
kepada orang lain. Kalau kita memanggil teman yang lebih tua saja misalnya,
kita mungkin menambahkan kata Mas, Abang, Pak Cik, kang dan lain sebagainya.
Atau mungkin kepada orang yang lebih alim dari pada kita maka tentu kita akan
memanggil dengan panggilan yang berbeda semisal ustadz, kiyai, atau syaikh. Maka,
apalagi kepada orang yang paling memberikan suri tauladan bagi umat manusia.
Bagi orang yang mungkin kurang sependapat dengan tambahan
tersebut akan mengatakan bahwa kata “Sayyidina” adalah kata yang dibawa oleh
ulama Yaman yang ingin lebih dihormati. Pendapat seperti itu, menurut saya
bermasalah, pasalnya, Rasul pun pernah mengatakan bahwa Beliau adalah “sayyid”-nya
bani Adam.
Adapun memang nabi pernah mengatakan larangan untuk
men-sayyid-kan dirinya. Larangan tersebut pada hakikat bukanlah merupakan
sebuah larangan mutlak, melainkan itu sebagai bentuk ke-tawadhu’-an beliau. Coba
kita perhatikan bersama, apakah ada dari seorang kiyai yang secara deklaratif
mengatakan untuk dipanggilan dengan tambahan kata “kiyai”. Saya kira tidak ada
salah seorang kiyai yang benar-benar kiyai mengatakan demikian. Gelar kiyai
merupakan gelar yang kemudian disematkan oleh umat akan keilmuan, kewara’an dan
kedekatannya dirinya dengan Illahi. Begitulah salah satu bentuk ketawadhuan
seseorang yang dekat dengan Illahi. Pertanyaannya sekarang adalah apakah sopan,
pantas dan laik manakala kita menyebut orang ter-agung di dunia ini dengan
sebuatan yang sama kala kita memanggil orang biasa pada umumnya?
Akhirnya, penulis pungkasi tulisan ini dengan mengutip
sebuah hadis yang juga disyarah oleh Syaikh Dr. Najem Abdurrahman Khalaf, “man
sanna sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha ba’dahu” yang
kurang lebih bermaksud barang siapa yang menghidupkan suatu perbuatan yang baik
dan diikuti oleh manusia pada umumnya maka baginya pahala dari amalan tersebut
dan kiriman-kiriman pahala orang yang mengamalkan amalan tersebut pada
keseharian. Waallahu’alam. []
Nilai, Negeri Sembilan 16 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar